Tanpa Kedisiplinan, Pemulihan Ekonomi Bakal Makin Berat
Upaya memulihkan ekonomi dinilai bakal makin berat jika pelonggaran pembatasan tak diikuti kedisiplinan menerapkan protokol kesehatan. Apalagi, pelonggaran ditempuh saat jumlah kasus Covid-19 masih terus bertambah.
Oleh
M Paschalia Judith J / C Anto Saptowalyono
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan ekonomi triwulan III-2020 berpotensi makin lambat jika kebijakan pembukaan kegiatan ekonomi tidak diikuti dengan peningkatan kedisiplinan masyarakat dan penegakan protokol kesehatan. Tujuan memulihkan perekonomian melalui pelonggaran pembatasan sosial berskala besar pun bakal sia-sia jika jumlah kasus Covid-19 terus bertambah setiap hari.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani, saat dihubungi Jumat (12/6/2020), berpendapat, kedisiplinan masyarakat secara individu jadi penentu keberhasilan pengendalian penularan Covid-19. ”Penegakan kedisiplinan oleh pemerintah juga penting. Saat ini sudah ada pemerintah daerah yang mengenakan denda kepada warga jika mereka tidak mengenakan masker,” ujarnya.
Pelaksanaan protokol kesehatan secara ketat, baik di kantor maupun pabrik, juga jadi kunci pengendalian virus di lingkungan kerja. Upaya itu, antara lain, ditempuh dengan mengurangi kepadatan orang di ruangan, mewajibkan karyawan mengenakan masker, mengecek suhu tubuh sebelum karyawan masuk ke kantor atau pabrik, serta menyediakan fasilitas cuci tangan.
Menurut Ketua Centre for Health Economics and Policy Studies Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany, tren kenaikan jumlah pasien positif Covid-19 harian saat ini menunjukkan Indonesia tengah menuju puncak gelombang pertama atau ledakan jumlah kasus. Dia memperkirakan rata-rata peningkatan kasus positif Covid-19 bisa berkisar 1.000-2.000 orang per hari dalam dua pekan ke depan.
Akibatnya, ada peluang kembali mengetatkan PSBB dengan mempertimbangkan aspek kesiapan fasilitas kesehatan dalam menghadapi lonjakan kasus. Hal ini menjadi komponen ketidakpastian yang menghambat pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah dalam kondisi terimpit. Menurut Hasbullah, gerakan masyarakat diperlukan untuk mengoptimalkan pengendalian Covid-19. Contohnya, masyarakat bisa saling menegur apabila ada warga yang tidak menerapkan protokol kesehatan.
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), dalam laporan Proyeksi Ekonomi Edisi Juni 2020, Rabu (10/6), memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 2,8 persen tahun ini dengan asumsi lonjakan kasus Covid-19 telah terjadi pertengahan April 2020. Dalam skenario buruk, perekonomian Indonesia diproyeksikan tumbuh minus 3,9 persen jika terjadi gelombang kedua Covid-19.
Dalam laporan ”World Economy on a Tightrope”, OECD memperingatkan pemerintah untuk berhati-hati melonggarkan pembatasan sosial karena jalan menuju pemulihan ekonomi masih sangat tidak pasti dan rentan terhadap gelombang infeksi kedua Covid-19. Konsekuensi pemulihannya akan lebih berat dan lama. Risiko yang sama menghantui hampir semua negara di dunia.
Kedodoran
Penanganan Covid-19 dari sisi mobilitas selama ini dinilai masih sebatas di hilir, seperti pembatasan kapasitas sarana. Penanganan di hulu, yakni pembatasan pergerakan manusia melalui pengelolaan kebutuhan melakukan perjalanan, masih kedodoran.
Pengamat transportasi dari Program Studi Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno, berpendapat, pemulihan ekonomi di tengah pandemi seharusnya dilakukan dengan memilih sektor esensial yang dapat bergerak lebih dulu, sambil mencermati pergerakan kurva Covid-19.
Pembatasan pergerakan masyarakat, misalnya, bisa ditempuh melalui pengaturan jam kerja. Hal ini agar tidak terjadi penumpukan penumpang pada jam berangkat dan pulang kerja.
Menurut Djoko, mobilitas warga bukan hanya tanggung jawab Kementerian Perhubungan, melainkan juga kementerian lain. Apalagi transportasi adalah kebutuhan turunan dari aktivitas tata guna lahan. ”Kita agak kepayahan menangani persoalan di hulu. Artinya, bagaimana membatasi pergerakan masyarakat melalui travel demand management," katanya.
Pemulihan ekonomi di tengah pandemi seharusnya ditempuh dengan memilih sektor esensial yang dapat bergerak lebih dulu sembari mencermati pergerakan kurva Covid-19. Sektor non-esensial sebaiknya diperbolehkan bergerak belakangan, yakni ketika sudah terlihat jelas penurunan kurva.
Terkait tagline kebiasaan baru, sosiolog Ida Ruwaida berpendapat, tidak mudah mengubah sikap dan perilaku yang ada di masyarakat. ”Secara sosiologis, regulasi-regulasi lebih bersifat intervensi struktural,” katanya.
Meskipun akan dilakukan pengawasan, fungsi kontrol sosial merupakan hal penting. Kepatuhan dan kedisiplinan penumpang dan operator dibutuhkan dalam membangun budaya atau kebiasaan baru. ”Hal yang saya khawatirkan, secara sosiologis, di kalangan masyarakat (penumpang) ternyata terjadi perbedaan tanggapan terhadap aturan,” kata Ida.
Artinya, ada penumpang yang disiplin, tetapi ada juga yang kurang disiplin. Kondisi semacam ini dimungkinkan dapat menciptakan gesekan sosial di berbagai jenis moda transportasi. Kemampuan operator diperlukan untuk menenangkan kondisi seperti ini.
Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan R Vensya Sitohang menyatakan, data harian Covid-19 masih fluktuatif dan masih naik. ”Oleh karena itu kita tetap harus hati-hati dalam menerjemahkan data yang ada dan hati-hati mengimplementasikan ini untuk menjawab indikator-indikator apakah kita memang sudah bisa mengendalikan pandemi,” kata Vensya.
Pada 8 Juni 2020, pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Permenhub No 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Sejumlah surat edaran direktorat jenderal di lingkungan Kementerian Perhubungan diterbitkan menyusul terbitnya Permenhub No 41/2020.
”Permenhub serta surat edaran yang dikeluarkan itu untuk memastikan masyarakat tetap bisa melakukan aktivitas secara produktif, tetapi aman dari bahaya Covid-19. Dengan adanya aktivitas masyarakat yang produktif, diharapkan roda perekonomian nasional bisa tetap berjalan," kata Djoko.