Tak Ada Anomali Iklim, Pandemi Covid-19 Perberat Pengendalian Kebakaran Hutan
Pengendalian kebakaran hutan dan lahan pada musim kemarau tahun 2020 mendapat tantangan berat karena bersamaan dengan pandemi Covid-19. Banyak tenaga dan dana difokuskan untuk menangani penyakit itu.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebakaran hutan dan lahan menentukan keberhasilan Indonesia dalam mencegah kerusakan hutan atau deforestasi dan pelepasan emisi gas rumah kaca. Meskipun diperkirakan tidak ada anomali iklim yang memperparah kekeringan kemarau 2020, pandemi Covid-19 menyebabkan pergeseran anggaran dan menambah kesulitan penanganan kebakaran di lapangan.
Upaya pencegahan kebakaran perlu terus dilakukan. Salah satu caranya dengan menggelar teknologi modifikasi cuaca hujan buatan yang memanfaatkan bibit awan tersisa menginjak musim kemarau. Setelah upaya tersebut digelar selama dua pekan kemarin di Riau, selama dua pekan mendatang ini upaya serupa dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di wilayah Sumatera Selatan dan sekitarnya serta disusul wilayah Kalimantan.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong, Rabu (3/6/2020), di Jakarta, mengatakan, pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sekarang diperberat oleh pandemi Covid-19. ”Akibat Covid-19, swasta, pemerintah, dan masyarakat mereposisi fokusnya untuk menangani wabah penyakit yang berbarengan dengan datangnya musim kemarau,” katanya.
Sebagian besar sumber daya manusia, dana, dan sarana prasarana dikerahkan untuk menangani Covid-19. Dalam kondisi ini, KLHK serta semua pihak perlu tetap waspada dan fokus menangani karhutla. Pengendalian karhutla secara teknis, penegakan hukum, dan teknologi dijalankan dengan protokol kesehatan.
”Kami bahu-membahu di lapangan bersama masyarakat dan swasta untuk mencegah karhutla,” kata Alue Dohong dalam diskusi rutin Pojok Iklim yang digelar KLHK.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Ruandha Agung Sugardiman menyebutkan, demi menangani Covid-19, KLHK menghemat anggaran Rp 2,5 triliun. Anggaran karhutla dipotong 39 persen.
Kehilangan hutan
Sebagaimana diberitakan, Global Forest Watch pada 2 Juni 2020 menyebutkan kehilangan tutupan hutan primer Indonesia pada 2019 terus menurun selama tiga tahun terakhir. Data ini ”mengejutkan” banyak pihak karena tahun 2019 terjadi karhutla seluas 1,64 juta hektar atau meningkat tajam sejak karhutla besar tahun 2015 yang menghanguskan 2,6 juta hektar hutan dan lahan. World Resources Institute Indonesia menduga, area terbakar pada hutan primer tersebut belum terbaca satelit karena terhalang kabut asap. Data kemungkinan terbaca pada awal 2020, seperti pengalaman karhutla 2015 saat area terbakar terlihat jelas pada awal 2016.
Menanggapi hal tersebut, Alue Dohong mengatakan, data Global Forest Watch merupakan fakta ilmiah. ”Itu hasil 2019, jadi Universitas Maryland mungkin sudah masuk mengalkulasikan itu (area terbakar),” katanya.
Pemerintah berkomitmen melindungi tutupan hutan di Indonesia. Presiden Joko Widodo menghentikan izin baru kehutanan di hutan alam primer dan gambut serta moratorium kelapa sawit di kawasan hutan. Upaya pemulihan hutan dan restorasi gambut terus dilakukan.
Untuk mencegah dan menangani karhutla, Alue Dohong menyebut langkah restorative justice. Caranya, para pelaku yang tertangkap membakar hutan dan lahan ”digandeng” dan dilibatkan langsung dalam pemadaman kebakaran. Kebijakan ini diharapkan dapat mengubah pola pikir pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatannya.
”Agar mereka merasakan beratnya memadamkan kebakaran. Petugas Manggala Agni, BNPB, serta aparat TNI-Polri berjibaku memadamkan api pada siang dan malam hari,” katanya.
Masih dalam diskusi Pojok Iklim, Profesor Riset Emeritus BPPT, yang juga Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, Indroyono Soesilo mengatakan, tidak heran Indonesia menduduki ranking ketiga besar sebagai negara yang kehilangan tutupan hutan global.
”Sudah pasti kita tiga besar karena hutan tropis kita nomor satu dan dua dunia. Jadi, kalau nomor tiga, sudah bagus,” katanya.
Kondisi tersebut menunjukkan kerja sama sektor swasta dan pemerintah dalam perlindungan hutan cukup berjalan baik. Semua pihak bersama-sama mencegah dan menanggulangi karhutla.
Indroyono mengatakan, kebakaran karhutla sangat besar pada 1997, hanya pemerintah yang berupaya menanggulangi. Akibatnya, 5 juta sampai 8 juta hektar hutan dan lahan hangus terbakar.
Saat ini, berkat kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat, angka karhutla dapat ditekan. Contohnya, perusahaan swasta bersedia menyediakan helikopter operasional untuk digunakan pemerintah dalam memadamkan kebakaran.