Kelompok Wayang Orang Ngesti Pandowo di Semarang, Jawa Tengah, akhirnya menggelar pentas langsung di depan penonton. Di tengah kondisi berat, mereka menghidupi sekaligus hidup dari seni. Mereka mengabdi.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI, RADEN GREGORIUS MAGNUS FINESSO
·5 menit baca
Menghidupi seni dan hidup dari seni jadi panggilan batin anggota Wayang Orang Ngesti Pandowo, Kota Semarang, selama puluhan tahun. Tertatih hidup selama pandemi, awal Januari, tepuk tangan penonton akhirnya didengar lagi. Menjaga api mengabdi seni rakyat.
Riuh suara gending Jawa membahana di penjuru Gedung Ki Narto Sabdo, Kompleks Taman Budaya Raden Saleh, Kota Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (15/1/2021) petang. Sebanyak 70-an pengrawit dan seniman wayang orang Ngesti Pandowo tengah menggelar geladi bersih sebelum menampilkan pentas lakon Gandamana Luweng pada malam harinya.
Di dalam ruang rias, Agus (57) masih memoles wajahnya dengan bedak dan pewarna. Malam itu, ia mendapat peran sebagai Brojokeso, raksasa baik, paman Gatotkaca. Sambil dandan, warga Kecamatan Semarang Barat itu bersenandung mengikuti suara gending.
”Saya kangen sekali dengan suara gamelan. Kalau sudah dengar suara gamelan begini, hati terasa sejuk. Dadi lali nek nduwe utang (jadi lupa kalau punya utang),” celoteh Agus, sambil melempar senyum pada cermin besar di depannya. Sesekali, tangan dan lehernya bergerak luwes seturut alunan gamelan.
Malam itu, di depan sekitar 30 orang dari 100 kursi yang tersedia di Gedung Ki Narto Sabdo, Agus akan pentas langsung pertama selama pandemi. Adapun sejumlah rekannya yang lain di Wayang Orang (WO) Ngesti Pandowo sudah menggelar pentas perdana 8 Januari. Namun, saat itu dia berhalangan.
Kabar gembira bagi satu dari segelintir kelompok wayang orang yang masih bertahan di Pulau Jawa tersebut tiba akhir Desember 2021. Mulai pekan pertama Januari 2022, mereka boleh pentas lagi dengan penonton terbatas. Protokol kesehatan diharapkan bisa diterapkan ketat selama pentas.
Ngesti Pandowo adalah sebuah kelompok wayang orang yang didirikan oleh Ki Sastrosabdo pada 1937. Sebelum pandemi, Ngesti Pandowo rutin berpentas setidaknya sekali dalam sepekan di Gedung Ki Narto Sabdo. Di awal pandemi, Ngesti Pandowo sama sekali tidak pentas untuk menekan risiko penularan Covid-19. Memasuki bulan keempat pandemi, mereka diizinkan pentas tanpa penonton langsung. Pentas itu kemudian disiarkan melalui kanal Youtube.
Penantian panjang itu membuat semua seniman antusias menyambut pentas. Mohamad Fajri Fadilah (23), misalnya, juga terus semringah. ”Suasana di balik panggung, saat make up seperti ini sangat ngangeni. Bercanda dengan Pak Agus maupun senior-senior lain itu membawa kebahagiaan bagi saya,” tutur Fajri, warga Kecamatan Gajahmungkur.
Selama berias, banyak hal diobrolkan para wayang. Tak hanya terkait peran atau alur cerita dalam pentas, mereka juga saling berbagi terkait dunia di luar kesenian. Itu yang membuat mereka sudah seperti keluarga.
Kebutuhan
Kerinduan satu sama lain selaras dengan kebutuhan hidup yang ditautkan pada jagat pentas wayang orang. Wiwit (57), kru tata panggung dan dekorasi WO Ngesti Pandowo, mengaku, sejak pentas rutin dihentikan selama pandemi, ekonomi keluarganya terpuruk. Agar dapur di rumah tetap mengebul, ia membantu istrinya berjualan di warung.
Sesekali, ia juga mendapat bantuan berupa bahan makanan dari pemerintah maupun dari pengurus Ngesti Pandowo. ”Saat mulai ada pentas lagi lumayan, saya jadi ada pemasukan mulai dari Rp 300.000-Rp 400.000 per minggu. Semoga ke depan kami tetap boleh pentas seperti ini terus,” harap bapak empat anak itu.
Sri Wahyuni, seniman Ngesti Pandowo lain, mengaku, selama pandemi, banyak rekannya yang terpaksa menjadi pengemudi ojek daring atau berjualan kecil-kecilan di rumah. Sri yang telah bermain wayang orang sejak 1973 itu mengaku, dampak pandemi Covid-19 memukul ekonomi maupun mental seniman. Meski begitu, mereka tidak putus asa.
”Soalnya kami senang dengan dunia seni. Saya, misalnya, dulu bisa menari, sekarang sudah tua. Tapi masih bisa pentas jadi emban (pengasuh),” tuturnya.
Di awal pandemi, seniman sempat luntang-lantung. Mereka pernah dikunjungi Gubernur Jateng Ganjar Pranowo yang selain memberi bantuan, juga menantang mereka tampil secara daring lewat kanal Youtube. Akhirnya, sejak Juli 2020, mereka beberapa kali menggelar pentas daring.
Ketua WO Ngesti Pandowo Semarang Djoko Muljono mengatakan, pentas daring lewat kanal Youtube biasanya dilakukan setiap Senin, Rabu, dan Jumat pukul 16.00 dengan durasi waktu sekitar 10 menit. Hal itu setidaknya bisa menghibur para pencinta wayang orang meski hanya menonton dari rumah.
Djoko mengakui, ada perbedaan saat tampil secara daring dengan pentas langsung di depan penonton. Untuk pentas daring, pemain dan kru yang dibutuhkan tidak banyak dan bisa tampil bergantian. Ruangan yang dipakai juga tidak perlu luas. ”Kami hanya pakai ruang depan, yaitu di ruang loket tiket terus disekat,” ucapnya.
Saat tampil di Youtube, lanjut Djoko, pihaknya juga mencantumkan nomor rekening WO Ngesti Pandowo bagi masyarakat yang akan berdonasi. ”Banyak juga penggemar yang memberi donasi. Kami sangat terbantu dan mengucapkan banyak terima kasih,” katanya.
Donasi yang terkumpul tersebut kemudian diberikan dalam bentuk bantuan pangan bagi para anggota, terutama yang tidak memiliki pekerja lain di luar Ngesti Pandowo. ”Kami di sini saling bantu. Anggota yang ada kelebihan materi memberi kepada yang kekurangan. Cukup banyak juga donasi yang mengalir dari perusahaan swasta, pemerintah, maupun Persatuan Pedalangan Indonesia,” ucap Djoko bersyukur.
Dia berharap, untuk selanjutnya, WO Ngesti Pandowo mendapat alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Semarang. Dana itu dinilai penting untuk membantu membiayai kebutuhan operasional kelompok seni tersebut.
Menurut Djoko, Ngesti Pandowo terakhir kali mendapat alokasi dana APBD pada 2014. Selepas itu, kelompok wayang yang menjadi ikon Kota Semarang tersebut membiayai kegiatan operasional mereka secara swadaya. Biaya itu mereka dapatkan dari hasil penjualan tiket. Padahal, jumlah penonton disebut Djoko tidak selalu banyak. Akibatnya, para anggota acap kali menombok.
Ngesti Pandowo terakhir kali mendapat alokasi dana APBD pada 2014. Selepas itu, kelompok wayang yang menjadi ikon Kota Semarang tersebut membiayai kegiatan operasional mereka secara swadaya. (Djoko Muljono)
Kepala Seksi Atraksi Budaya Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang Sarosa menuturkan, selama pandemi, pihaknya turut membantu Ngesti Pandowo tetap eksis. Salah satu caranya adalah membiayai operasional pentas daring Ngesti Pandowo. Dengan tetap berpentas, nama Ngesti Pandowo akan tetap eksis.
Para wayang maupun kru WO Ngesti Pandowo berharap, pentas di awal Januari menjadi tonggak kebangkitan seni wayang orang dari hantaman pandemi. Pentas-pentas serupa untuk selanjutnya diharapkan tetap bisa dilakukan agar dapur para pengabdi seni ini tetap ngebul dan upaya pelestarian seni wayang orang tak terkikis.