Ada tiga risiko yang perlu dicermati dengan penerapan normal baru, yaitu di bidang kesehatan, fiskal dan likuiditas, serta sektor riil, terutama pasar rakyat, transportasi umum, dan industri padat karya.
Oleh
hendriyo widi
·3 menit baca
Pemerintah telah menabuh genderang pemulihan ekonomi nasional. Sinyal-sinyalnya sudah cukup jelas, yaitu mulai dari pengguliran program Pemulihan Ekonomi Nasional, rencana pencabutan kebijakan pembatasan sosial berskala besar, hingga menerbitkan normal baru hidup berdampingan dengan Covid-19 di berbagai lini kehidupan.
Agaknya pemerintah sudah tidak sabar lagi dengan tekanan pandemi yang meruntuhkan ekonomi nasional. Dua bulan sejak pemerintah mengumumkan kasus perdana Covid-19 pada 2 Maret 2020, Badan Pusat Statistik merilis, ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 2,97 persen. Pertumbuhan ekonomi itu terendah sejak triwulan I-2001. Sebelumnya, pemerintah memperkirakan ekonomi Indonesia pada Januari-Maret 2020 itu bisa tumbuh sekitar 4 persen.
Skenario penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang semula diperkirakan tuntas pada akhir Juni 2020 berubah. Pada pekan pertama Mei 2020, pemerintah mulai melonggarkan PSBB dan larangan mudik dengan memberikan pengeculian terhadap masyarakat yang memiliki kebutuhan dan kepentingan darurat.
Apakah ini sebuah by pass atau jalan pintas atas kompromi persoalan kesehatan dengan ekonomi? Jika memang penanganan kasus Covid-19 belum memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), boleh dikata ini sebagai jalan pintas.
Apakah ini sebuah by pass atau jalan pintas atas kompromi persoalan kesehatan dengan ekonomi? Jika memang penanganan kasus Covid-19 belum memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), boleh dikata ini sebagai jalan pintas.
Selain mengoptimalkan tes usap massal, salah satu persyaratan pelonggaran pembatasan sosial bisa dilakukan adalah apabila angka reproduksi efektif atau laju penularan virus pada waktu tertentu (Rt) di sebuah daerah di bawah 1 dalam dua minggu berturut-turut.
Di DKI Jakarta, misalnya, per 30 Mei 2020, Rt-nya sebesar 1,07. Jika Rt di suatu wilayah masih di atas 1, itu menunjukkan bahwa virus masih berpotensi menyebar ke beberapa orang dan menyebabkan lebih banyak paparan penyakit.
Pencabutan PSBB dan penerapan normal baru akan berisiko memunculkan gelombang kedua Covid-19 di saat gelombang kedua belum mereda. Apalagi, masyarakat dan sejumlah kalangan pejabat masih tidak disiplin menjalankan protokol kesehatan.
Ada tiga risiko yang perlu dicermati dengan penerapan normal baru, yaitu di bidang kesehatan, fiskal dan likuiditas, serta sektor riil, terutama pasar rakyat, transportasi umum, dan industri padat karya.
Ada tiga risiko yang perlu dicermati dengan penerapan normal baru, yaitu di bidang kesehatan, fiskal dan likuiditas; serta sektor riil, terutama pasar rakyat, transportasi umum, dan industri padat karya.
Di bidang kesehatan, saat ini Indonesia masih tertatih-tatih menangani pertambahan kasus positif dan memutus rantai penyebaran Covid-19. Tenaga kesehatan di sejumlah daerah juga mulai bertumbangan.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat, per 6 Mei 2020, sebanyak 55 tenaga kesehatan meninggal. Mereka terdiri dari 38 dokter dan 17 perawat. Puskesmas di sejumlah daerah di Indonesia juga ditutup karena petugas kesehatannya positif Covid-19.
Pemerintah telah mengalokasikan anggaran kesehatan Rp 75 triliun. Dana ini jauh lebih kecil daripada anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pada tahun ini yang senilai total Rp 641,17 triliun. Anggaran PEN ini diharapkan dapat menekan dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian nasional pada triwulan II hingga IV-2020.
Di bidang fiskal, belanja negara untuk penanganan Covid-19 dan imbasnya itu menyebabkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 semakin melebar. Kementerian Keuangan menyebutkan, defisit APBN 2020 diperkirakan Rp 1.028,5 triliun atau 6,27 persen produk domestik bruto (PDB). Sebelumnya, pelebaran defisit itu diperkirakan sebesar 5,07 persen PDB.
Untuk menambah kebutuhan dana dan likuiditas, Bank Indonesia (BI) bahkan telah bersiap membeli surat berharga negara (SBN) di pasar perdana. BI juga siap menyuntik likuiditas perbankan melalui transkasi repo di pasar sekunder dengan meminta perbankan menggadaikan SBN yang dimiliki kepada BI maksimal Rp 563,6 triliun.
Sementara penerapan normal baru di setiap daerah dan bahkan sektor tidak akan bisa sama. Di bidang ekonomi, masih banyak sektor yang bakal kesulitan menerapkan normal baru, seperti transportasi umum, pasar rakyat, dan industri-industri padat karya. Mobilitas pedagang, pembeli, pemasok, pekerja, dan buruh tidak akan bisa dihindari.
Di bidang ekonomi, masih banyak sektor yang bakal kesulitan menerapkan normal baru, seperti transportasi umum, pasar rakyat, dan industri-industri padat karya. Mobilitas pedagang, pembeli, pemasok, pekerja, dan buruh tidak akan bisa dihindari.
Sektor-sektor tersebut perlu mendapat perhatian lebih. Jika tidak, gelombang kedua Covid-19 akan datang menambah gelombang pertama yang belum tuntas. Jika kasus positif makin bertambah, pengorbanan para petugas kesehatan sebagai garda depan penanganan pandemi akan sia-sia. Selain itu, APBN yang sudah tertekan akan semakin tertekan.