Pemerintah akan mencabut regulasi PSBB. Hal ini karena pemerintah dihadapkan pada pilihan terbatas, memutus rantai Covid-19 atau ekonomi. Normal baru jadi komprominya.
Oleh
karina isna irawan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan mencabut regulasi pembatasan sosial berskala besar untuk melaksanakan protokol tatanan normal baru. Pencabutan regulasi itu harus memenuhi persyaratan terkait perkembangan kasus Covid-19, pengawasan kesehatan publik, kapasitas pelayanan kesehatan, kesiapan dunia usaha, dan respons publik.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Rabu (27/5/2020), mengatakan, pemerintah tengah menyiapkan skenario pelaksanaan protokol tatanan normal baru. Protokol normal baru dirancang bersamaan dengan program Exit-Strategy Covid-19 berupa peta jalan fase pembukaan ekonomi dan program Pemulihan Ekonomi Nasional sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020.
Perumusan tiga kebijakan itu mempertimbangkan dimensi kesehatan yang terdiri dari perkembangan penyakit, pengawasan Covid-19, dan kapasitas layanan kesehatan. Selain itu, dimensi kesiapan sosial ekonomi yang mencakup protokol-protokol untuk setiap sektor, wilayah, dan transportasi yang saling terintegrasi.
”Pemerintah membuat rencana agar kehidupan berangsur-angsur berjalan ke arah normal, sambil memperhatikan data dan fakta yang terjadi di lapangan,” ujar Airlangga dalam siaran pers yang dipublikasikan pada Rabu (27/5/2020).
Pemerintah membuat rencana agar kehidupan berangsur-angsur berjalan ke arah normal, sambil memperhatikan data dan fakta yang terjadi di lapangan.
Sejauh ini belum ditetapkan pemberlakuan protokol normal baru, program Exit-Strategy Covid-19, ataupun program Pemulihan Ekonomi Nasional. Namun, jika kurva kasus Covid-19 mulai melandai, pemerintah akan langsung mendorong pemulihan ekonomi melalui pembukaan kegiatan ekonomi dan pemberian stimulus fiskal serta moneter.
Airlangga menuturkan, aspek yuridis pemberlakuan protokol normal baru terkait dengan regulasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Karena itu, regulasi PSBB akan dicabut sebelum jangka waktu penetapan PSBB oleh Menteri Kesehatan. PSBB juga otomatis selesai setelah jangka waktu pelaksanaannya berakhir.
”PSBB akan dicabut jika syarat-syarat terpenuhi, yaitu terkait dengan perkembangan kasus Covid-19, pengawasan kesehatan publik, kapasitas pelayanan kesehatan, kesiapan dunia usaha, dan respons publik,” kata Airlangga.
PSBB akan dicabut jika syarat-syarat terpenuhi, yaitu terkait dengan perkembangan kasus Covid-19, pengawasan kesehatan publik, kapasitas pelayanan kesehatan, kesiapan dunia usaha, dan respons publik.
Delapan daerah
Sementara itu, protokol normal baru terdiri dari membersihkan tangan dengan sabun dan air bersih, menggunakan masker saat beraktivitas di luar rumah, menerapkan jaga jarak fisik 1,5 meter-2 meter, mengisolasi diri apabila kondisi kesehatan menurun atau positif Covid-19, serta melakukan pengecekan suhu tubuh di setiap gedung.
Sejauh ini, ada delapan provinsi yang dinilai siap menjalankan protokol normal baru karena daya tular virus (reverse transcriptase/RT) di bawah 1. Delapan provinsi tersebut ialah Aceh, Riau, Kalimantan Utara, Maluku Utara, Jambi, DKI Jakarta, Bali, dan Kepulauan Riau. Selain itu, ada beberapa daerah di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta.
Airlangga menambahkan, implementasi protokol normal baru akan dikoordinasikan dengan kepala daerah dan forum koordinasi pimpinan daerah. Pemberlakuan protokol normal baru tetap dilakukan secara hati-hati dengan berkoordinasi bersama Menteri Kesehatan. Tujuannya agar implementasi protokol normal baru tidak menimbulkan gelombang kedua penyebaran virus.
Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa menuturkan, pemerintah belum memutuskan pelonggaran PSBB secara nasional atau daerah tertentu. Pelonggaran ditempuh jika tiga syarat dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terpenuhi.
Syarat itu ialah angka reproduksi virus di bawah 1 selama satu pekan, maksimum 60 persen tempat tidur di rumah sakit tersedia untuk perawatan kasus Covid-19, dan kapasitas tes laboratorium sebesar 3.500 per 1 juta penduduk.
Menurut Suharso, pelonggaran PSBB perlu dilakukan bertahap agar perekonomian kembali pulih. DKI Jakarta menjadi provinsi paling memungkinkan untuk pelonggaran PSBB dan percepatan pemulihan ekonomi. ”Peta jalan pelonggaran PSBB akan ditempuh bertahap sesuai kesiapan daerah,” katanya.
Pelonggaran PSBB perlu dilakukan bertahap agar perekonomian kembali pulih. DKI Jakarta menjadi provinsi paling memungkinkan untuk pelonggaran PSBB dan percepatan pemulihan ekonomi.
Pilihan pemerintah terbatas
Sementara sejumlah kalangan menilai pemerintah tidak punya banyak pilihan untuk menyelamatkan perekonomian di tengah pandemi. Melalui pelonggaran PSBB, harapannya dapat memperbaiki penurunan daya beli masyarakat dan menahan lonjakan angka pengangguran.
Berdasarkan kajian Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, pandemi Covid-19 akan meningkatkan angka pengangguran di Indonesia cukup tinggi. Jumlah penganggur dalam skenario sangat berat diproyeksikan bertambah 5,23 juta orang, sementara dalam skenario berat akan bertambah 2,92 juta orang. Kenaikan angka pengangguran dihitung berdasarkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2020 yang berkisar 2,3 persen hingga minus 0,4 persen.
Adapun jumlah penganggur, menurut data Badan Pusat Statistik, per Februari 2020 sebesar 6,88 juta orang. Dengan demikian, pandemi Covid-19 akan meningkatkan jumlah penganggur di Indonesia menjadi 9,8 juta-12,11 juta orang.
Peneliti bidang industri, perdagangan, dan investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho, yang dihubungi, Rabu (27/5/2020), berpendapat, wacana pelonggaran PSBB oleh pemerintah tidak terlepas dari desakan industri. PSBB selama dua bulan terbukti mengganggu arus kas perusahaan yang berujung peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK).
”Saat ini, pemerintah dihadapkan pilihan terbatas. Di satu sisi tidak ingin risiko pengangguran semakin besar karena akan menambah beban negara. Namun, di sisi lain, ruang fiskal pemerintah terbatas,” kata Andry.
Saat ini, pemerintah dihadapkan pilihan terbatas. Di satu sisi tidak ingin risiko pengangguran semakin besar karena akan menambah beban negara. Namun, di sisi lain, ruang fiskal pemerintah terbatas.
Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, mengemukakan, daya beli masyarakat menurun tajam sejak diberlakukan PSBB. Misalnya, penurunan daya beli di sektor ritel rata-rata berkisar 50-80 persen sehingga arus kas perusahaan terus memburuk. Kondisi ini yang mendasari wacana pelonggaran PSBB dalam waktu dekat dengan penerapan normal baru.
”Jika membaca perspektif pemerintah, relaksasi PSBB supaya kondisi ekonomi dari sisi pasokan tidak makin buruk,” katanya.
Pelonggaran PSBB belum tentu langsung dapat meningkatkan daya beli masyarakat, apalagi eskalasi pandemi masih tinggi.
Menurut Josua, stimulus ekonomi dari pemerintah saat ini belum cukup menghalau dampak negatif pelaksanaan PSBB. Sejauh ini, penambahan dan perluasan jaring pengalaman sosial juga belum efektif meningkatkan konsumsi masyarakat.
Semakin lama pemulihan ekonomi, maka ongkos yang mesti ditanggung pemerintah lebih tinggi. Padahal, ruang fiskal saat ini sangat terbatas.
Josua juga berpendapat, wacana pelonggaran PSBB belum tentu langsung dapat meningkatkan daya beli masyarakat, apalagi eskalasi pandemi masih tinggi. Karena itu, pelonggaran harus dipertimbangkan secara matang dampaknya terhadap perbaikan ekonomi. Jika PSBB ingin tetap dilonggarkan, protokol kesehatan harus lebih ketat dan kedisiplinan masyarakat ditingkatkan.