Indonesia menerima begitu saja bahwa Konferensi Asia-Afrika 1955 merupakan tonggak perjuangan bangsa-bangsa terjajah melawan dominasi negara kuat. Lebih spesifik lagi, suatu respons terhadap rivalitas Uni Soviet dan Amerika Serikat dalam periode Perang Dingin. Sebenarnya konferensi tersebut hanyalah titik kulminasi penyatuan visi antarnegara bekas jajahan yang sudah dirintis dalam kurun waktu cukup panjang.
Sebagian masyarakat Indonesia menerima begitu saja bahwa Konferensi Asia-Afrika 1955 merupakan tonggak perjuangan bangsa-bangsa terjajah melawan dominasi negara kuat. Lebih spesifik lagi, suatu respons terhadap rivalitas Uni Soviet dan Amerika Serikat dalam periode Perang Dingin. Sebenarnya konferensi tersebut hanyalah titik kulminasi penyatuan visi antarnegara bekas jajahan yang sudah dirintis dalam kurun waktu cukup panjang.
Buku yang diangkat dari tesis pascasarjana di Jurusan Sejarah Universitas Leiden ini mencoba melihat Konferensi Asia-Afrika dari kacamata yang berbeda dari kebanyakan pandangan. Argumen sentral buku ini adalah, meskipun KAA berlangsung pada 1955, akar intelektualnya telah ada sejak awal abad ke-20 (hlm 14).
Buku ini mengisi kekosongan literatur tentang sejarah KAA, khususnya mengenai gagasan dasar yang membentuk semangat untuk menentang hegemoni kekuatan adidaya. Sebagai produk sejarah, KAA tidak terlepas dari konteks pada saat itu. Pemahaman akan konteks ini sangat penting sebab peristiwa-peristiwa sejarah sejatinya membentuk jalinan cerita yang saling bertautan.
Awal abad ke-20 boleh dikatakan era pemikiran, ketika tokoh-tokoh intelektual dari negara-negara jajahan mulai rajin menjalin kontak secara transnasional. Mulanya mereka tidak puas dengan isi Konferensi Perdamaian Paris 1919 atau lebih dikenal dengan Perjanjian Versailles yang mengakhiri Perang Dunia I. Menurut para pemimpin antikolonial, perjanjian itu tak lebih dari upaya negara-negara besar melanggengkan status quo Eropa.
Semangat jajahan
Jalinan komunikasi yang intensif antar-pemimpin antikolonial di kota-kota metropolitan Eropa, seperti Paris, London, Madrid, dan Berlin, melahirkan kesadaran kolektif perihal pentingnya berjuang di atas kaki sendiri. Kolektivitas itu lantas mewujud dalam sebuah konferensi negara-negara bekas jajahan yang kemudian dikenal dengan Kongres Brussels tahun 1927.
Kongres ini merupakan tonggak penting bagi negara jajahan karena membuat peserta sadar mereka tidak sendirian dalam melawan penjajahan. Di kongres inilah salah satu bapak pendiri bangsa Indonesia, Bung Hatta, bertemu untuk pertama kalinya dengan pemimpin India, Jawaharlal Nehru.
Babak selanjutnya, pada 1947, diselenggarakan Konferensi New Delhi yang disusul Konferensi Colombo pada 1954. Berbeda dengan Konferensi Colombo yang memang dirancang sebagai persiapan menuju KAA, Konferensi New Delhi lebih merupakan gagasan Nehru untuk ”memfasilitasi sebuah platform bagi rakyat Asia, di mana keluhan dan aspirasi mereka bisa diangkat agar bergaung dalam komunitas internasional” (hlm 35). Meskipun tidak menghasilkan kesepakatan politik, Konferensi New Delhi adalah cikal bakal KAA yang memberi kesempatan bagi pesertanya untuk menyatukan visi dan meningkatkan
kerja sama.
Di samping melacak jejak pemikiran di balik KAA, buku ini juga menyoroti warisan KAA yang disebut pakar luar negeri sebagai ”Third Worldism”. Istilah ini merujuk pada semangat antikolonialisme, anti-imperialisme, antirasisme, dan solidaritas antarsesama bekas jajahan. Istilah ”Dunia Ketiga” juga disinyalir lahir pasca-KAA untuk merepresentasikan kawasan dunia yang berdiri sendiri lepas dari rivalitas antara Blok Barat dan Blok Timur.
KAA juga dianggap mewariskan prinsip kebijakan luar negeri nonblok (netralisme) dan non-intervensi. Akan tetapi, berbeda dengan anggapan umum, kedua prinsip ini sebenarnya sudah dipraktikkan sejak lama oleh India. Pada awal 1950-an, India tampaknya negara pertama yang menggunakan istilah ”nonblok” dalam arti netralisme (hlm 76). Netralisme memungkinkan India memiliki keleluasaan untuk menjalin hubungan dengan kedua blok tanpa terlibat dalam pusaran konflik.
Surutnya idealisme
Di sisi lain, warisan KAA lebih bersifat edukatif dan normatif. Edukatif dalam hal bahwa pertemuan tersebut menyadarkan banyak negara peserta yang meskipun berasal dari latar belakang berbeda-beda, mereka bisa ”mengartikulasikan dialog berdasarkan akomodasi, kolektivitas, dan pemecahan masalah secara damai” (hlm 217). Dari sisi normatif, KAA mewariskan manajemen hubungan internasional yang mengedepankan penghormatan terhadap kedaulatan (non-intervensi) dan hubungan yang setara.
Selain itu, aspek normatif lain adalah penolakan terhadap sistem pertahanan kolektif (aliansi militer) kecuali jika aliansi tersebut bebas dari intervensi negara kuat. Kultur pemecahan masalah berbasis konsensus atau musyawarah mufakat, informal, dan non-intrusif yang menjadi ciri khas diplomasi negara-negara Asia dan Afrika juga diwarisi dari KAA.
Di luar aspek normatif, secara institusional KAA melahirkan Gerakan Nonblok (GNB), sebuah forum multilateral yang keanggotaannya makin meluas dan masih eksis hingga hari ini. Hal itu merupakan sebuah fakta historis yang sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan masyarakat. Meski demikian, buku ini mengungkap fakta bahwa saat kelahiran GNB pada awal dekade 1960-an, semangat Bandung 1955 justru perlahan-lahan memudar.
Salah satu sebabnya adalah dinamika dalam politik domestik negara-negara anggotanya. Pergantian kepemimpinan membawa konsekuensi pergeseran orientasi dan visi politik luar negeri. Alih-alih konsisten melawan hegemoni negara kuat, para pemimpin baru tersebut justru makin merapat ke Barat. Alhasil, idealisme para intelektual arsitek KAA mulai menyurut dan digantikan oleh pragmatisme.
Buku ini mengklarifikasi anggapan umum tentang KAA serta mampu menarasikan dengan sangat baik fakta-fakta sejarah yang selama ini luput dari perhatian masyarakat. Namun, satu kelemahan buku ini adalah analisis tentang pergulatan intelektual para arsitek KAA kurang begitu mendalam. Padahal, ini adalah tesis utama buku ini yang ingin melacak jejak pemikiran di balik KAA.
Buku ini justru banyak menguraikan peristiwa KAA itu sendiri dan warisannya, yang meskipun ditulis dengan sangat bagus, sudah cukup banyak ditulis oleh para pengamat dari Barat. Lepas dari itu, membaca buku ini mampu memberi pemahaman mendalam tentang salah satu tonggak sejarah terpenting dalam politik internasional pada abad ke-20.