Kisah-kisah Penculikan
Mereka yang dihilangkan adalah sejumlah aktivis yang dipandang subversif. Awal tahun 1998, mereka diculik, berbulan-bulan disekap, diinterogasi, disiksa agar bersedia menjawab dalang di balik gerakan mahasiswa. Sejumlah aktivis menanggung risiko menjadi korban praktik penghilangan orang (involuntary disappearances).
Laut Bercerita dirangkai dalam 10 bagian, memaparkan urutan kronologis serta rentetan sebab akibat dari tahun 1991 sampai 2008. Sebagian kisah berpusat pada tokoh Biru Laut dan 12 kawannya yang hilang. Sebagian lain orang-orang terdekat mereka—keluarga inti, kekasih, dan sahabat—yang kehilangan. Setiap kisah mengajak pembaca ke satu titik, memori politik 1998.
Kisah Biru Laut dijalin dengan strategi tekstual berselang-seling antara api semangat sekelompok pemuda mendambakan pemerintahan baru dan masa penyekapan. Narasi dibangun dari sekelompok anak muda yang beraktivitas sembunyi-sembunyi, saling menguatkan diri, menebalkan hati nurani berkorban untuk kepentingan kelompok yang lebih besar—tetapi sebagai manusia biasa, drama selalu menyertai hidup mereka, mulai dari cinta, kecurigaan, putus asa, dan pengkhianatan. Sementara sel bawah tanah memberi makna pada derita, metafor pemuda-pemuda tahan banting mengalami kebengisan yang mampu dilakukan manusia terhadap sesamanya.
Kisah mereka yang kehilangan berpusat pada Asmara Jati, adik perempuan Biru Laut. Rasa kehilangan merebak di ruang domestik melalui tradisi keluarga memasak dan makan malam saban hari Minggu. Sejak Biru Laut hilang diculik, tradisi itu dipertahankan, satu kursi serta satu piring kosong tetap disediakan menanti kembalinya Biru Laut. Simak ungkapan perih ini: ”Dan yang paling berat bagi semua orangtua dan keluarga aktivis yang hilang adalah: Insomnia dan ketidakpastian” (hlm 245).
Hilangnya para aktivis lantas disuarakan ke wilayah publik ketika Asmara bergabung dan ikut membangun Komisi Orang Hilang. Sosok Asmara representasi menolak putus asa bahwa kehilangan yang mereka alami bukan semata persoalan pribadi, tetapi persoalan bangsa. Penculikan-penculikan tak tertutup kemungkinan bisa terjadi pada siapa saja: ”…Hilangnya Mas Laut dan kawan-kawan sudah diramaikan media, diangkat sebagai drama, musik dan berbagai medium, tetapi kami ingin pemerintah mengungkap kasus ini hingga tuntas [..] Jika bukan presiden yang kini menjabat yang memberi perhatian, mungkin yang berikutnya, atau yang berikutnya…” (hlm 373).
Penculikan dan perubahan politik Indonesia
Di Indonesia, kisah penculikan punya sejarah lebih panjang ketimbang sejarah republik yang acap kali terkait dengan perubahan politik penting. Saya Sasaki Shiraishi dalam buku Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik (KPG, 2001) mengurai penculikan dalam puncak revolusi Indonesia yang terekam dalam Peristiwa Rengasdengklok, 16 Agustus 1945. Para pemuda, dipimpin oleh Wikana, melakukan misi penculikan terhadap Soekarno-Hatta untuk memaksa mengambil keputusan politik deklarasi Indonesia merdeka. Peristiwa Rengasdengklok dinilai Shiraishi, sembari mengutip Benedict Anderson dan Ruth McVey, mirip dengan aksi-aksi daulat pada masa revolusi yang mengetengahkan pula aksi penculikan para pejabat atau wakil penguasa lain yang dibenci oleh kelompok-kelompok muda bersenjata.
Apabila penculikan Rengasdengklok terkait dengan fajar baru kemerdekaan yang melibatkan pemuda revolusioner, peristiwa penculikan para jenderal pada 1965 mengalami pergeseran peran dikaitkan restrukturisasi angkatan bersenjata dan kudeta gagal. Soeharto tampil sebagai juru selamat, duduk sebagai presiden kedua Republik Indonesia, lantas merumuskan kisah-kisah penculikan dalam satu wacana utama antikomunisme.
Apabila tahun 1945 dan 1965 penculikan dilakukan anak muda atau bawahan pada sosok-sosok dalam lingkaran kekuasaan yang dianggap lambat atau korup, sebaliknya tahun 1965-1998 penculikan dilakukan negara pada sosok-sosok yang dianggap menggerogoti kekuasaan. Penculikan tetap identik dengan aktivitas mengambil seseorang dari suatu tempat ke tempat lain. Bedanya, dilakukan secara sistemik dengan berbagai motif praktik antidemokrasi (crimes against humanity), mulai dari Tanjung Priok 1984, Aceh 1990, Marsinah 1994, wartawan Udin 1996, penculikan aktivis 1998, serta Trisakti dan Semanggi 1998.
Suara yang tak terdengar
Memang alur kisah penculikan Laut Bercerita semata berpusat pada kurun waktu Orde Baru menuju reformasi tahun 1998. Pemilihan itu mungkin ditekankan untuk mengingatkan masa paling bahaya yang membayangi masyarakat Indonesia, ketika suara-suara gelisah diredam dengan pelarangan sampai pelanggengan kekerasan oleh alat-alat negara.
Pendekatan fiksi tampaknya dilakukan Leila untuk menyindir Pemerintah Indonesia, yang dalam kenyataan tak serius mengungkap satu fragmen pelanggaran HAM dan menelusuri kepastian nasib para aktivis yang diculik, hilang tak jelas keberadaannya, apakah selamat, sehat, atau sebaliknya mati. Di satu sisi, keberadaan mereka, Petrus Bima, Ucok Munandar, Wiji Thukul, dan lain-lain, terus-menerus dicari jawabnya, semisal dalam aksi rutin Kamisan Payung Hitam. Di sisi lain, bahaya penghilangan pandangan kritis pascareformasi masih mengancam semisal kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir, tahun 2004.
Sayangnya, Leila dalam novel ini terlalu berkutat pada momen-momen ketakberdayaan, keraguan, dan ketakpastian nasib tokoh-tokoh rekaannya. Terlalu menggali kedalaman batin, superioritas pengarang menenggelamkan ranah berpikir mereka yang kehilangan dan aktivis yang mendapat kebebasan untuk bersuara lebih luas mengapa hukum gagal menjadi instrumen keadilan. Opini-opini yang kritis kepada pemerintah mendesak pengungkapan pelanggaran HAM tak mengemuka.
Di luar kekurangan itu, Laut Bercerita menegaskan bahwa fiksi di tengah selubung misteri politik adalah suara lain yang paling mungkin menghadirkan suara-suara yang tak terdengar atau dibisukan. Melalui fiksi, kata-kata Biru Laut yang sejatinya tak pernah sampai kepada siapa pun menjadi pemantik ingatan, masih banyak sejarah hitam politik di Indonesia tersimpan rapat dalam kotak-kotak rahasia. Ini sebuah kematian yang tidak sederhana. Terlalu banyak kegelapan. Terlalu penuh dengan kesedihan.