Hilangnya Jantuk dari Topeng Betawi
- Judul: Jantuk: Pertumbuhan dan Perkembangan
- Penulis: Yahya Andi Saputra
- Penerbit: Wedatama Widya Sastra
- Cetakan: I, 2017
- Tebal: xii + 205 halaman
- ISBN: 978-602-273-020-0
Perkembangan seni tradisi dihadapkan pada sebuah dilema. Pada satu sisi, seni tradisi bisa begitu diterima oleh komunitasnya. Walaupun kini hanya semata untuk keperluan hiburan, bukan untuk kepentingan hajatan atau sedekah bumi bagi warganya yang mayoritas petani. Di sisi lain, seni tradisi sudah kurang peminat sehingga jarang ada yang tertarik untuk mengundangnya. Satu demi satu para pelakunya meninggal tanpa ada yang meneruskan.
Topeng betawi sebagai pertunjukan teater tradisi dari Betawi mengalami kondisi yang disebutkan pertama tadi. Seni tradisi ini amat populer di komunitasnya. Sayangnya, dalam pertunjukan yang populer di antara acara seremonial di Kantor Gubernur DKI Jakarta atau pentas di kampung, pertunjukan topeng betawi sudah tidak utuh lagi. Dalam pentas tersebut sudah tidak ada lagi apa yang disebut dengan Lakon Bapak Jantuk. Pentas topeng betawi saat ini didominasi oleh lawakan.
Lakon Bapak Jantuk (LBJ) merupakan lakon satu babak yang berkisah mengenai keluarga Bapak Jantuk. Lakon ini mengandung pelajaran tentang kerukunan dalam keluarga. Pesan moralnya adalah setiap masalah dalam keluarga harus diselesaikan secara baik agar tidak berujung pada perceraian. Karena itu, dulu calon pengantin di Betawi diharuskan menonton LBJ (hlm 24 dan 37).
Dalam lakon ini terdapat Bapak Jantuk, Ibu Jantuk, Jantuk, Teman Jantuk, dan Mertua Jantuk. Pada tahun 1980-an, LBJ ini dipentaskan dalam bagian terakhir dari rangkaian pentas topeng betawi. LBJ muncul pada pukul 02.00 atau 03.00 tatkala lakon utama pada topeng betawi berakhir.
Momen dini hari tersebut merupakan waktu yang hening ketika malam turun menjelang pagi. Secara tradisional, waktu dini hari merupakan waktu yang tepat untuk merenungkan hal-hal yang filosofis secara kontemplatif. Hal ini bisa dibandingkan pada wayang kulit yang menempatkan bagian goro-goro, disusul adegan para tokoh kebaikan mengalahkan para tokoh kejahatan.
Kisah Jantuk
Pakem LBJ sifatnya tetap dan dipentaskan berulang-ulang. Berkisah tentang Bapak Jantuk yang cerai gara-gara kepala ikan peda hilang dicuri kucing. Bapak Jantuk melampiaskan amarahnya kepada Ibu Jantuk. Pertengkaran ini berujung pada perceraian. Ketika menduda, Bapak Jantuk merasa kesepian dan rindu pada keluarga sehingga akhirnya ia rujuk kembali dengan Ibu Jantuk.
LBJ dipentaskan teater topeng betawi dengan kepiawaian Bapak Jantuk dalam menari, menyanyi, berpantun, bermonolog, dan dialog. Disebutkan, kepiawaian membawakan lakon Bapak Jantuk oleh para maestro topeng betawi, seperti Haji Bokir, Kacrit, Kecil, dan Haji Bodong, belum ada yang menandingi. Pemain topeng betawi generasi muda, seperti Amung, Atien Kisam, Nomir, Andi Kubil, Sabar, dan Ongkin, belum sesempurna para seniornya (hlm 126-127).
Dalam riset Yahya Andi Saputra, keberadaan LBJ sudah mencapai 100 tahun lebih. Disebutkan, pada tahun 1915-1916, suami istri Jiun dan Kinang membuat LBJ menggantikan lakon Pentul. Di buku ini dijelaskan bahwa jantuk berarti spontan dan tangkas dalam berdialog (hlm 2). Sementara itu, ciri jantuk yang penting adalah pemakaian kedok atau topeng yang bagian dahinya menonjol (nongnong) oleh Bapak Jantuk. Nongnong ini juga menjadi sebutan untuk jantuk (hlm 39).
Kehilangan fungsi
Saat ini, LBJ hilang dalam pentas topeng betawi. Yang bertahan dalam pentas topeng betawi adalah tari, nyanyi, dan bodoran atau lawakan. Untuk lakon pun kadang-kadang sudah digantikan dengan bodoran. Yang tersisa dalam pentas hanya yang ringan dan sekadar memberikan hiburan kepada para penonton. Padahal, dalam riwayatnya, topeng betawi adalah pertunjukan yang dipercaya orang Betawi mengandung makna sakral. Kerap kali pentas topeng betawi dimaksudkan untuk bayar nazar oleh orang Betawi. Bayar nazar harus dilaksanakan agar terhindar dari malapetaka di kemudian hari. Dalam pentas yang sakral, pertunjukan topeng betawi ditampilkan secara lengkap.
Hilangnya nilai sakral dalam topeng betawi ini pertama-tama disebabkan oleh perubahan komunitasnya. Sebagaimana dicatat Yahya dalam buku ini, penonton semata-mata mementingkan hiburannya tatkala datang ke pentas topeng betawi (hlm 147).
Hilangnya LBJ ini juga disebabkan seniman muda kurang memahami fungsi dan makna lakon ini. Seniman muda orientasinya pada hiburan sehingga tidak sungguh-sungguh merawat topeng betawi sebagai basisnya. Lantas, banyak seniman muda yang sibuk terjun ke dunia sinetron, ini juga memberi andil pada ketidaksungguhan merawat tersebut. Karena itu, seniman pembawa LBJ tidak lagi menguasai pakem sehingga pentas menjadi ala kadarnya (hlm 146). Dampaknya, penonton semakin memiliki alasan untuk tidak menyukai unsur cerita dalam pentas topeng betawi, khususnya LBJ.
Pentingnya buku LBJ ini adalah mengingatkan kepada masyarakat Betawi bahwa ada yang hilang dalam pentas topeng betawi yang mereka banggakan itu. Topeng betawi tidak hanya berisi lelucon belaka yang membuat penonton tertawa terpingkal-pingkal, tetapi ada pelajaran moral dan sosial yang luhur berkaitan dengan keluarga. Buku ini berguna sebagai dokumentasi LBJ. Adanya buku karya Yahya ini memungkinkan untuk merekonstruksi pentas topeng betawi lengkap dengan LBJ.
Hanya saja, penelitian ini tidak mengungkapkan data secara detail terkait pentas topeng betawi yang di dalamnya ada LBJ. Peneliti menginformasikan bahwa riset ini dilakukan di Sanggar Putra Budaya, Bekasi, (hlm 24) yang dilakukan selama tiga tahun. Namun, peneliti tidak memberi informasi pentas kapan saja yang dijadikan obyek penelitian dan pihak mana yang mengundang pentas tersebut.
Adanya informasi tersebut akan menunjukkan secara akurat keberadaan LBJ dalam pentas topeng betawi. Apabila pentas topeng betawi yang mengandung LBJ hanya diundang oleh lembaga swasta yang peduli LBJ, bisa dikatakan LBJ memang telah hilang dalam komunitas Betawi. Sebab, adanya LBJ dalam pentas topeng betawi lantaran dalam kerangka pelestarian. Sebaliknya, apabila undangan dilakukan oleh komunitas Betawi sendiri, berarti masih ada fungsi LBJ dalam komunitasnya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi dan tradisi lisan. Posisi penulis sebagai orang Betawi seharusnya bisa memasukkan pengalaman menontonnya sejak kecil terkait dengan LBJ. Pengalaman itu akan memberi kekayaan data yang berharga. Sebagai sebuah penelitian etnografis, memasukkan unsur pengalaman tersebut dimungkinkan.
Imam Muhtarom Peneliti Tradisi Lisan dan Kurato Borobudur Writers & Cultural Festival