Perluas Pelacakan dan Pemeriksaan Covid-19 pada Usia Anak
Pembukaan kembali sekolah dengan tatap muka mesti mempertimbangkan tingkat penularan Covid-19 di masyarakat. Untuk melindungi anak dari penularan penyakit itu, pemeriksaan terhadap kelompok usia anak perlu diperluas.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pelacakan serta pemeriksaan kasus terkait Covid-19 perlu lebih masif dilakukan di masyarakat, termasuk pada usia anak. Hal ini juga diperlukan sebagai pertimbangan kepala daerah dalam memutuskan pelaksanaan sekolah tatap muka pada tahun 2021.
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Bhakti Pulungan menuturkan, pandemi Covid-19 di Indonesia belum akan selesai dalam waktu dekat. Angka penularan di masyarakat justru terus menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi. Karena itu, upaya perlindungan pada anak terutama dari penularan Covid-19 amat dibutuhkan.
”Kami mengingatkan semua pihak untuk tetap mematuhi protokol kesehatan yang berlaku untuk memastikan anak tidak tertular penyakit. Sedapat mungkin tetap di rumah saja karena aktivitas di luar rumah tetap memiliki risiko infeksi yang jauh lebih tinggi. Semua umur anak juga harus di-testing dan di-tracing untuk memastikan status infeksinya,” katanya di Jakarta, Jumat (1/1/2021).
Kondisi penularan Covid-19 yang masih tinggi perlu menjadi pertimbangan pemerintah dan pemangku kepentingan lain dalam pelaksanaan sekolah tatap muka. Pelacakan serta pemeriksaan kasus yang belum optimal juga menjadi perhatian khusus. Tanpa pemeriksaan yang masif, kondisi penularan di masyarakat tidak dapat ditunjukkan secara nyata. IDAI pun sampai saat ini belum merekomendasikan pelaksanaan sekolah tatap muka.
Dari data yang dihimpun Kementerian Kesehatan per 31 Desember 2020, jumlah anak berusia 0-17 tahun yang terkonfrmasi positif Covid-19 di Indonesia mencapai 72.026 kasus. Dari jumlah total kasus itu, anak dengan rentang usia 6-17 tahun merupakan kelompok usia anak yang paling banyak tertular Covid-19.
Sedapat mungkin tetap di rumah saja karena aktivitas di luar rumah tetap memiliki risiko infeksi yang jauh lebih tinggi.
Sementara itu, berdasarkan survei singkat yang dilakukan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), tidak semua guru yang menjadi responden menolak diberlakukan kembali sekolah tatap muka. Dari 6.513 responden guru, sebanyak 49,36 persen guru menyatakan setuju sekolah tatap muka kembali dibuka dan 45,27 persen tidak setuju sekolah tatap muka diberlakukan.
Alasan responden yang menyatakan setuju sekolah tatap muka diberlakukan, antara lain, jenuh mengajar dengan metode pembelajaran jarak jauh dan materi yang diajarkan, seperti praktikum, sulit diberikan secara daring. Alasan lainnya ialah ada siswa yang tidak bisa mengikuti pembelajaran jarak jauh karena tidak memiliki perangkat pendukung.
Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Mansur mengatakan, para guru merasa peserta didiknya kesulitan mengerjakan materi pelajaran dengan tingkat kesulitan tinggi dengan pembelajaran jarak jauh. Sementara bagi para guru yang menolak sekolah tatap muka biasanya beralasan khawatir tertular Covid-19, terutama bagi guru-guru berusia lebih dari 50 tahun dengan penyakit penyerta.
”FSGI mendorong pemerintah tetap menetapkan 4 Januari 2021 sebagai awal semester genap, tetapi bukan berarti pembelajaran tatap muka dilakukan pada 4 Januari 2021. Itu karena membutuhkan waktu lama menyiapkan infrastruktur dan protokol kesehatan. Jika memang mau melakukan pembelajaran tatap muka, sebaiknya tes antigen untuk seluruh guru dan siswa dilakukan,” tuturnya.