Di tengah Pandemi, Perguruan Tinggi Perlu Lebih Adaptif
Masa pandemi Covid-19 menjadi momentum perbaikan dan peningkatan sistem pembelajaran dengan bantuan sumber daya elektronik di pendidikan tinggi.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
Sistem pembelajaran dengan bantuan sumber daya elektronik atau e-learning berpotensi menjangkau peserta didik yang luas. Sistem pembelajaran ini membutuhkan perubahan paradigma dan kesiapan internet serta gawai sebagai komponen utamanya.
”Sebelum e-learning diterapkan, rasio antara dosen mengajar dan mahasiswa sebesar 1:20 untuk bidang ilmu eksakta dan 1:30 untuk bidang ilmu sosial humaniora. Ketika e-learning direalisasikan, rasio dosen dibanding mahasiswa bisa menjadi sekitar 1:1.000,” ujar Staf Khusus Wakil Presiden RI Bidang Reformasi Birokrasi dan Pendidikan Mohamad Nasir saat menghadiri webinar Kompas Talks-Universitas Terbuka dengan tema ”Menyusun Peta Jalan Pembelajaran Jarak Jauh”, Rabu (2/9/2020), di Jakarta.
Menurut Nasir, banyak yang masih salah kaprah memaknai e-learning. Sejumlah pendidikan tinggi menganggap penerapan e-learning sebatas adopsi teknologi yang memudahkan pengajaran dan komunikasi di ruang virtual, seperti melalui Zoom, Whatsapp, dan Google Classroom.
E-learning masih dianggap sama dengan daring ataupun pembelajaran jarak jauh (PJJ). Dosen tidak tahu kebutuhan mahasiswa sehingga hanya memindahkan materi kegiatan belajar-mengajar (KBM) ke media daring dengan persiapan ala kadarnya.
Pembelajaran e-learning kadang dianggap memiliki kompleksitas tinggi dan berbiaya besar. Akibatnya, mahasiswa tidak mendapatkan manfaat, frustrasi, pengeluaran paket data naik, dan interaksi tidak ada.
Masih banyak sivitas akademika kebingungan mengadaptasi e-learning. (Mohamad Nasir)
Nasir mengakui, masih banyak sivitas akademika kebingungan mengadaptasi e-learning. Mereka belum siap dengan perubahan paradigma kegiatan belajar-mengajar ketika menerapkan e-learning, seperti integrasi sistem manajemen pembelajaran (LMS) yang di dalamnya meliputi interaksi komunikasi dosen-mahasiswa, materi ajar multiplatform, dan evaluasi. Praktik KBM bisa diikuti melalui metode daring sinkron ataupun asinkron dan luring.
Materi ajar multiplatform yang dimaksud adalah modul bisa diakses di platform berbasis internet ataupun fisik/cetak. Dengan demikian, mahasiswa dengan latar belakang apa pun tetap bisa belajar. Dosen juga bisa mengajar dan mengevaluasi dengan lebih fleksibel.
Nasir mengingatkan, angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia baru mencapai sekitar 34,58 persen pada tahun 2019. Pencapaian APK pendidikan tinggi ini lebih rendah dibandingkan negara-negara Asia lainnya, seperti Singapura 78 persen dan Korea Selatan 98 persen.
Masih rendahnya APK Indonesia antara lain disebabkan karena angka putus sekolah jenjang menengah masih besar, anak langsung bekerja seusai pendidikan menengah, dan anak putus kuliah.
Nasir optimistis, penerapan e-learning bisa menjadi salah satu upaya mengatasi persoalan itu. ”Bisa jadi, ini akan menghemat biaya operasional gedung. Uang kuliah menjadi terjangkau,” katanya.
Universitas terbuka
Ketua Ikatan Alumni Universitas Terbuka (UT) periode 2019-2024 Jenderal TNI (Purn) Moeldoko mengungkapkan, UT menjadi salah satu contoh pendidikan tinggi yang telah mengusung e-learning. Selama aktif di TNI dan harus berpindah-pindah tempat tugas, ia tetap bisa mengikuti KBM pendidikan tinggi dari modul ajar UT.
”Model seperti yang sudah dilakukan UT semestinya bisa dikembangkan lebih masif. Biaya akses pendidikannya tidak tinggi,” kata Moeldoko.
Rektor UT Ojat Darojat mengatakan, dalam perjalanan UT selama 36 tahun, UT mengembangkan UT-TEL:Learning Deliveries yang meliputi layanan pembelajaran metode daring sinkron, asinkron, i-lecturing, UT televisi, kursus berbasis multimedia, modul berbasis laman, perpustakaan digital, iRadio learning segments,UT digital courseware, dan modul audio. UT juga tetap memproduksi modul belajar mengajar fisik.
”Kami melayani peserta didik di 34 provinsi dan luar negeri. Upaya kami tersebut bertujuan agar peserta didik dengan latar belakang apa pun, kapan pun, dan di mana pun bisa mengikuti pembelajaran pendidikan tinggi,” ucapnya.
Menurut Ojat, masa pandemi Covid-19 bisa menjadi momentum refleksi pelaksanaan pendidikan tinggi menggunakan e-learning. Apalagi, sekarang hampir seluruh perguruan tinggi menerapkan belajar di rumah.
Dia mengakui, istilah e-learning ataupun PJJ masih dipahami berbeda-beda dan cenderung salah kaprah. Kebanyakan masyarakat menyederhanakan istilah tersebut sebatas pembelajaran menggunakan metode daring yang salah satu penanda utamanya adalah kelas virtual memakai aplikasi konferensi video.
Ojat lantas mengutip pandangan beberapa tokoh pendidikan dunia tentang e-learning ataupun PJJ. Charles Wedemeyer, misalnya, pernah mengatakan, jiwa pendidikan jarak jauh adalah kemandirian siswa. Adopsi teknologi sebagai cara untuk menerapkan kemerdekaan itu. John A Baath mengatakan pentingnya komunikasi dua arah. Lalu, Michael G Moore menekankan dialog instruksional, otonomi, dan terstruktur.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nizam menyampaikan, per 9 April 2020, sekitar 98 persen dari 4.000-an perguruan tinggi di Indonesia telah menerapkan pembelajaran daring. ”Kami bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta penyedia jasa internet membuat ’daftar putih’ sumber belajar daring di perguruan tinggi. Kemendikbud juga bekerja sama dengan penyedia konten, pemilik platform, hingga menyiapkan LMS gratis bagi institusi perguruan tinggi,” katanya.