Jakarta bagai sebuah mangkuk salad, tempat berkumpul warga dari beragam etnis. Mulai dari warga asli Betawi, Sunda, Jawa, Melayu, Batak, hingga Papua. Tak sedikit pula kaum pendatang dari negeri seberang tinggal dan hidup di Jakarta. Sayangnya, meski Jakarta terus bersolek, megah dan modern, banyak warga etnik Betawi yang bergeser dari pusat kota ke pinggiran. Mereka juga menghadapi tantangan yang kompleks.
Meskipun banyak tantangan, komunitas etnik Betawi tetap berupaya menjaga harmoni kehidupan bersama. Mereka terus menghidupkan nilai-nilai pengetahuan kearifan lokal sebagai bentuk kecerdasan etnis Betawi menghadapi arus globalisasi. Kearifan lokal etnis Betawi dan bentuk-bentuknya dalam kehidupan sehari-hari menjadi perhatian kajian Suswandari, yang lalu dibukukan dengan judul Kearifan Lokal Etnik Betawi: Mapping Sosio-Kultural Masyarakat Asli Jakarta (Pustaka Pelajar, 2017).
Kearifan lokal Betawi tecermin dalam sistem kepercayaan atau religi, upacara adat istiadat terkait daur kehidupan orang Betawi, penghormatan terhadap binatang dan tumbuhan, kesenian, kuliner, permainan tradisional, pakaian adat, cerita rakyat, senjata tradisional, hingga pengobatan tradisional. Nilai-nilai kearifan lokal ini terus mereka gali dan pelihara serta digunakan sebagai benteng menghadapi modernitas agar mereka tidak kehilangan identitas. Orang Betawi dikenal dengan karakter positif, seperti religius, jujur, toleran, terbuka, humoris, dan senang gotong royong. Nilai-nilai baik tersebut menjadi modal membangun masyarakat cinta damai. (RPS/LITBANG KOMPAS)
Masyarakat Betawi di Masa Silam
Menurut para ahli, etnis Betawi lahir sebagai hasil perkawinan antar-etnis yang datang ke Jakarta dengan penduduk setempat pada abad ke-17. Etnis Betawi merupakan suku yang tingkat pernikahan antar-etnisnya paling tinggi. Karena itu, dapat dikatakan bahwa untuk mencari orang Betawi cukup sulit. Seiring semakin banyak terjadi perkawinan orang Betawi dengan mereka yang berbeda etnis, pemakaian bahasa Betawi pun semakin berkurang. Bahasa yang digunakan di masyarakat umum bukan lagi kosakata khas Betawi, melainkan bahasa Indonesia ragam nonformal dengan lafal dan ciri-ciri morfologi bahasa Betawi.
Ketika terjadi penggusuran untuk pembangunan besar-besaran di Jakarta pasca 1950-an, penduduk asli Betawi tercerai-berai. Mereka harus bergeser ke daerah pinggiran. Lahan semakin sempit dan terjadi perubahan peruntukan lahan. Lahan yang dulu berupa kebun berubah menjadi gedung sehingga mata pencarian penduduk ikut berubah, dari bertani dan berkebun menjadi buruh, pedagang, pegawai, dan lain-lain. Lahan yang kian sempit juga menyebabkan anak-anak kehilangan tempat bermain. Berbagai alat permainan dari hasil kebun juga telah ditinggalkan.
Abdul Chaer dalam buku Betawi Tempo Doeloe: Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi (Masup Jakarta, 2015) menguraikan bagaimana perkembangan kebudayaan Betawi hingga era tahun 1950-an. Era ketika kebudayaan etnis Betawi dapat dikatakan masih utuh. Diungkapkan unsur-unsur kebudayaan Betawi yang meliputi mata pencarian, bahasa, kelengkapan hidup, organisasi sosial, daur hidup dan upacara, pendidikan, kepercayaan, kesenian, dan permainan anak. (RPS/LITBANG KOMPAS)