Marti & Sandra (Bagian 2)
Sandra melihat bayangan wajahnya sendiri di layar kaca, berbaur dengan adegan film seri keluarga bahagia, tetapi yang didengarnya hanyalah makian orang bertengkar, ditambah suara barang pecah belah beterbangan.
3. Pelajaran Mengarang
Di kelas V, Ibu Guru Tati melangkah di antara kursi-kursi.
”Kalian punya waktu 60 menit. Pilih satu di antara tiga judul di papan tulis.”
Sampai di deret paling belakang, Ibu Guru Tati berbalik, dan memeriksa apakah tugas di papan tulis itu terlihat dengan jelas.
Di sana terbaca:
Pelajaran Mengarang
Pilih satu di antara tiga judul di bawah ini:
1. Keluarga Kami yang Berbahagia
2. Liburan ke Rumah Nenek
3. Ibu
Di meja masing-masing, murid-murid sudah siap dengan alat tulis dan kertas putih bergaris.
”Sudah siap semua? Mulai!”
Murid-murid mulai menulis dengan kepala hampir menyentuh meja.
Seorang murid mulai menulis:
Keluarga Kami yang Berbahagia
Gesekan pena dan kertasnya terdengar jelas. Mulutnya mengeja, tapi dengan suara sepelan-pelannya.
”Ke-lu-ar-ga-ka-mi-a-da-lah-ke-lu-ar-ga- yang-sa-ngat-ber-ba-ha-gi-a. Se-ti-ap-pa-gi- ka-mi-sa-ra-pan-ber-sa-ma, ke-mu-di-an-be- rang-kat-ber-sa-ma-sama. Wak-tu-ma-kan- ma-u-pun-da-lam-mo-bil, ka-mi-se-la-lu-ber-gem-bi-ra …”
Murid lain menulis:
Liburan ke Rumah Nenek
Ia juga mengeja dengan suara yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.
”Pa-da-li-bur-an-bu-lan-la-lu, ka-mi-se-ke-lu-ar-ga-per-gi-ke-ru-mah-ne-nek-di-de-sa. A-lang-kah-se-nang-nya …”
Murid lain lagi menulis:
Ibu
Ia menulis sambil mengeja dengan suara selirih-lirihnya.
”Ti-a-da-yang-le-bih-ku-cin-ta-i-di-du-ni-a-i-ni-se-la-in-I-bu, ka-re-na-me-mang-I-bu- a-da-lah-pe-rem-pu-an-yang-pa-ling-men-cin-ta-i-ku …”
Baca juga: Marti & Sandra (Bagian 1)
***
Sandra memandangi kertas putih bergaris. Tangannya yang memegang pena bergerak, tapi ia belum menulis apa-apa. Wajahnya tampak santai dan tidak peduli. Ia memandangi papan tulis.
Diejanya kalimat itu.
”Ke-lu-ar-ga-ka-mi-yang-ber-ba-ha-gi-a,” dengan mulut bergerak-gerak tanpa suara.
Di benaknya ia teringat contoh keluarga harmonis dari sebuah film seri di televisi, tetapi suara yang terdengar berasal dari ingatan lain.
”Bangsat! Belum jadi suami sudah kurang ajar! Minggat kamu dari rumah ini! Diempanin tiap hari bukannya berterimakasih, malah tidur sama perempuan brèngsèk!”
”Jangan bilang dia brèngsèk.”
”Eh, ngebelain? Perempuan brèngsèk kamu belain?!”
”Kamu sendiri perempuan apa?!”
Sandra melihat bayangan wajahnya sendiri di layar kaca, berbaur dengan adegan film seri keluarga bahagia, tetapi yang didengarnya hanyalah makian orang bertengkar, ditambah suara barang pecah belah beterbangan.
”Heh, apa kamu tidak bisa bicara pelan? Malu didengar tetangga tahu?”
Ibunya masih terus melempar piring-piring.
”Biar mereka tahu, teman mereka main gaplé cuma kecoak tak tahu diri. Cuma benalu yang nèbèng hidup. Benalu! Benalu! Kamu tahu tidak arti kata itu, bégo? Benalu!”
Lelaki itu mengendor.
”Marti …”
”Jangan panggil namaku. Aku tidak sudi kamu sebut-sebut lagi. Panggil saja nama perempuan itu. Aku sudah tidak peduli lagi padamu.”
”Begitu saja marah …”
”Aaaaahhhhhhh!”
Wajah Sandra begitu dingin, tetapi ingatan itu tetap berusaha memeras perasaannya.
Marti yang terisak lirih. Tangan lelaki yang berusaha memeluknya. Marti menepis dan mendorongnya.
”Pergi! Pergi!”
”Coba, dengar dulu … ”
”Untuk apa?”
”Dengar dulu!”
”Tidak ada gunanya.”
”Marti …”
”Apa sih?”
”Sebenarnya tidak ada apa-apa antara aku dan Rita.”
Ia bangkit, membalikkan meja, dan menghancurkan barang-barang sekali sapu sambil berteriak-teriak.
Kepala Marti tertunduk. Wajahnya tak tampak. Namun terdengar suara geram—dan Marti memang menggeram.
Ia bangkit, membalikkan meja, dan menghancurkan barang-barang sekali sapu sambil berteriak-teriak.
”Bangsat! Berani-beraninya kamu sebut nama itu di rumah ini? Minggat! Minggaaaaaaattttt!!!”
Wajah Sandra masih dingin. Seperti masih didengarnya teriakan itu.
Ibu Guru Tati berjalan dari belakang ke depan. Dilihatnya kertas tempat murid-murid menulis itu mulai terisi.
Seorang murid menulis dengan asyik sekali. Matanya yang berbinar dan wajahnya yang bersemangat membayangkan suatu kebahagiaan di baliknya. Mulutnya bergerak-gerak tanpa suara, mengeja kata-kata sembari menuliskannya di atas kertas.
Kunjungan ke rumah Nenek selalu menyenangkan. Aku selalu diajak Kakek dan Nenek ke dangau di sawah. Kami makan siang di sana dan aku membantu Kakek mengusir burung. Aku …
Sandra menengok ke arahnya. Teringat anak laki-laki itu pernah menunjukkan foto keluarganya pada jam istirahat.
”Lihat Sandra, ini Bapak, ini Ibu, ini Adik, ini Kakak, ini Nenek, ini Kakek. Kami ada di sawah Kakek. Kamu pernah ke rumah nenekmu, Sandra?”
”Aku tidak punya Nenek.”
Murid-murid lain yang waktu itu berkerumun tertawa.
”Sandra! Setiap orang punya nenek! Setiap orang punya kakek!”
”Ibumu pasti dilahirkan oleh nenekmu!”
”Orangtua ayahmu adalah kakek dan nenekmu juga!”
Sandra seperti mendengar suaranya sendiri yang dingin.
”Aku tidak punya nenek.”