Tetumbuhan dan Tradisi Jawa
Judul: Suta Naya Dhadhap Waru, Manusia Jawa dan Tumbuhan
Pengarang: Iman Budhi SantosaPenerbit: Interlude, Yogyakarta
Cetakan: I, 2017
Tebal Buku: xxx + 478 hlm.
ISBN: 978-602-6250-42-1
Apa yang ada dalam pikiran kita saat menyebut Ringinrejo, Sumberringin, Kedungringin, ataupun Ringinharjo, nama-nama desa yang ada di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta? Paling mudah tentu sebuah kawasan desa yang banyak ditumbuhi tanaman beringin (”Ficus benyamina”) atau masyarakat Jawa kerap menyebutnya ringin atau wringin.
Iman Budhi Santosa, sastrawan-penyair yang memiliki latar belakang dunia pertanian, dalam bukunya berjudul Suta Naya Dhadhap Waru (2017) membuat paparan menarik tentang hubungan masyarakat Jawa dengan tumbuhan dalam keseharian. Hubungan tersebut menjadi ingatan kolektif dalam berbagai unen-unen (sanepa, bebasan-paribasan, kidung) yang kerap digunakan dalam komunikasi sehari-hari dan nama sebuah kawasan.
Mengapa menggunakan nama tumbuhan? Iman melakukan pembacaan dengan penggalian tentang asal-usul nama desa di Jawa. Penelusuran awal dilakukan dengan membaca dan memeriksa data tumbuhan dari buku yang ditulis oleh ahli botani Belanda, Karel Heyne (1877-2947), yang berjudul De Nuttige Planten van Indonesie. Hasilnya, terdapat keterhubungan antara nama desa dan nama tumbuhan.
Dari 17.515 desa-kelurahan di DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, terdapat 3.384 desa-kelurahan yang menggunakan 324 nama tanaman sebagai nama desa-kelurahan. Penggunaan nama tanaman untuk nama desa-kelurahan tentu bukan tanpa sebab. Penanda sebuah wilayah atas dominansi satu tanaman yang tumbuh pada wilayah tersebut di masa lalu menjadi ingatan kolektif masyarakat setempat.
Sembilan nama tumbuhan digunakan untuk penamaan lebih dari 50 desa-kelurahan, baik nama asli tumbuhan tersebut maupun gabungan dengan kata yang lain. Jati (Tectona grandis) digunakan untuk nama 270 desa. Maja (Cresentia cujete) digunakan untuk nama 140 desa. Sementara 79 desa menggunakan nama ringin atau wringin (Ficus benyamina).
Wilayah merdeka
Bagi masyarakat Jawa, tetumbuhan adalah keseharian masyarakat desa. Tanah, tanaman, berikut dunia pertanian adalah wilayah yang merdeka di mana segala bentuk pembebasan mulai dari permasalahan kebutuhan hidup, terhubung dengan dunia sekitar, hingga memosisikan tanaman sebagai sedulur sinarawedi (saudara dekat) dalam hubungan yang saling menguatkan, melindungi, menjaga, mengingatkan.
Jauh sebelum ada media sosial di dunia maya, bagi masyarakat perdesaan, tanaman adalah salah satu medium sosial yang menghubungkan satu dengan yang lain. Pemilik pohon salam (Sy-
zygium polyanthum), belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi), ataupun pohon berbuah serta empon-empon akan menjadi jujugan para tetangga jika memerlukan tanaman tersebut atau saat panen.
Bagi masyarakat perdesaan, permasalahan sosial-lingkungan bisa relatif teratasi manakala penutupan pekarangan dengan tetumbuhan cukup banyak dan beragam. Sebagai sedulur sinarawedi, tetumbuhan bagi pemiliknya adalah modal sosial, modal kultural, sekaligus kekayaan materi yang bisa menjadi gambaran ketahanan pangan bagi pemiliknya. Lebih dari itu, kemampuan secara fisio-ekologisnya, tetumbuhan adalah penjaga keseimbangan lingkungan.
Penamaan desa dengan nama tanaman yang dipertahankan dalam realitas kekinian seolah menempatkan desa sebagai dunia kecil yang berhenti dalam perjalanan waktu. Pilihan dengan nama tumbuhan menjadi representasi pilihan yang jauh dari hegemoni kekuasaan saat itu. Bagaimanapun, desa adalah bagian politik dari sebuah kekuasaan kerajaan di masa lalu.
Menjadi menarik ketika masyarakat desa memberikan nama desanya dengan nama tumbuhan yang bukan merupakan representasi apa pun dari kerajaan yang menguasai, namun lebih pada sejauh mana dominasi satu jenis tanaman menjadi penanda desa tersebut. Nama desa dengan nama tumbuhan sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Sebagai entitas politik terkecil yang diakui, pilihan nama sebuah desa dengan nama tumbuhan adalah pilihan yang merdeka dan tidak datang dengan tiba-tiba. Di luar fungsinya sebagai penanda, pilihan tersebut menjadi gambaran bagaimana realitas masyarakat perdesaan membaca dirinya dan mencoba menjauhkan dari pengaruh-pengaruh kekuasaan. Dan itu bisa jadi sebentuk doa bagi anak-cucu mereka nantinya: Jatimakmur, Mlatiharjo, Jatimulyo.
Kearifan tetumbuhan
Ekspresi masyarakat perdesaan di Jawa dalam hubungan sosialnya kerap tergambar dalam ungkapan (unen-unen) yang menggunakan nama hewan dan tumbuhan untuk menyampaikan pesan yang tersamar ataupun lugas. Untuk sekadar menyentil kepura-puraan yang terjadi biasa mengucapkan wangsalan (peribahasa), seperti ”gajah alingan suket teki”yang secara literal berarti gajah yang bersembunyi di balik rumput teki (Cyperus rotundus).
Penggunaan nama tumbuhan dalam unen-unen menjadi gambaran keberadaan tumbuhan yang begitu dekat dalam keseharian kehidupan di perdesaan. Unen-unen dengan menggunakan nama tumbuhan telah melewati hubungan yang bersifat relasi material-fisikal semata. Dalam unen-unen, intensitas hidup bersama dengan tumbuhan telah meningkatkan nilai hubungan masyarakat Jawa (di perdesaan) yang menempatkan tetumbuhan dalam materi nasihat hidup dan kearifan mereka.
Tumbuhan adalah makhluk yang paling bisa narima ing pandum (menerima kenyataan takdir yang diterima) secara lengkap dan utuh. Diperlakukan apa pun akan diterimanya. Dipangkas, daun dipetik, buah dipanen, selagi tidak dimatikan dan dibongkar akarnya, suatu saat akan tumbuh tunas baru tanpa memedulikan takdir apa yang telah diterima sebelumnya.
Dan dalam unen-unen ”suta naya dhadhap waru”, ada penerimaan yang setara dengan menempatkan keberadaan dan derajat manusia suta-naya disamakan dengan tumbuhan dadap (Erythrina lithosperma) dan waru (Hibiscus tiliaceus). Sebagaimana narima ing pandum, diposisikan demikian tidak ada penolakan apa pun atas unen-unen ”suta naya dhadhap waru” meskipun pada masa lalu mungkin perjalanan hidupnya banyak ditentukan oleh pihak lain.
Iman Budhi Santosa tidak sedang membuat peta taksonomi tumbuhan. Meskipun berlatar belakang pendidikan pertanian dan telah melengkapi deskripsi bukunya dengan berbagai macam tumbuhan berikut nama Latin dan nama daerah yang menjadi nama desa, sayangnya dalam buku tersebut tidak ada ilustrasi gambar dedaunan-tumbuhan yang memberi gambaran lebih memudahkan bagi masyarakat awam untuk kembali mengenal tetumbuhan yang ada di sekitarnya. Meski demikian, buku ini bisa dijadikan pijakan awal untuk pelestarian sejarah, tumbuhan, serta adat tradisi di Jawa dengan menanam atau memuliakan kembali pohon atau tumbuhan sebagai penanda desa/kelurahan sekaligus fungsi ekologisnya.