Ada beberapa pendapat ahli sejarah terkait asal-usul nama Betawi. Umumnya sejarawan lokal mengacu pada perspektif sejarawan kolonial, seperti Lance Castles. Nama Betawi berasal dari pelesetan kata Batavia. Namun, bagi budayawan Betawi, Ridwan Saidi, pendapat tersebut dinilai keliru. Dalam bukunya yang berjudul Lexicografi Sejarah & Manusia Betawi: Jilid I Sejarah dan Alamnya (Kreasi Prima Jaya, 2012), Ridwan menjelaskan bahwa nama Batavia sudah lama disebut demikian dalam naskah-naskah lama Betawi. Dirinya lebih setuju dengan kemungkinan pendekatan toponimi. Pada rumus toponimi, asal muasal tempat haruslah terlebih dahulu dicari dalam alam flora. Dulu, orang Betawi memberi nama tempat yang dipilihnya berdasarkan tanaman yang paling banyak tumbuh di tempatnya.
Mengacu pada hal di atas, nama Betawi berasal dari flora guling betawi (Cassia glauca) yang merupakan jenis tanaman perdu, berkayu bulat seperti guling, dan mudah diraut serta kuat. Di masa silam, tanaman ini banyak digunakan untuk pembuatan gagang keris atau gagang pisau. Selain nama flora, orang Betawi dulu juga memberi nama kampung berdasarkan kontur tanah, di antaranya Ceger (berarti tanah rusak), Srengseng (sisa tanah pencetakan sawah), Lebak (tempat yang lebih rendah), dan Marunda (berundak-undak).
Penamaan berdasarkan flora dan kontur tersebut menunjukkan kedekatan orang Betawi dengan alam dan sebagai bentuk penghormatan atas kemurahan alam di sekitarnya. Sumber daya alam melimpah ini juga berpengaruh pada sikap orang Betawi yang cenderung terbuka kepada pendatang baru.
(AFN/LITBANG KOMPAS)
Menata Ruang, Menjaga Harmoni
Sebagai produk budaya material, gagasan penciptaan ruang dalam masyarakat tradisional Indonesia tidak hanya demi keperluan ruang-ruang sosial secara fisik, tetapi juga dapat merepresentasikan budayanya secara simbolik. Hal inilah yang membuat lanskap kultural mempunyai karakteristik sendiri pada tiap lokalitasnya, sesuai dengan situasi dan kondisi biogeografis dan budaya masyarakatnya.
Persepsi primordial orang Indonesia mengenai lanskap selalu mengandung dua elemen pokok alam yang selalu berada dalam harmoni, yaitu tanah dan air. Unsur tersebut kerap diekspresikan lewat dongeng, wayang, seni tari, seni batik, dan sebagainya. Contohnya dalam gambaran wayang kayon di Jawa atau batang garing di Kalimantan yang merupakan cermin pohon kehidupan (simbol prinsip keselarasan alam yang digambarkan terdiri dari unsur-unsur flora, fauna, dan manusia) dari orang Jawa dan orang Dayak.
Buku Mengenal Arsitektur Lansekap Nusantara (Pustaka Pelajar, 2016) karya Jusna JA Amin dkk menggali hubungan keselarasan kosmos di atas pada setiap gubahan arsitektur lanskap kultural di tujuh wilayah biogeografi Indonesia. Di Aceh, misalnya, pola perumahan masyarakatnya dikelompokkan berdasarkan kekerabatan yang diselingi wilayah terbuka, namun ditutup oleh pagar tanaman. Berbeda dengan di Bali yang letaknya tersebar dalam suatu area tertentu.
Kearifan lingkungan yang tecermin dalam lanskap kultural masyarakat Indonesia ini harus dilihat sebagai komponen penting dalam perencanaan dan perancangan lingkungan untuk mewujudkan arsitektur lingkungan berkelanjutan.