Asimtomatik Covid-19 Bukan Berarti Tidak Terjadi Kerusakan Tubuh
Orang yang menderita Covid-19 tanpa gejala bukan berarti tak mengalami kerusakan di bagian tubuhnya akibat virus tersebut. Covid-19 juga diduga dapat menyebabkan gangguan pada sistem saraf.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Label infeksi Covid-19 tanpa gejala atau asimtomatik bukan berarti tidak terjadi kerusakan pada tubuh penderitanya. Kelainan pada paru-paru tetap terjadi meski tanpa gejala eksternal.
Para peneliti dari Chongqing Medical University serta Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Chongqing, China, mengobservasi 37 orang yang positif Covid-19 tetapi tidak menunjukkan gejala.
Meskipun demikian, pencitraan CT scan yang dilakukan kepada mereka menunjukkan adanya 21 orang (57 persen) di antara mereka yang memiliki karakteristik striped shadows ataupun ground-glass opacities pada paru-paru mereka.
Temuan ini telah dipublikasikan dalam jurnal Nature Medicine pada 18 Juni 2020 dengan judul ”Clinical and Immunological Assessment of Asymptomatic SARS-CoV-2 Infections”.
Dokter spesialis bedah toraks dan kardiovaskular RSUP Fatmawati dan RS Pusat Pertamina, Rugun Tobing, saat dihubungi, Jumat (26/6/2020), mengatakan bahwa ini adalah karakteristik terjadinya peradangan paru-paru.
”Kita selama ini berpikir kalau pada orang-orang yang asimtomatik ini artinya tidak ada kelainan. Kita sudah tidak bisa seperti itu lagi. Itu tadi adalah tanda-tanda peradangan di paru-paru,” kata Rugun.
Dilaporkan NPR, dokter spesialis paru-paru di NYU Langone Hospital-Brooklyn, New York, Amerika Serikat, juga menemukan karakteristik serupa pada mereka yang positif Covic-19 tetapi asimtomatik.
”Mereka datang ke rumah sakit untuk persoalan yang tidak ada sangkut pautnya dengan Covid-19. Namun, ketika dites, mereka ternyata positif,” kata Mercado.
Protokol kesehatan mutlak dilakukan
Studi yang dipimpin oleh Quan-Xin Long, Xiao-Jun Tang, Qiu-Lin Shi, Qin Li, dan Hai-Jun Deng ini juga menemukan bahwa lama infeksi yang dialami oleh pasien asimtomatik juga cenderung lebih lama dibandingkan mereka yang bergejala.
Secara rata-rata lama durasi infeksi para pasien asimtomatik adalah 19 hari; sekitar lima hari lebih lama dibandingkan rata-rata mereka yang bergejala Covid-19 ringan. Hal ini menunjukkan bahwa mereka yang asimtomatik akan dapat menularkan infeksi mereka selama periode tersebut.
Hal ini menjadi kian penting mengingat di Indonesia, pemerintah memilih untuk membuka kembali perekonomian dan memulai masa normal baru.
”Makanya penting sekali untuk tetap disiplin melakukan protokol kesehatan saat beraktivitas di luar rumah. Karena kita tidak pernah bisa tahu secara pasti apakah orang di sekitar kita termasuk OTG atau bukan; karena mereka tampak sehat dan baik-baik saja,” kata Rugun.
Gangguan otak
Selain gangguan pada sistem pernapasan, Covid-19 juga diyakini mengganggu sistem saraf manusia. Lebih dari sepertiga pasien yang dirawat di rumah sakit di Wuhan tercatat mengalami gangguan saraf, termasuk kejang-kejang dan berkurangnya kesadaran.
Peneliti dari Strasbourg University Hospital dan University of Strasbourg juga melaporkan bahwa 49 dari 58 pasien (84 persen) juga mengalami gangguan saraf dan 33 persen dari mereka yang sudah dipulangkan dari RS tetap mengalami diorientasi dan koordinasi gerakan yang rendah.
Professor of microbial pathogenesis and immunology dari Texas A&M University, Jeffrey Cirrilo, mengatakan ada kemungkinan bahwa virus korona dapat menginfeksi sel saraf secara langsung. Virus itu kemungkinan besar bereplikasi dalam sel saraf dan berdampak pada fungsi sel tersebut, kata Cirrilo dikutip New York Times.
Sebuah penelitian yang dicatat oleh Pusat Informasi Bioteknologi National Institute of Health (NIH) AS juga melaporkan bahwa partikel virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) ditemukan pada cairan otak seorang pasien yang mengeluhkan sakit kepala, kejang-kejang, dan halusinasi.
Ada kemungkinan bahwa virus korona dapat menginfeksi sel saraf secara langsung. Virus itu kemungkinan besar bereplikasi dalam sel saraf dan berdampak pada fungsi sel tersebut.
Di sisi lain, juga ada teori bahwa peradangan yang diakibatkan Covid-19 dapat secara tidak langsung memengaruhi sistem saraf. Seperti diketahui, Covid-19 dapat memicu peradangan luar biasa yang terjadi di seluruh organ tubuh.
Peradangan pada otak juga memicu penyumbatan pembuluh darah. Sebuah studi yang dilakukan oleh sejumlah peneliti Belanda menunjukkan bahwa gumpalan darah (blood clots) muncul di 30 persen pasien Covid-19 kritis.
”Gumpalan ini dapat menyebar di otak, menyebabkan otak untuk berfungsi di level yang lebih rendah,” kata ahli saraf Johns Hopkins University, Majid Fotuhi.