Klaim keliru obat-obatan untuk Covid-19 bisa membahayakan keselamatan pasien. Karena itu, calon obat harus melalui berbagai tahapan uji klinis dan hasilnya wajib dipublikasikan secara ilmiah.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
Klaim obat-obatan untuk Covid-19 harus melalui berbagai tahapan uji klinis dan hasilnya wajib dipublikasikan secara ilmiah guna mendapatkan tinjauan sejawat. Proses ini diperlukan agar obat-obatan yang dihasilkan menyembuhkan dan menghindari dampak berbahaya sebagaimana pernah terjadi dalam skandal obat tamiflu saat wabah flu burung.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari F Syam dan ahli kesehatan masyarakat dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman, secara terpisah, Selasa (18/8/2020), mengatakan, klaim obat-obatan tidak bisa dilakukan sembarangan dengan pernyataan di media massa. Prosesnya harus melalui uji klinik dan review atau tinjauan dari ilmuwan sejawat. Apalagi untuk obat-obatan yang diklaim bisa mengatasi penyakit yang menjadi pandemi global.
”Setelah uji klinis, hasilnya harus diuji dengan didaftarkan ke kongres dunia dan selanjutnya dipublikasi di jurnal internasional untuk mendapatkan pengakuan bahwa uji klinik tersebut valid serta bisa masuk panduan dan protokol pengobatan baru,” kata Ari.
Dia mencontohkan, proses serupa dilakukannya bersama tim setelah melakukan uji klinis kombinasi obat untuk menangani pasien dengan infeksi kuman Helicobacter pylori yang dapat menimbulkan penyakit saluran pencernaan, seperti gastritis dan tukak lambung.
Menurut Ari, uji klinis harus dilakukan dengan prinsip double-blinded randomized clinical trial, artinya peneliti dan pasien tidak tahu obat yang diberikan. Proses riset, selain harus lolos etik kesehatan, juga didaftarkan ke Clinicaltrial.gov, yang menjadi kewajiban sebelum dikirim ke jurnal internasional.
”Setelah hasilnya kami bawa ke kongres internasional di Amerika pada tahun 2017, baru kemudian kami publikasikan di jurnal dan akhirnya diterima di salah satu jurnal internasional,” katanya.
Begitu mendapat review dari sejawat, menurut Ari, obat-obatan baru ini juga tidak otomatis bisa diterima karena akan dilihat konsistensinya dengan penelitian lain di luar negeri. Proses yang panjang ini diperlukan untuk menjamin manfaat dan meminimalkan risiko bagi pasien.
Kasus tamiflu
Dicky Budiman mengatakan, upaya menemukan obat memang tidak mudah. ”Belajar dari pandemi sebelumnya, pengabaian terhadap kaidah ilmiah dalam riset untuk menemukan obat-obatan ataupun vaksin bisa sangat berbahaya. Sebagai contoh, skandal ’tamiflu’ untuk obat wabah flu burung,” ungkapnya.
Menurut dia, tamiflu atau oseltamivir merupakan obat-obatan yang telah disetujui penggunaannya oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (Food and Drug Administration/FDA) Amerika Serikat sejak 1999 dan European Medicines Agency (EMA) pada 2002 untuk pengobatan influenza. Klaim sepihak bahwa obat ini bisa mengatasi pandemi flu burung H1N1 pada tahun 2009 membuat pemerintah di seluruh dunia menimbun oseltamivir.
Pada tahun 2010, setelah pandemi H1N1 di seluruh dunia, oseltamivir ditambahkan ke daftar obat esensial WHO. Hasilnya, penjualan oseltamivir di seluruh dunia telah menghasilkan lebih dari 18 miliar dollar AS.
Namun, FDA kemudian menemukan, tidak ada bukti bahwa oseltamivir mengurangi komplikasi atau kematian sebagaimana klaim produsen. Pada tahun 2014, editorial di The British Medical Journal menulis, kasus tamiflu terjadi karena tidak adanya transparasi hasil kajian dan uji klinis yang dilakukan.
Belajar dari pandemi sebelumnya, pengabaian terhadap kaidah ilmiah dalam riset untuk menemukan obat-obatan ataupun vaksin bisa sangat berbahaya.
Menuru Dicky, riset mengenai obat tamiflu sejak awal dilakukan tidak transparan. ”Sepanjang tahun 2013-2014 muncul banyak efek samping yang bisa menyebabkan kematian hingga gangguan mental bagi orang yang menggunakannya hingga akhirnya digugat di pengadilan. Fenomena yang sama bisa terjadi jika klaim obat Covid-19 ternyata membahayakan,” ujarnya.