Salah Kaprah Zonasi dalam Penerimaan Siswa Baru
Masalah selalu muncul dalam pelaksanaan penerimaan peserta didik baru yang dilaksanakan dengan sistem zonasi. Belum meratanya kualitas sekolah dan juga pemahaman yang berbeda mengenai zonasi menjadi pemicu.
Pemerintah menerapkan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru yang diterapkan sejak tahun 2017 untuk memeratakan akses pendidikan. Selain itu juga mengurangi eksklusivitas, rivalitas, serta diskriminasi di sekolah negeri yang merupakan barang publik.
Penerimaan siswa baru berbasiskan nilai memicu disparitas pendidikan. Eksklusivitas sekolah favorit atau sekolah unggul dengan input capaian akademik yang tinggi, yang umumnya dari keluarga mampu, terus terjadi. Sementara di sekolah lain berkumpul siswa dengan kondisi sebaliknya.
Dengan sistem zonasi, di mana basis penerimaan siswa baru bukan lagi nilai melainkan wilayah atau zona, diharapkan mempersempit disparitas tersebut. Mendaftar dan diterima di sebuah sekolah terutama menjadi hak anak-anak yang tinggal di zona sekolah tersebut. Input siswa pun diharapkan menjadi lebih heterogen.
Untuk mewadahi anak-anak dengan capaian akademik tinggi dibuka jalur prestasi. Dan mulai tahun 2020 dibuka jalur afirmasi untuk mewadahi anak-anak dari keluarga tidak mampu atau anak-anak dari kelompok rentan lainnya. Di beberapa daerah, saat ini jalur afirmasi juga diperuntukkan bagi anak tenaga kesehatan dan tenaga pendukung yang menangani kasus Covid-19.
Penentuan zona menjadi krusial karena kualitas dan distribusi sekolah belum merata
Namun dalam praktiknya tidak sesederhana itu, terutama untuk jalur zonasi. Penentuan zona menjadi krusial karena kualitas dan distribusi sekolah belum merata. Dari sisi sarana dan prasarana sekolah, data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2019 menunjukkan, 50 persen ruang kelas dalam kondisi tidak baik.
Distribusi guru yang berkualitas tinggi juga belum merata. Kesenjangan pendidikan, kata Direktur Pembinaan SMA Kemdikbud Purwadi dalam rapat koordinasi Kemdikbud dengan dinas pendidikan provinsi secara daring pada 5 Mei 2020, juga karena faktor guru tersebut. Karena itu, guru hebat harus diredistribusi ke sekolah yang tidak hebat.
Namun tanpa didahului tata kelola sekolah dan guru untuk memeratakan kualitas pendidikan, konsep sekolah favorit dan non favorit masih akan terus melekat di masyarakat. Harapan mudah mendapatkan sekolah dengan nilai tinggi masih akan membuai anak-anak. Apalagi, tiga tahun pelaksanaan zonasi belum membuahkan hasil yang signifikan.
Baca juga: Pemerataan Pendidikan yang Berkeadilan
Masalah selalu terjadi setiap kali PPDB, mulai dari masalah teknis dan administrasi pendaftaran, penentuan zona sekolah, hingga penafsiran zona untuk jalur zonasi itu sendiri. Menentukan zona dengan memperhatikan ketersediaan daya tampung sekolah dan masyarakat tidak selalu mudah untuk daerah-daerah yang distribusi sekolahnya tidak merata.
Aturan untuk menetapkan zona sejak awal sama, meski kuota jalur zonasi berubah-ubah dari awalnya 90 persen, dan saat ini 50 persen. Penetapan wilayah zonasi, sebagaimana kini ditetapkan dalam Peraturan Mendikbud Nomor 44 Tahun 2020 tentang PPDB 2020, dilakukan pemerintah daerah dengan prinsip mendekatkan domisili peserta didik dengan sekolah.
Adapun proses seleksi calon peserta didik baru kelas VII (SMP) dan kelas X (SMA) dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah dalam wilayah zonasi yang ditetapkan. Jika jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan sekolah sama, maka seleksi menggunakan usia peserta didik yang lebih tua berdasarkan surat keterangan lahir atau akta kelahiran.
Beda penerapan
Namun dalam pelaksanaannya di daerah bisa berbeda. Di Jawa Tengah, misalnya, penetapan zonasi untuk PPDB SMA berbasis desa/kelurahan dengan sekolah. Proses seleksinya berdasarkan jarak tempuh terdekat domisili calon peserta didik berdasarkan jarak kantor desa/kelurahan menuju sekolah. Calon peserta didik yang berasal dari satu RW dengan sekolah diprioritaskan diterima. Baru setelah itu seleksi berdasarkan usia yang lebih tua, dan nilai prestasi.
Di Sulawesi Utara, proses seleksi dalam PPDB SMA berdasarkan jarak dengan basis radius domisili terdekat dengan sekolah. Dalam sosialisasi cara mendaftar PPDB “Online” 2020 SMA/SMK Provinsi Sulawesi Utara secara daring pada 13 Mei 2020, panitia PPDB menjelaskan bahwa siswa yang radius rumahnya lebih dekat dari sekolah berpotensi lebih besar diterima dibandingkan dengan siswa yang radius rumahnya lebih jauh dari sekolah.
Di Jakarta, penetapan zonasi untuk PPDB SMA berbasis wilayah kelurahan. Namun proses seleksinya berdasarkan usia, bukan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah sebagaimana dalam Pasal 25 Permendikbud Nomor 44/2019.
Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Nomor 501 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis PPDB Tahun Pelajaran 2020/2021, menyebutkan, jika jumlah calon peserta didik baru yang mendaftar dalam zonasi melebihi daya tampung, maka seleksi berdasarkan usia tertua ke usia termuda. Kriteria berikutnya adalah urutan pilihan sekolah, dan terakhir berdasar waktu mendaftar.
Ketentuan usia tersebut juga berlaku dalam proses seleksi pada jalur afirmasi bagi anak pemegang Kartu Jakarta Pintar, anak pemegang Kartu Pekerja Jakarta, anak pengemudi Jak Linko, anak terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Ketentuan ini juga berbeda dengan Pasal 28 Permendikbud Nomor 44/2019 yang menyebutkan, dalam hal daya tampung untuk jalur afirmasi atau jalur perpindahan tugas orang tua/wali tidak mencukupi, maka seleksi dilakukan berdasarkan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah.
Alasan penggunaan kriteria usia terkait upaya memfasilitasi anak-anak di kuadran 4 untuk masuk sekolah negeri menjadi paradoks dengan prinsip zonasi dalam PPDB. Anak yang masuk kuadran 4, yaitu anak yang kemampuan akademiknya kurang dan berasal dari keluarga tidak mampu, umumnya berusia lebih tua.
Sejak awal sistem zonasi diterapkan, capaian akademik tidak menjadi ukuran dalam jalur zonasi. Adapun siswa tidak mampu telah diakomodasi melalui jalur afirmasi. Terkait usia, dalam proses seleksi pun mendapat prioritas kedua setelah kriteria jarak.
Dengan kondisi tersebut, bukan hanya pemahaman mengenai zonasi yang berbeda, pengertian zonasi untuk seleksi calon siswa baru pun menjadi salah kaprah. Protes para orangtua calon peserta didik baru juga menjadi bukti pemahaman yang berbeda soal zonasi ini.
Baca juga: Pemahaman Beragam Jadi Sumber Masalah
Secara yuridis formal, menurut Jenderal Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim, Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Nomor 501 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis PPDB Tahun Pelajaran 2020/2021 berpotensi menyalahi Permendikbud Nomor 44/2019. Penetapan kuota untuk jalur zonasi yang sebesar 40 persen juga tidak sesuai permendikbud yang menetapkan 50 persen.
Karena itu, FSGI minta regulasi PPDB diperbaiki secara nasional. Alokasi untuk zonasi murni harus tetap dipertahankan. Evaluasi pelaksanaan PPDB dengan sistem zonasi yang dilakukan sejak 2017 mutlak dilakukan. Ini bukan hanya soal kepastian hukum, tetapi juga menjamin hak anak memperoleh pendidikan dengan adil.