Implementasi Program Tapera Sebaiknya Seusai Ekonomi Pulih
Iuran tabungan perumahan rakyat sebaiknya tidak diimplementasikan ketika masa pandemi Covid-19. Saat ini, rata-rata omzet perusahaan menurun 40-50 persen, sementara kasus PHK dan pekerja dirumahkan mencapai 1,8 juta.
Oleh
karina isna irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Iuran tabungan perumahan rakyat sebaiknya tidak diimplementasikan ketika masa pandemi Covid-19, tetapi seusai ekonomi pulih. Saat ini, kondisi keuangan pekerja dan pemberi kerja mengalami tekanan cukup dalam dan membutuhkan suntikan stimulus.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), pekerja yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta tabungan perumahan rakyat. PP itu ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 20 Mei 2020.
Bagi pekerja mandiri, simpanan sepenuhnya ditanggung pribadi sebesar 3 persen dari upah atau gaji. Bagi pekerja atau buruh di perusahaan, simpanan ditanggung bersama pemberi kerja. Pekerja menanggung 2,5 persen simpanan, sementara pemberi kerja 0,5 persen. Pemberi kerja mendaftarkan pekerjanya ke Badan Penyelenggara Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) paling lambat tujuh tahun sejak PP No 25/2020 diberlakukan.
Direktur Riset Center of Reform and Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah, yang dihubungi pada Kamis (4/5/2020), berpendapat, program Tapera yang digagas pemerintah sejatinya cukup baik. Pekerja dan buruh ”dipaksa” menabung untuk bisa membeli rumah. Terlebih, sebagian dari iuran tabungan dibantu oleh pemberi kerja.
”Kendati tujuannya positif, masalahnya waktu penerbitan dan pelaksanaan kebijakan tidak pas karena pekerja dan pemberi kerja masih harus berjuang menghadapi pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi,” kata Piter.
Kendati tujuannya positif, masalahnya waktu penerbitan dan pelaksanaan kebijakan tidak pas karena pekerja dan pemberi kerja masih harus berjuang menghadapi pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi.
Mengutip data Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, pandemi Covid-19 menurunkan kegiatan ekonomi di hampir semua sektor industri. Rata-rata omzet perusahaan berkisar 40-50 persen selama masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Adapun jumlah pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan mencapai 1,8 juta orang.
Menurut Piter, pemerintah harus lebih berhati-hati mengeluarkan kebijakan di tengah pandemi Covid-19. Kebijakan yang dinilai membebani rakyat dan pengusaha akan menciptakan kegaduhan. Tujuan positif dari sebuah kebijakan akan hilang seiring dengan munculnya suara penolakan dari berbagai pihak.
Sebagai contoh, pemerintah sejatinya memberikan jangka waktu untuk perusahaan melakukan persiapan. Dalam Pasal 68 PP No 25/2020, pemberi kerja dapat mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta Tapera dan BP Tapera paling lambat tujuh tahun sejak PP resmi berlaku. Namun, waktu persiapan yang panjang sudah dihadang suara penolakan.
Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Andin Hadiyanto menuturkan, program Tapera akan diimplementasikan secara bertahap sesuai amanat PP No 25/2020. Tapera diharapkan dapat membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) memperoleh pembiayaan perumahan.
Kemenkeu akan menindaklanjuti beberapa amanat PP No 25/2020 secara bertahap, yaitu terkait pengaturan dasar perhitungan besaran simpanan berdasarkan gaji/upah yang bersumber dari APBN atau APBD, mekanisme penyetoran simpanan bagi aparatur sipil negara, TNI, Polri, dan pejabat negara lainnya.
”Kemenkeu juga akan memfasilitasi pengalihan dana fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan ke dana Tapera, dan tata cara pengalihan dan pengembalian dana Tapera ke BP Tapera,” kata Andin.
Kemenkeu juga akan memfasilitasi pengalihan dana fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan ke dana Tapera, dan tata cara pengalihan dan pengembalian dana Tapera ke BP Tapera.
Penempatan dana
Terkait penempatan dana, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Luky Alfirman menambahkan, dana Tapera akan ditempatkan dalam berbagai instrumen investasi oleh Badan Pengelola Tapera. Salah satu pilihannya dalam bentuk pembelian surat berharga negara (SBN) kovensional ataupun syariah.
Dalam Pasal 27 PP No 25/2020, instrumen investasi untuk penempatan dana Tapera dapat berupa deposito perbankan, surat utang pemerintah pusat, surat utang pemerintah daerah, surat berharga di bidang perumahan dan kawasan pemukiman, atau bentuk investasi lain yang aman sesuai peraturan undang-undang.
Menurut Luky, mekanisme penempatan dana Tapera di instrumen surat berharga negara sama seperti yang dilakukan lembaga pengelola dana lainnya, seperti Badan Penyelanggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Badan Pengelola Tapera dapat membeli SBN pemerintah atau swasta melalui mekanisme pasar yang telah ditetapkan.
”Pembelian SBN lebih kurang sama dengan yang dilakukan oleh pengelola dana lainnya,” ujar Luky.
Sementara pada 2020 pemerintah berencana menerbitkan surat berharga negara bruto mencapai Rp 1.521,1 triliun atau sekitar 93 persen dari total kebutuhan pembiayaan utang 2020. Penerbitan SBN dipenuhi melalui lelang di pasar domestik, penerbitan SBN ritel, private placement, dan penerbitan SBN valuta asing.