Ritno Kurniawan, Mengubah Pembalak Liar Jadi Pelaku Wisata
Ritno Kurniawan berhasil mengajak 180-an pembalak liar berubah profesi menjadi pemandu wisata. Bagaimana bisa?
Demi menjaga hutan agar tetap lestari, Ritno Kurniawan (34) melakukan hal tak biasa. Ia mengajak pembalak liar beralih profesi menjadi pemandu wisata di Air Terjun Nyarai di Kecamatan Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Berbagai tantangan dihadapi, termasuk ketika kegiatannya dihadang sekelompok orang dengan parang.
Atas dedikasinya itu, Ritno menerima sejumlah penghargaan, antara lain SATU Indonesia Awards 2017 bidang Lingkungan dan Satya Lencana Pariwisata dari Presiden RI 2019.
Ritno Kurniawan merupakan lulusan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Begitu lulus kuliah, pemuda ini kembali ke kampung halaman. Di sekitar tempat tinggalnya, ia melihat aktivitas pembalakan liar menjadi profesi turun-temurun. Pekerjaan itu dilakoni oleh mayoritas warga.
”Filosofi warga, kalau di laut orang makan ikan, maka di hutan orang makan kayu,” katanya, dihubungi dari Jakarta, Senin (15/6/2020).
Setiap hari 10-15 batang kayu di Hutan Gamaran ditebang untuk mendatangkan uang. Padahal, Hutan Gamaran termasuk wilayah adat atau kawasan hutan lindung. Penebangan pohon menyebabkan hutan gundul yang membuat air bah merusak lahan pertanian dan perumahan warga. Kondisi ini sangat mengganggu masyarakat, terutama kelompok paling miskin.
Suatu hari, Ritno masuk ke hutan dan melihat keindahan Air Terjun Nyarai yang belum dikelola. Terpesona dengan keindahan air terjun, ia berniat mempromosikan tempat itu agar bisa menjadi sumber penghasilan daerah. Masalahnya, mengelola air terjun dianggap akan merusak mata pencarian warga karena alirannya biasa dipakai membawa gelondonan kayu.
Untuk mengatasi masalah ini, Ritno berbicara dengan tokoh adat dan berusaha meyakinkan gagasannya untuk mengelola air terjun sebagai obyek wisata. Setelah mendapatkan izin dari tokoh adat, pada 2013 Ritno membangun fasilitas tempat wisata secara sederhana.
Ketika itu, jalanan masih setapak. Untuk masuk ke hutan membutuhkan waktu berjam-jam melewati jalur yang menantang. Jalur yang dilewati merupakan tanah adat yang dikuasai tujuh kelompok suku setempat. Tantangan lainnya, belum ada fasilitas memadai untuk wisatawan.
Kelompok berparang
Alih-alih senang dengan rencana Ritno, sebagian orang justru marah. Suatu hari ketika Ritno sedang rapat dengan tokoh adat, sekelompok orang dengan parang mendatanginya dan meminta Ritno menghentikan kegiatannya. Ia juga mendapatkan penolakan dari keluarga karena pilihan pekerjaan yang tidak biasa. Namun, Ritno menolak mundur. Ia membuktikan kerja kerasnya bisa membuahkan hasil.
Bersama warga setempat, ia gotong royong membangun jalur pejalan kaki dan posko pendaftaran kunjungan. Ia juga bekerja sama dengan warga membangun toilet. Berbagai selisih paham diselesaikan secara musyawarah dan kekeluargaan. Setelah fasilitas ala kadarnya jadi, ia mempromosikan panorama air terjun melalui media sosial.
Beberapa teman dari luar kota tertarik datang. Setelah dikenal dari mulut ke mulut, jumlah kunjungan melonjak drastis. Dari semula tak ada orang yang mengenal keindahan air terjun, pada Maret 2014 datang 9.000-an pengunjung. Wisatawan harus membayar Rp 20.000 per orang. Apabila ingin berkemah, tiket menjadi Rp 40.000 per orang.
Dalam sehari, pendapatan kotor dari wisata itu mencapai Rp 50.000.000. Uang yang terkumpul digunakan untuk membangun toilet, jembatan, dan merapikan jalur perjalanan. Semula, perjalanan menuju air terjun bisa memakan waktu tiga jam. Setelah jalur dirapikan, waktu tempuh tinggal satu jam. Ia juga membagi hasil pengelolaan air terjun kepada suku-suku yang menguasai tanah ulayat, jasa pemandu, petugas posko keamanan, tim penyelamatan, dan warga lain yang terlibat.
Sebanyak 180 pemandu wisata yang terlibat semuanya merupakan bekas pembalak liar. Mereka mendapatkan penghasilan yang lebih baik daripada ketika bekerja sebagai penebang pohon.
Untuk menjaga antusiasme wisatawan, Ritno juga membuat paket-paket wisata yang menarik. Beberapa di antaranya adalah atraksi menombak ikan, mengamati burung langka kuau raja (Argusianus argus Linnaeus), dan menangkap ikan asli Lubuk Larangan. ”Kami menangkap ikan hanya untuk mendapatkan sensasinya. Setelah ikan tertangkap, kami foto-foto, setelah itu ikan dilepas lagi,” katanya.
Ritno mendapatkan ide mengelola potensi wisata daerah berdasarkan pengalamannya selama studi di Yogyakarta. Di ”Kota Pelajar”, ia mengunjungi banyak tempat wisata yang terkenal. ”Beberapa tempat yang saya datangi sebenarnya menawarkan potensi wisata yang biasa saja. Namun, saya heran mengapa bisa luar biasa ramai. Setelah saya pelajari, ternyata itu karena keramahan warga dan kesiapan daerah menyambut wisatawan,” katanya.
Pengalamannya itu memberikan ide mengembangkan potensi wisata daerah. Ia juga mengubah pola pikir warga untuk lebih peka dengan potensi-potensi daerah. Kini, di tengah pandemi Covid-19, kegiatan pariwisata sempat berhenti. Pemandu wisata menganggur karena tidak ada kunjungan sama sekali.
Kini, di tengah pandemi Covid-19, kegiatan pariwisata berhenti. Pemandu wisata menganggur karena tidak ada kunjungan sama sekali. Bukan Ritno namanya kalau menyerah. Dalam berbagai keterbatasan, ia berusaha berperan di tengah masyarakat dengan membagikan informasi mengenai penyebaran Covid-19 kepada warga. Ia mendistribusikan masker kain melalui gerakan Padang Pariaman Bermasker. Gerakan itu mendapat dukungan dari pemerintah daerah bantuan pada area arung jeram dengan membebaskan biaya pajak. Ada juga bantuan dari Federasi Arung Jerang Indonesia (FAJI) berupa dana untuk para pemandu yang terdampak.
Memasuki era normal baru, Ritno berusaha menerapkan protokol kesehatan untuk wisatawan yang hendak mengunjungi air terjun. Protokol kesehatan itu seperti menyediakan tempat cuci tangan, membatasi lima orang dalam setiap kelompok trekking, menyemprotkan cairan disinfektan pada setiap fasilitas wisata, dan mengecek suhu tubuh setiap wisatawan yang datang.
Memastikan hutan tetap lestari dan mendukung perekonomian warga menjadi semangat Ritno untuk memaksimalkan potensi wisata daerah. ”Saya mempunyai prinsip hidup untuk memberikan sumbangsih terhadap bumi. Saya selalu bertanya apa yang bisa kita tinggalkan dan bagaimana caranya mengabdi untuk lingkungan,” kata Ritno.
Ritno Kurniawan
Lahir: Bukittinggi, 3 Mei 1986
Pendidikan terakhir: S-1 Fakultas Pertanian UGM
Pekerjaan: wirausaha
Penghargaan antara lain:
- Juara 1 Pemuda Pelopor Tingkat Sumbar
- Juara 2 Wirausaha Pemula Mandiri Tingkat Sumbar
- Penggiat Sumbar Wisata dari Riau Post
- Pemuda Penggerak Wisata Daerah Air Terjun Nyarai dari Bupati Padang Pariaman
- Juara 1 Inovasi Manajemen Lingkungan dari PT Semen Padang
- Satu Indonesia Award Bidang Lingkungan 2017
- Tanda Kehormatan Satya Lencana Pariwisata dari Presiden RI 2019