Pada masa Orde Baru, kedudukan Polri mempunyai fungsi stabilisator pembangunan, yang berimplikasi pada karakter Polri sebagai alat penguasa yang otoriter. Sejalan dengan gerakan demokratisasi pasca-Orde Baru muncul Tap MPR VI Tahun 2000 yang menempatkan Polri di posisi selaras dengan tuntutan demokrasi. Polri dipisahkan dari institusi militer dan menjadi lembaga nondepartemen yang mandiri. Perubahan struktural tersebut membuat Polri mendefinisikan kembali relasinya dengan lingkungannya, baik masyarakat sipil maupun masyarakat politik. Dalam relasi ini, Polri tidak dapat lagi dengan mudah melakukan bentuk penguasaan dominatif atau koersif.
Relasi kekuasaan Polri dan organisasi masyarakat sipil pasca-Orde Baru, khususnya pada era rezim Susilo Bambang Yudhoyono, menarik perhatian Sutrisno Suki untuk meneliti secara mendalam, yang kemudian hasilnya diterbitkan sebagai buku berjudul Sosiologi Kepolisian: Relasi Kuasa Polisi dengan Organisasi Masyarakat Sipil Pasca Orde Baru (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016). Sutrisno mempertanyakan apakah reformasi di tubuh Polri cukup memberi ruang bagi Polri membangun relasi kuasa yang lebih demokratis. Bagaimana relasi kuasa antara Polri dan masyarakat sipil terkait isu kebebasan sipil, penanganan HAM, dan kebebasan memperoleh informasi publik.
Dari penelitian Sutrisno terungkap bahwa independensi Polri belum sepenuhnya sesuai ekspektasi masyarakat. Dalam relasinya dengan masyarakat sipil, Polri terkesan masih memiliki imunitas, belum transparan, dan sulit dikontrol lembaga lain. Kepolisian masih reaksioner terhadap kritik masyarakat dan sangat melindungi citranya. (RPS/Litbang Kompas)
Menuju Polisi Kelas Dunia
Sejarah kepolisian Indonesia dapat dirunut hingga ke zaman Majapahit, yang kala itu disebut pasukan Bhayangkara. Seiring perkembangan zaman, kepolisian di Indonesia terus mengalami perubahan. Tonggak paling penting dari perubahan di tubuh kepolisian ialah ketika secara konstitusional Polri tidak lagi menjadi bagian dari ABRI. Gerakan reformasi menuntut adanya perubahan Polri menjadi institusi kepolisian yang berperan dalam penguatan demokrasi. Polri diharapkan menjadi organisasi sipil yang mandiri. Secara institusional Polri langsung di bawah presiden.
Sebagai institusi sipil, dalam pelaksanaan tugasnya tidak lagi menggunakan pendekatan militeristik represif, tetapi lebih mengedepankan pendekatan humanisme yang ramah dan persuasif. Polri sebagai pemolisian demokratis (democratic policing) merupakan institusi yang mengatur tata tertib masyarakat yang menjunjung tinggi HAM. Fungsi dan tugasnya adalah memberi perlindungan, pengayoman, dan pelayanan bagi masyarakat. Polri telah memiliki road map hingga 2025. Targetnya, Polri mencapai status world class organization. Pada periode 2015-2025, Polri berada pada tahap strive for excellence. Dari tiga sistem pemolisian yang bersifat internasional, Polri memilih centralized system of policing karena paling sesuai bagi Indonesia.
Buku Polri dalam Arsitektur Negara (Pensil - 324, 2016) yang disunting oleh Hermawan Sulistyo memaparkan sejarah perkembangan kepolisian Indonesia serta berbagai pencapaian dan tantangannya. Selain itu, juga secara selintas menguraikan tentang filsafat kepolisian dan perbandingan model sistem kepolisian di sejumlah negara. (RPS/Litbang Kompas)