Fungsi orangtua yang terutama adalah memberikan rasa cinta kepada anaknya, bukan sebaliknya.
Oleh
Madina Nusrat/Benediktus Krisna Yogatama/Dhanang David Aritonang
·4 menit baca
Banyak orangtua terjebak dalam perspektif bahwa penggunaan kekerasan, baik fisik maupun verbal, pada anak adalah dalam rangka pendisiplinan anak. Padahal, pendisiplinan berbeda dengan kekerasan.
Psikolog dari Yayasan Pulih, Ika Putri Dewi, Rabu (24/6/2020), menyampaikan, membuat anak disiplin tidak perlu menggunakan kekerasan. Sebaliknya, kekerasan terhadap anak malah membuat mereka terluka dan berdampak buruk pada tumbuh kembangnya.
Anak pun merasa direndahkan dan memiliki persepsi bahwa orangtua bukan tempat bersandar yang aman, nyaman, dan bisa dipercaya.
”Fungsi orangtua yang terutama memberikan rasa cinta pada anaknya, bukan sebaliknya,” ujar Ika.
Menurut Ika, kekerasan yang dilakukan orangtua kepada anak disebabkan ada unsur relasi yang tidak seimbang antara orangtua dan anak. Orangtua merasa lebih tinggi dari anak. Padahal, semestinya, orangtua harus menempatkan diri setara dengan anak.
”Ketimpangan itu membuat kekerasan terjadi terus-menerus, terakumulasi, dan menjadi pola. Ada rasa terintimidasi, terancam, sakit hati, merasa tak aman pada anak. Nah, sampai di titik itu sudah disebut kekerasan,” ujar Ika.
Sebaliknya yang disebut pendisiplinan, lanjut Ika, adalah segala bentuk yang memang diupayakan orangtua untuk membimbing, mengasuh, memahami, serta memenuhi hak dan kebutuhan anak.
Ada aturan main dan kesepakatan yang dibuat orangtua bersama anak. Apabila anak melanggar, ada hukuman dan konsekuensi sehingga anak menghormati kesepakatan dan menyadari kesalahannya ketika melanggar. Semua dilakukan tanpa menggunakan kekerasan.
Psikolog dari komunitas parenting Rational Parenting Indonesia, Agustina Untari, lebih rinci menguraikan tujuan pendisiplinan. Menurut dia, disiplin pada anak memiliki dua tujuan, yakni jangka pendek dan jangka panjang. Disiplin jangka pendek bertujuan agar anak berperilaku sesuai aturan yang berlaku, norma sosial, dan ekspektasi orang di sekitarnya.
Sementara tujuan jangka panjang digunakan untuk membangun karakter anak, seperti hormat, empati, penilaian yang tepat akan situasi, regulasi diri, dan pengambilan keputusan. ”Disiplin adalah sesuatu yang perlu dibangun dari dalam, seperti tulang punggung, bukan sesuatu yang dipasangi kunci dari luar, seperti borgol,” ujar Agustina yang akrab dipanggil Ina ini.
Untuk membangun disiplin pada anak terdapat dua strategi, yaitu strategi pencegahan dan strategi perbaikan. Strategi pencegahan secara sederhana diartikan sebagai strategi pendisiplinan sebelum anak melakukan kesalahan. Sementara strategi perbaikan adalah strategi pendisiplinan anak setelah melakukan kesalahan.
Upaya yang dilakukan dalam strategi pencegahan antara lain menjalin hubungan yang dekat dan positif dengan anak, menciptakan lingkungan fisik yang kondusif, membantu anak merasa ikut menentukan aturan dan target yang ingin dicapai, serta menjadi teladan yang konsisten.
Adapun upaya yang dilakukan dalam strategi perbaikan antara lain menyampaikan teguran, ekspektasi, dan batasan yang jelas serta spesifik, melakukan analisis masalah dan mencari solusi, menerapkan konsekuensi logika secara konsisten, serta menghindari perebutan kekuasaan dengan anak.
Zaman dulu
Menurut Ina, jika sampai sekarang masih ada anggapan bahwa anak akan kuat jika dididik dengan keras, kita perlu kembali menilik definisi kuat. Apalagi tak sedikit kalangan orangtua yang tumbuh pada era 1980-1990-an menganggap pendidikan dengan cara keras dapat membuat anak tangguh.
”Kalau definisi kuat itu artinya tidak menangis, itu bukan kuat. Tidak menangis, tetapi punya luka batin. Lalu dia tumbuh menjadi orang yang cenderung mendominasi dan menekan orang di sekitarnya. Itu bukan kuat,” ujar Ina.
Jika anak dididik dengan kekerasan, hasilnya anak pun akan toleran terhadap kekerasan. ”Kalau orang terbiasa dengan kekerasan, ya sudah empatinya tidak ada. Begitu kekerasan terjadi, dia akan melihatnya biasa saja,” jelasnya.
Jangan lupa juga, kata Agustina, mendidik dengan kekerasan dapat melukai anak. Apalagi temperamen satu anak dengan anak yang lain berbeda-beda. Ada anak yang memang temperamennya santai. Namun, ada pula anak yang temperamennya lebih butuh untuk dielus-elus, dipeluk, lebih banyak kebutuhannya untuk validasi. Jika anak dengan temperamen demikian mengalami kekerasan, dia bisa menjadi benar-benar terpuruk.
”Hasilnya, kelihatannya kuat, dia masih hidup. Tetapi, lihat bagaimana cara dia bekerja, apakah dia bisa menjadi orang yang bisa memberikan kontribusi positif di tempat kerjanya, atau dia jadi cenderung orang yang bikin masalah,” kata Agustina.
Sebaliknya orang yang kuat, menurut Agustina, mampu mencari solusi yang positif. Secara proaktif dia mampu mencari solusi supaya masalah tidak semakin besar. ”Orang yang kuat adalah orang yang maturing dan caring. Ia mampu menghubungkan orang lain, dan itu orang yang kuat,” jelasnya.
Robertus Rubiyanto, aktivis parenting Rational Parenting Indonesia, juga mengingatkan, kemampuan lain yang harus dikembangkan pada anak seharusnya adalah daya lenting anak. Orangtua melatih dan mengembangkan daya lenting anak, yaitu seberapa kuat dia bisa bangkit setelah menghadapi permasalahan atau keadaan yang tidak diharapkannya.
”Ada anggapan bahwa kuat itu tahan kekerasan, padahal tidak seperti itu. Yang harus dikembangkan adalah daya lenting anak agar dia tangguh menghadapi hal-hal yang sering kali tidak sesuai harapannya,” ujar Robertus.