Pembukaan sekolah di masa pandemi masih menjadi polemik meski dimungkinkan dengan sejumlah syarat. Jika sekolah dibuka, selain menjamin keselamatan warga sekolah, juga harus memastikan pembelajaran lebih efektif.
Oleh
Yovita Arika
·5 menit baca
Pemerintah melalui surat keputusan bersama empat menteri telah memberi rambu-rambu untuk pembukaan sekolah di masa pandemi Covid-19. Sekolah hanya bisa dibuka di zona hijau Covid-19, memenuhi protokol kesehatan, ada izin pemerintah daerah, dan ada izin orangtua siswa. Dan ini mutlak.
Meski hanya empat syarat, dalam pelaksanaannya tidak sederhana. Berdasarkan data Gugus Tugas Covid-19 pada Rabu (17/6/2020), per 7 Juni 2020, terdapat 92 kabupaten/kota yang masuk kategori hijau. Apakah ini benar-benar hijau, atau ”tampak hijau” karena kasusnya tidak tercatat. Jumlah ini pun bisa berubah. Pada akhir Mei, misalnya, tercatat ada 108 zona hijau.
Terkait protokol kesehatan, sekolah menengah di zona hijau mempunyai waktu paling tidak sebulan untuk mempersiapkan sarana sanitasi dan kebersihan. Untuk beberapa sekolah dengan dukungan sumber daya yang cukup mungkin tidak menjadi masalah.
Toilet bersih dan sarana cuci tangan dengan air mengalir dan sabun cair sudah tersedia, bahkan ada di sejumlah tempat sesuai kebutuhan siswa. Tinggal menambah jumlahnya dan melengkapinya dengan cairan pembersih tangan (hand sanitizer).
Namun, untuk sekolah-sekolah dengan dukungan sumber daya yang terbatas, seperti sekolah-sekolah swasta dengan input siswa dari keluarga kelas menengah ke bawah, bisa jadi harus mulai dari awal. Apalagi jika melihat peta wilayah, zona hijau Covid-19 umumnya di daerah pinggiran.
Toilet di sekolah mungkin sangat terbatas dan selama ini digunakan bersama-sama seluruh warga sekolah sehingga belum terjamin kebersihannya. Demikian juga sarana cuci tangan dengan air mengalir beserta perlengkapannya yang mungkin di beberapa sekolah bahkan belum ada. Di beberapa daerah, apalagi pada musim kemarau nanti, air bersih juga langka.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memang memperbolehkan sekolah menggunakan dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk biaya mempersiapkan sarana sanitasi dan kebersihan. Sekadar pengadaan alat kebersihan mungkin cukup, mengingat selama ini dana BOS juga untuk membayar guru honorer.
Survei yang dilakukan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) pada 6-8 Juni 2020 dengan responden 1.656 guru, kepala sekolah, dan manajemen sekolah menunjukkan, sebanyak 53,4 persen responden mengatakan sarana dan prasarana untuk melaksanakan protokol kesehatan sebagai komponen yang paling sulit disediakan sekolah jika sekolah dibuka. Faktor anggaran menjadi kendala.
Jika bicara protokol kesehatan yang ideal, biaya akan lebih mahal lagi karena semua warga sekolah harus menjalani tes Covid-19 untuk memastikan semua warga sekolah bebas Covid-19. Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengatakan, pemerintah tidak mungkin membiayai tes Covid-19 untuk semua siswa.
Pemetaan warga satuan pendidikan juga menjadi hal yang krusial. Harus ada jaminan warga sekolah memiliki akses transportasi yang memungkinkan penerapan jaga jarak, serta tidak memiliki riwayat perjalanan dari zona kuning, oranye, dan merah atau tidak memiliki riwayat kontak dengan orang terkonfirmasi positif Covid-19.
Artinya, guru, siswa, dan pegawai sekolah yang tempat tinggalnya berada di zona kuning, oranye, dan merah tidak boleh masuk sekolah. Demikian juga bagi siswa yang tidak diizinkan oleh orangtuanya. Jika sekolah tetap dibuka, bagaimana pembelajaran para siswa yang tidak memenuhi syarat tersebut.
Pembelajaran tatap muka di sekolah hanya diperbolehkan 50 persen dari kapasitas. Artinya,siswa masuk secara bergantian atau dengan sistem sif. Apakah jumlah guru yang memenuhi persyaratan mencukupi? Selama ini, sebagian besar guru tidak tinggal di wilayah yang sama dengan tempat sekolah berada.
Metode campuran
Menjawab keinginan siswa untuk kembali ke sekolah lagi, sebagaimana diungkap 87 persen dari 4.016 responden usia 14-24 tahun dalam jajak pendapat Unicef pada 5-8 Juni 2020 juga keinginan sebagian besar siswa dalam sejumlah survei sebelumnya, haruslah didasarkan pada perhitungan yang menjamin keselamatan mereka dan warga sekolah lainnya.
Dengan alasan bahwa pembelajaran jarak jauh selama ini tidak efektif, maka pembukaan sekolah di masa pandemi ini haruslah membuat pembelajaran menjadi lebih efektif. Dengan semua kondisi dan pertimbangan tersebut di atas, perlu strategis khusus dan perencanaan yang matang agar pembelajaran dapat berlangsung lebih efektif dan menjamin keselamatan warga sekolah dari Covid-19.
Apalagi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim mensyaratkan, selama dua bulan pertama masa transisi, pertengahan Juli-pertengahan September, siswa hanya boleh beraktivitas di kelas. Selesai belajar di kelas, siswa harus langsung pulang. Tidak ada kegiatan di luar ruang kelas yang sifatnya berkumpul seperti olahraga atau ekstrakurikuler.
Dengan sistem sif, jika ada dua sif dalam sehari, maksimal waktu belajar siswa di sekolah hanya empat jam. Waktu empat jam tersebut harus benar-benar digunakan untuk memberikan pemahaman atas materi pelajaran yang sudah dipelajari siswa di rumah.
Pembelajaran campuran (blended learning) bisa dilanjutkan jika guru dan siswa tidak terkendala teknologi. Metode ini menjadi semakin relevan jika guru yang bisa memberikan pembelajaran tatap muka berkurang karena sejumlah guru tidak memenuhi syarat melakukan aktivitas di sekolah. Pembelajaran daring juga akan memfasilitasi siswa yang belum bisa masuk sekolah.
Akan tetapi, bisakah sekolah mempersiapkan itu semua dalam waktu satu bulan hingga permulaan tahun ajaran baru pada pertengahan Juli nanti? Survei FSGI menunjukkan, selain mempersiapkan sarana dan prasarana untuk protokol kesehatan, sekolah juga membutuhkan waktu untuk mensosialisasikan rencana pembukaan sekolah kepada orangtua siswa. Karena itu, 55,1 persen responden memilih waktu yang tepat untuk membuka sekolah adalah jika kondisi sudah normal kembali.
Seperti dikatakan Kepala SMA Labschool Jakarta Suparno Sastro, Selasa (16/6/2020), menyiapkan pembukaan sekolah membutuhkan proses panjang dan berbiaya besar. Memfokuskan energi dan pikiran untuk memperbaiki kekurangan dalam pembelajaran daring selama tiga bulan ini lebih relevan agar bisa memberikan pembelajaran yang efektif kepada siswa di masa pandemi ini.
Pembelajaran sesuai konteks dan kebutuhan siswa. Suparno mencontohkan, selama ini setiap hari sekolahnya mengundang pakar untuk memberikan materi kepada siswa secara daring. Materinya bermacam-macam sesuai keahlian pakar tersebut, mulai dari kewirausahaan, psikologi, masuk perguruan tinggi, hingga membedah jurusan di perguruan tinggi.