Konflik berlatar rasialisme terus membayangi peradaban modern hingga sekarang. Mulai dari level politik lokal hingga politik global, dapat mudah ditemukan kasus-kasus kekerasan yang diakibatkan praktik politik identitas berdasarkan perbedaan etnis atau ras. Secara gamblang hal itu terjadi dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta, juga dalam pemilu presiden di Amerika Serikat. Rupanya masalah rasialisme ini punya sejarah panjang dalam peradaban manusia dan hal itu pula yang mewarnai sejarah dunia.
Pada tahun 1920 terbit buku karya Lothrop Stoddard berjudul The Rising Tide of Color, yang kemudian tahun 1965, atas saran Presiden Soekarno, buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Setahun kemudian, buku itu pun terbit dengan judul Pasang Naik Kulit Berwarna. Tahun 2013, Kementerian Luar Negeri mencetak ulang buku ini lewat Museum Konferensi Asia Afrika, Bandung.
Stoddard menulis karyanya didasarkan atas keyakinan bahwa kunci dasar politik dunia abad kedua puluh ini adalah hubungan antara berbagai ras di dunia. Stoddard prihatin atas terjadinya Perang Dunia I, yang menjadikan dunia Barat, yang didominasi kulit putih, tenggelam dalam pertikaian di antara mereka. Sementara pada saat yang sama, bangsa-bangsa kulit berwarna yang berada di kawasan Asia-Afrika justru bangkit bergerak, berjuang membangun harapan baru. Berkobar semangat nasionalisme dan perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme. Bung Karno berharap buku ini dibaca luas dan kritis oleh bangsa Indonesia agar dapat mempelajari watak bangsa kolonial dan sikap mereka terhadap bangsa terjajah. (YKR/LITBANG KOMPAS)
Catatan di Balik KAA Bandung
Tak mudah bagi Indonesia yang baru sepuluh tahun merdeka menyelenggarakan sebuah konferensi internasional, seperti Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Penuh tantangan dan dinamika diplomasi politik yang berliku. Kesan itu diungkapkan mantan Menteri Luar Negeri RI (1956-1957) Roeslan Abdulgani dalam bukunya, The Bandung Connection: Konperensi Asia-Afrika di Bandung Tahun 1955 (Gunung Agung, 1980).
Buku berisi kumpulan cerita penting dan menarik berdasarkan pengalaman Roeslan Abdulgani tentang berbagai peristiwa di balik KAA itu melukiskan gigihnya Indonesia memperjuangkan cita-cita bangsa sejak zaman pergerakan nasional, yang sudah mendengungkan solidaritas Asia-Afrika. Diceritakan, ketika delegasi Indonesia menghadiri undangan Konferensi Colombo, Sri Lanka, 1954, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengusulkan untuk mengadakan konferensi yang tidak hanya diikuti negara-negara Asia, tetapi juga dari Afrika. Usul itu disambut rasa skeptis dan pesimistis dari delegasi negara lain. Namun, Ali Sastroamidjojo berusaha meyakinkan forum tentang pentingnya KAA. Ketetapan hati delegasi Indonesia sangat berpengaruh dalam Konferensi Colombo.
Setelah kembali dari Colombo, Pemerintah Indonesia segera menentukan langkah-langkah lanjutan, mempersiapkan KAA. Segala kesibukan teknis, koordinasi, diplomasi politik, dan perkembangan geopolitik internasional pada 1955 berpengaruh pada proses persiapan KAA. Berbagai peristiwa menegangkan di balik KAA memperkaya pemahaman pentingnya KAA dalam menyatukan perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme. (YKR/LITBANG KOMPAS)