Mewujudkan Sejarah untuk Publik
Narasi tersebut sifatnya aktif karena memiliki tafsir yang selalu berkembang sesuai dengan semangat zamannya. Melalui tafsir itulah, narasi sejarah selalu dinamis dan tidak tunggal.
Pada setiap periode zaman yang berbeda, narasi sejarah akan senantiasa memunculkan bermacam-macam tafsir berdasarkan siapa yang menafsirkannya, kapan dan di mana individu serta masyarakat menempatkan posisinya sebagai subyek aktif dalam proses penafsiran sejarah itu sendiri. Problematika yang muncul setelah itu adalah bagaimana jika tafsir sejarah dibawa masuk ke wilayah publik.
Sementara itu, perkembangan kesejarahan di institusi pendidikan seperti universitas semakin hari semakin elitis, secara tidak tersadar ”memisahkan diri” dari hubungan fundamentalnya dengan publik melalui kualifikasi formal, dari tingkat sarjana sampai doktoral melalui pendekatan riset profesional. Dari perkembangan kesejarahan yang elitis ini, muncul istilah sejarah publik di Amerika tahun 1970-an. Sejarah publik berupaya untuk tidak lagi berpusat pada peristiwa yang dianggap besar seperti perang dan tokoh-tokoh penting dalam suatu peristiwa sejarah.
Melalui buku yang berjudul Sejarah Publik, Sebuah Panduan Praktis inilah, Faye Sayer hendak mengingatkan bahwa sejarah harus menyentuh pada proses perjalanan masyarakat yang sifatnya lebih holistik sehingga memunculkan penulisan sejarah dari kalangan kelas bawah seperti mereka yang miskin maupun termarjinalkan oleh struktur sebuah negara.
Narasi sejarah harus berupaya mewakili keberagaman komunitas dan menjadi jembatan bagi masa lalu dan sekarang. Sejarah memiliki peran yang penting bukan hanya bagi mereka yang berada dalam elitisme akademik, melainkan harus memiliki relevansi bagi publik.
Memori publik
Praktik sejarah publik semakin berkembang pada tahun 1980-an di banyak negara dengan mengintegrasikan antara aktivitas publik, masyarakat, dan pakar sejarah dalam memahami masa lampau dengan berbagai macam perspektifnya. Oleh karena itu, masyarakat di banyak negara memiliki keunikan dalam perjalanan praktik sejarah publiknya karena setiap masyarakat memiliki memori terhadap peristiwa sejarahnya masing-masing.
Maurice Halbwachs dalam karya klasiknya, On Collective Memory, menjelaskan bahwa memori yang ada lama masyarakat dalam memahami sejarah akan selalu menjadi wacana sosial. Karya ini kemudian dikembangkan oleh Paul Connerton dalam karyanya, How Societies Remember, hingga sampai pada pembahasan Pierre Nora tentang sites of memory dalam karyanya, Between Memory and History: Les Lieux de Memoire.
Pierre Nora menyatakan bahwa memori manusia memiliki keterbatasan untuk mengingat segala sesuatu yang telah terjadi (event in the past). Cara kerja memori otak manusia bukanlah seperti memori komputer yang selalu menampung segala file yang setiap saat bisa dipanggil untuk dihadirkan. Maka dari itu, memori otak manusia bisa mengalami proses (pe)lupa(an).
Kalau lupa seolah-olah menjadi sesuatu yang ditakutkan, maka konsekuensinya adalah masa lalu sebagai historicised memory telah menjadi sesuatu yang meneror. Untuk melawan lupa diperlukan sites of memory sebagai perajut antara memori, sejarah, dan masyarakat. Sites of memory bisa berbentuk benda material, simbolik, dan fungsional yang ketiganya berkoeksistensi sebagai upaya untuk mengingat dan sekaligus kehendak untuk merawat ingatan. Memori tidak lagi bersifat spontan dan naluriah, tetapi menjadi bagian dari kewajiban untuk mengingat.
Sejalan dengan hal tersebut, Faye menekankan pentingnya keberadaan institusi sejarah publik yang di antaranya adalah museum (universitas, daerah, nasional, komunitas dan terbuka), arsip (pribadi, daerah, dan nasional), situs warisan budaya dalam rangka mewujudkan praktik sejarah publik. Ketiga institusi ini sangat memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai pemelihara memori masa lampau serta menjadi pemasok memori masa lampau. Semuanya harus bisa dijangkau dan diakses oleh publik sehingga masa lampau bisa direkonstruksi dan diperagakan kembali (re-enactment).
Media komunikasi
Selain itu, praktik sejarah publik juga membutuhkan media populer sebagai instrumen mengomunikasikan sejarah kepada publik. Media populer itu bisa berbentuk digital maupun cetak, seperti televisi, radio, film, surat kabar, majalah, dan bahkan buku-buku fiksi populer. Tantangan besar dunia kesejarahan adalah bagaimana mengomunikasikan teks sejarah yang sifatnya akademis dan kemudian diadaptasi menjadi lebih populer melalui model jurnalistik melalui tayangan televisi maupun radio (hlm 181).
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi turut serta dalam praktik sejarah publik melalui internet. Media sosial (Facebook, Twitter, dan Instagram), blog, dan website menjadi marak digunakan dalam mengomunikasikan masa lampau kepada publik. Museum, arsip, dan pusat warisan sejarah pun bisa beralih dari dunia nyata ke dunia maya yang bisa diakses melalui gadget yang setiap saat dapat diviralkan dan menjadi bahan pengajaran (hlm 269-300). Namun, substansi karya Faye Sayer ini belum sampai pada pembahasan proses pengomunikasian secara viral melalui aplikasi messenger seperti Whatsapp, Line, dan Telegram.
Saat ini, di Indonesia telah banyak tayangan sejarah secara dokumenter untuk proses publikasi dan sekaligus pengomunikasian sejarah publik. Akan tetapi, gagasan Faye Sayer dalam praktik sejarah publik melalui media digital tidak serta-merta bisa dilakukan di tiap negara mana pun dengan baik karena media digital bagaikan pedang bermata dua.
Dalam kasus di Indonesia, peran media digital yang seharusnya menjadi nilai lebih justru menjadi kontraproduktif. Perbedaan tafsir sejarah dalam ranah publik sering kali digunakan sebagai perdebatan yang saling menjatuhkan dan legitimasi melakukan kegaduhan yang sifatnya permisif.
Dengan berbagai kelebihan dan juga kekurangannya, karya Faye Sayer ini layak untuk dijadikan referensi bagi siapa saja sebagai upaya mewujudkan sejarah untuk publik yang lebih humanis dan holistik.
RN Bayu Aji, Dosen Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya.