Jika anak terus-menerus dididik dengan kekerasan, dia pun akan bersikap agresif. Kondisi ini bisa memperburuk kualitas sumber daya manusia di masa mendatang.
Oleh
Madina Nusrat/Benediktus Krisna/Dhanang David
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Beberapa data dan survei menunjukkan remaja saat ini rentan mengalami stres hingga memiliki keinginan bunuh diri. Sementara di masyarakat ditemukan anak-anak melukai diri dan berusaha bunuh diri karena tertekan oleh pola asuh orangtua yang bernuansa kekerasan. Ketika keluarga menjadi sumber masalah, masyarakat perlu mengambil peran.
Sebut saja data Global Health Observatory menunjukkan angka kematian kasar akibat bunuh diri untuk anak usia 10-19 tahun sebanyak 2 orang per 100.000 penduduk pada 2016. Sementara dari hasil survei Global School-Based Student Health Survey yang diadakan Kementerian Kesehatan pada 2015 diperoleh 5 persen dari 10.837 siswa SMP-SMA di Indonesia ingin bunuh diri.
Penelitian terakhir dengan merujuk pada disertasi dr Nova Riyanti Yusuf, psikiater dan juga Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa DKI Jakarta, menunjukkan hanya 28,4 persen dari 910 siswa 17 tahun di SMA/SMK yang sehat mental. Selebihnya, 71,6 persen mengalami depresi, mulai dari ringan, sedang, hingga sangat berat. Tak kurang dari 125 anak atau 13,5 persen dari responden memiliki faktor risiko ide bunuh diri yang tinggi.
”Angka ini (remaja ingin bunuh diri) besar sekali sehingga kondisi kesehatan jiwa anak-anak kita cukup mengerikan,” jelas Nova yang dihubungi, Jumat (17/7/2020).
Sayang, hingga saat ini Indonesia belum memiliki sistem registri kasus bunuh diri nasional. Nova pun menyampaikan, masalah kesehatan jiwa belum masuk dalam fokus Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
Data jumlah pasien remaja yang melukai diri maupun mencoba bunuh diri di RS Polri Kramatjati dan RS Cipto Mangunkusumo, contohnya, sulit diperoleh. Saat mengajukan permohonan data tersebut ke Kementerian Kesehatan, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Fidiansjah pun merujuk Kompas untuk meminta data tersebut kepada Nova.
Fidiansjah menyampaikan, kini Pusat Penelitian Pengembangan Sumber Daya Masyarakat dan Fasilitas Kesehatan Kemenkes tengah melaksanakan penelitian terkait tren remaja melukai diri dan bunuh diri. ”Penelitian sudah berlangsung dan dilaksanakan sesuai modul suicide prevention dari WHO (Organisasi Kesehatan Dunia),” jelasnya.
Sementara di masyarakat, anak-anak yang melukai diri dan ingin bunuh diri kini berada dalam kondisi kejiwaan belum sepenuhnya stabil. Olin (17), bukan nama sebenarnya, contohnya, masih melukai diri meskipun saat ini intensitasnya bisa setahun sekali. Sebelumnya, selama TK hingga SMP, siswi SMK ini kerap melukai diri karena dituntut orangtuanya berprestasi di sekolah. Jika tak mampu menyelesaikan pelajaran, ia akan memperoleh amarah dan pemukulan dari orangtuanya.
Olin pun mengaku memiliki empat teman seusianya yang memiliki perilaku serupa. ”Biasanya kalau ada masalah di keluarga, kesal dengan orangtua, garuk tangan (lukai diri). Teman saya juga ada yang suka posting (unggah) foto lukanya di Facebook. Kalau ditanya kenapa lagi, dia bilang kesal sama keluarga,” tuturnya.
Astuti (22), penyintas bunuh diri, hingga kini masih mengalami tekanan jiwa karena sejak kecil sudah dilabeli oleh ayah tirinya sebagai beban keluarga. Lulus SMP di Sukabumi, Jawa Barat, ia pun bekerja di Jakarta. Saat ia berusia 18 tahun, ayah tirinya meminta Astuti bekerja di luar negeri karena dianggap penghasilannya lebih besar.
Selama bekerja, Astuti menjadi penyokong ekonomi keluarga, termasuk melunasi sejumlah utang orangtuanya. Selama itu ia mengakui pernah berusaha bunuh diri dengan mengonsumsi obat penenang dalam jumlah banyak. Namun, dia kemudian dapat diselamatkan.
Hingga kini rasa tertekan akibat perlakuan orangtua masih dirasakan Astuti. Namun, ia belum berupaya memeriksakan kesehatan jiwanya ke psikolog ataupun psikiater. Ia takut pergi ke psikolog lantaran khawatir biayanya mahal dan khawatir pada stigma di masyarakat bahwa orang yang konsultasi di psikolog adalah orang gila.
”Temanku sering bilang, ’Kamu ke psikolog saja’. Tapi aku masih takut. Takutnya dikatain orang gila dan mahal (biaya konsultasi psikolog) bayangan aku,” ujarnya.
Hingga kini, berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, jumlah pelaku kekerasan pada anak dari kalangan orangtua dan anggota keluarga meningkat setiap tahun. Selama 2016-2018 ada 1.663 hingga 2.672 orangtua dan anggota keluarga yang menjadi pelaku kekerasan pada anak. Pada 2019 angkanya sedikit menurun menjadi 2.314 orang. Selama Januari-14 Juni 2020, di masa pandemi Covid-19, terdapat 735 orangtua dan anggota keluarga yang melakukan kekerasan pada anak.
Guru Besar Psikologi Sosial Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Koentjoro menyampaikan, saat ini anak masih dianggap prestise oleh orangtua sehingga yang diberikan kepada anak lebih berupa materi dibandingkan kasih sayang. Sementara ruang untuk katarsis, melepaskan emosi, semakin terbatas karena luas rumah pada umumnya semakin menyempit.
”Seperti pandemi Covid-19 ini, kondisi yang stressful, sementara rumah di masyarakat semakin lama semakin kecil. Akibatnya tak ada tempat bagi orangtua untuk katarsis, melepaskan emosi. Akibatnya, jika dia marah, anak dan istri yang menjadi korban. Dampaknya jelas akan menimbulkan agresivitas pada anak,” jelasnya.
Menurut Koentjoro, agresivitas itu wujudnya bisa dalam dua bentuk, yakni melukai diri sendiri dan melukai orang lain. Bentuk melukai orang lain kini sedang dihadapi di Yogyakarta, yakni kenakalan remaja berupa klitih. Dari sejumlah diskusi, lanjutnya, diketahui para pelaku klitih berasal dari keluarga disharmoni.
Sebagai anak, pelaku klitih tak bisa dijerat hukum positif sehingga harus dikembalikan kepada keluarga. Namun, permasalahannya, menurut Koentjoro, keluarga para pelaku itu umumnya disharmoni. ”Anak tidak diurusi keluarganya, terus yang mengurusi anak siapa? Karena itu, kalangan psikolog menyarankan agar masyarakat mengambil peran sebagai pengganti orangtua,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Koentjoro, perlu dihidupkan kembali pendidikan kesejahteraan keluarga di tengah masyarakat dan juga di sekolah. Pendidikan ini dapat diadakan di kelompok-kelompok sosial di lingkungan tempat tinggal warga yang selama ini baru terbatas kegiatan arisan. Sementara kelas parenting atau pengasuhan yang ada saat ini baru diikuti oleh orangtua yang mulai sadar perlu mengembangkan kemampuannya mengasuh.
”Pendidikan, pengayaan ilmu tentang keluarga (pengasuhan anak) ini penting karena tidak ada sekolah untuk orangtua. Kalau yang ikut kelas parenting itu, kan, yang sudah sadar. Yang belum sadar ini perlu dijangkau,” ucapnya.
Meskipun tak ada sekolah bagi orangtua, saat ini mulai muncul kesadaran bahwa orangtua ikut berkontribusi terhadap kenakalan pada anak. Tulisan berjudul ”Ortu Durhaka”, contohnya, beredar dan dibagikan oleh 76 akun di Facebook. Tulisan itu memuat pesan bahwa untuk menjadi orangtua dibutuhkan kematangan emosi sehingga dapat mengasuh anak dengan baik.
Tulisan itu disusun dan dibagikan oleh aktivis parenting Rational Parenting Indonesia, Nana Padmosaputro. Menurut Nana, ia berinisiatif menyampaikan pesan Ortu Durhaka itu karena baik orangtua maupun anak memiliki hak dan kewajiban yang sama. Oleh karena itu, tak selamanya anak yang durhaka, karena orangtua pun bisa durhaka.
”Faktanya banyak orangtua bunuh anak, menjual anak jadi pelacur dan pekerja dan hasilnya kasih ke orangtua. Ada juga mengawinkan anak supaya bebannya berkurang dan itu diomongin dengan lugas di depan apa adanya,” jelasnya.
Nana yang juga dosen pembangunan karakter di salah satu universitas swasta ini menyampaikan, jika anak terus-menerus dididik dengan kekerasan, dia pun akan bersikap agresif. Kondisi ini bisa memperburuk kualitas sumber daya manusia pada masa mendatang.
”Kalau masyarakat kita terbiasa seperti itu (mengasuh dengan kekerasan), nanti SDM kita seperti apa? Misalkan bosnya bilang, ’Elo kerja niatnya apa sih, kok tiap kali datang terlambat’. Terus si anak ini bilang, ’Bos juga begitu’. Akhirnya anak ini menggunakan cara menyerang karena dari kecil hanya itu yang dia tahu,” tuturnya.