Mati Lampu Bersama Ahmad Tohari
Sastrawan Ahmad Tohari menerima penghargaan Cerpen Pilihan ”Kompas” 2019. Karena pandemi, acara penganugerahan dilakukan jarak jauh dan disiarkan langsung Kompas TV. Namun, 30 menit menjelang acara, lampu tiba-tiba mati!
”Mereka Mengeja Larangan Mengemis” karya Ahmad Tohari terpilih sebagai cerpen terbaik dalam anugerah Cerpen Pilihan Kompas 2019. Acara penganugerahan disiarkan langsung di Kompas TV dalam rangkaian acara HUT Ke-55 Harian Kompas: Kawan dalam Perubahan. Namun sayang, karena wabah Covid-19, Ahmad Tohari tidak bisa datang ke Jakarta.
Minggu (28/6/2020) malam, di rumah budaya Ahmad Tohari di Desa Tinggarjaya, Banyumas, Jawa Tengah. Budayawan Banyumas itu telah duduk rapi di hadapan laptop. Di kedua telinganya menempel earphone untuk mengikuti siaran langsung via aplikasi Zoom.
Saat itu, kami tengah menunggu sambungan dari studio Kompas TV Jakarta. Ahmad Tohari akan muncul live dalam dialog Satu Meja The Forum Spesial yang merupakan salah satu mata rangkaian acara HUT Ke-55 Kompas. Dialog akan dimulai pukul 21.00, yang juga menampilkan dua penerima Anugerah Cendekiawan Berprestasi 2020.
Namun, apa yang terjadi. Tiga puluh menit menjelang acara dimulai, pet! Lampu padam!
Ahmad Tohari, Widia (putri Ahmad Tohari), dan saya segera keluar dari rumah budaya. Berusaha mencari penerangan sekaligus memastikan apakah listrik padam seluruhnya atau hanya padam lokal.
Ternyata lampu di rumah utama Ahmad Tohari yang berada di sebelah timur rumah budaya terlihat menyala. Demikian juga dengan lampu di rumah Widia yang berlokasi di sebelah barat rumah budaya.
Ahmad Tohari bergegas lari ke rumah utama, mencoba menyalakan lampu di rumah budaya yang diduga padam akibat kelebihan beban. Saat itu, waktu terasa berjalan begitu lambat.
Saya mencoba menyalakan fitur senter di telepon seluler untuk mencari alternatif tempat ataupun sumber pencahayaan lain. Saya coba menyalakan lampu sorot LED 36 yang sudah disiapkan. Namun, ternyata sinarnya tidak cukup kuat untuk menghalau pekatnya malam di rumah budaya.
Perasaan pun campur aduk, khawatir sekaligus bingung. Apakah kami harus pindah tempat atau menyalakan lampu senter ponsel sebagai penerangan.
Keringat dingin mulai menitik di dahi. Persiapan sejak sore untuk menata letak dan mencari posisi terbaik pun buyar jika listrik tak kunjung menyala. Detik yang berganti menit terasa bagaikan telah berjam-jam berlalu.
Baca juga : Menyentil Keluarga ”daripada” Soeharto lewat Sepatu
Sambungan langsung ini merupakan salah satu momen bersejarah harian Kompas yang tengah merayakan ulang tahun ke-55 dan disiarkan melalui Kompas TV.
Akibat pandemi Covid-19, Malam Jamuan Cerpen Kompas tidak bisa diselenggarakan seperti biasanya. Para cerpenis tidak bisa dihadirkan, termasuk Ahmad Tohari yang cerpennya terpilih menjadi yang terbaik.
Untunglah, berkat kemajuan teknologi, sosok Ahmad Tohari tetap dapat ”hadir” langsung meski secara virtual. Tetapi, masak pemirsa di rumah disajikan visual Ahmad Tohari yang hanya diterangi sorot lampu minim?
Di tengah kekalutan itu, saya terus berdoa agar listrik di rumah budaya bisa kembali menyala. Kurang dari lima menit kemudian, byar! Lampu menyala lagi. Puji Tuhan....
Ahmad Tohari pun kembali masuk ke rumah budaya. Namun, wajahnya masih tampak cemas. ”Saya khawatir, listrik masih tidak kuat. Saya coba kurangi lagi,” kata novelis Ronggeng Dukuh Paruk ini sambil mematikan lampu penerangan di luar rumah budaya.
Tiga dari lima lampu kemudian dipadamkan. Saya juga mencabut pengisi daya laptop dan dua ponsel.
Baca juga : Dari Wawancara Transmigran di Pelosok hingga Presiden di Gedung Putih
Ahmad Tohari kembali duduk di depan laptop. Sambil merapikan earphone dan menanti sambungan audio dari Jakarta, kami mengatur napas dan mencoba tenang. Namun, perasaan cemas tak juga hilang sambil terus berharap agar listrik tidak padam lagi.
Sekitar pukul 20.50, sambungan telepon masuk. Wawancara melalui aplikasi Zoom selama 20 menit berjalan lancar. Listrik pun bersahabat hingga akhir acara. Sekali lagi, puji Tuhan, semua berjalan lancar.
Ketegangan sebelum itu
Di usianya yang ke-55, harian Kompas mengusung moto ”Kawan dalam Perubahan”. Semangat ini juga yang saya bangun sebagai bekal untuk beradaptasi dari budaya kerja wartawan tulis menjadi wartawan yang mampu memenuhi kebutuhan era digital.
Laporan dari lapangan kini tak lagi cukup hanya menampilkan hasil wawancara, memotret, dan menulis, tetapi perlu juga dilengkapi dengan video. Kanal Kompas.id, yang menyediakan ruang lebih luas dibandingkan koran yang terbatas halaman, menjadi laboratorium transisi jurnalistik tersebut.
Banyak foto bisa ditampilkan dari berbagai sisi, selain video untuk melengkapi naskah tulisan. Tentu perjuangan memperdalam dan memperkaya naskah kemudian menjadi pekerjaan rumah yang mesti lebih serius digarap demi menyajikan konten premium bagi pembaca.
Pengalaman itulah yang membawa saya kini harus menambah perlengkapan liputan. Tiga hari sebelum siaran langsung, saya mengambil video Ahmad Tohari yang menyampaikan ucapan terima kasih atas penghargaan yang diterimanya. Rekaman ini juga ditampilkan di Kompas TV seusai pengumuman karya Tohari terpilih sebagai cerpen terbaik.
Baca juga : Menonton Drama Penyelundupan BBM di Cilincing
Namun, seusai pengambilan gambar, saya kaget luar biasa ketika menyadari hasil rekaman tidak seperti harapan. Rumah Ahmad Tohari yang berada persis di pinggir jalan nasional menyebabkan bisingnya suara kendaraan masuk ke dalam rekaman. Padahal, saya juga tidak merekam audio lewat ponsel sebagai jaga-jaga jika audio di video kurang bagus.
Saya langsung cemas sekaligus bersiap-siap jika diminta untuk mengambil rekaman ulang. Padahal, jarak rumah saya dengan rumah Tohari cukup jauh. Belum lagi memikirkan, saat itu saya belum punya mikrofon clip on.
Benar saja. Sehari sebelum jadwal live, saya diminta kembali ke Jatilawang untuk meminta rekaman ulang. Puji Tuhan, Ahmad Tohari yang rendah hati dan ramah bersedia direkam ulang.
Kali ini, saya membekali diri dengan mikrofon clip on dan lampu LED yang sengaja saya beli sebelum berangkat. Saya juga membawa dua tripod agar gambar yang dihasilkan nanti tidak goyang.
Penyesuaian alat dan budaya kerja serta komunikasi internal, baik dengan sesama rekan di harian Kompas maupun di Kompas TV, ternyata menjadi perjuangan tersendiri.
Jadwal yang berubah-ubah dan beragamnya permintaan karena banyaknya tim dengan kebutuhan masing-masing menuntut kesabaran ekstra. Belum lagi tekanan waktu yang mendesak.
Baca juga : Pengalaman Dikejar Awan Panas Gunung Merapi
Pengalaman mengambil video Ahmad Tohari pun menyimpan kisah tersendiri. Beliau minta agar latar belakang rekaman dirinya adalah tulisan ”Gubug Carablaka Rumah Budaya”.
Namun, sayangnya, tulisan ini cukup tinggi di atas pintu. Pada saat pengambilan video pertama, saya harus naik meja untuk mencopot tulisan itu dan memakunya pada palang pintu agar tidak terlalu jauh dari kepala Ahmad Tohari.
Saat rekaman ulang, karena sempitnya waktu, kami tidak sempat lagi memindahkan tulisan tersebut. Setelah meminta maaf, saya kemudian meminta Ahmad Tohari berdiri di atas kursi saat rekaman.
Tujuannya, agar jarak antara posisi tulisan dengan kepala Ahmad Tohari tidak terlalu jauh. Untung saja, beliau yang usianya memasuki 72 tahun ini bersedia naik kursi. Terima kasih Pak Ahmad Tohari.
Sepenggal kisah itu berbuah manis ketika seluruh rangkaian acara live berlangsung lancar. Pukul 22.00 saya berpamitan. Beliau yang mengawali karier menulis sebagai wartawan balik berterima kasih sembari memberi pesan yang meneguhkan.
”Ya, demikianlah kerja wartawan. Hati-hati, sudah malam. Dulu saya pernah diminta liputan di rumah pemotongan hewan di Jakarta. Saya berangkat pukul 02.00 pakai vespa dan membawa kamera yang berat,” kata Ahmad Tohari yang merupakan idola saya sejak duduk di bangku SMA.
Saya pun pulang ke Purwokerto menyusuri tepian Sungai Serayu yang gelap dan dingin sambil mengucap syukur tiada akhir. Selamat ulang tahun Kompas!