Nasionalisme Seorang Pengusaha Roti
Dalam rentang perjalanan Indonesia yang panjang, Sanjoto ibarat sebuah titik yang terlewatkan oleh sejarah. Seperti kunang-kunang dalam kegelapan malam, Sanjoto dan titik-titik lain menerangi tetapi tak benderang, mewarnai tetapi tak cemerlang. Namun, bersama-sama, titik-titik itu menemani pergulatan bangsa Indonesia dalam menemukan jati dirinya.
Nama lengkapnya Purwohadi Sanjoto, pemberian seorang pegawai pemerintah daerah Surakarta. Namun, ia punya nama lain ketika dilahirkan, Njoo Tik Tjiong.
Sanjoto memang bukan pahlawan nasional, bukan pula elite politik yang biasa jadi sorotan. Ia hanya bagian dari rakyat Indonesia, yang kebetulan berperan serta dalam pelbagai peristiwa yang membentuk Indonesia.
Sanjoto lahir di Solo, 4 Juni 1934, masa-masa ketika nasionalisme kebangsaan mulai bangkit. Tengoklah bagaimana Sanjoto mulai jadi bagian dari sejarah Indonesia. ”Di rumah yang juga merangkap pabrik roti itu dulu saya dilahirkan. Pakai bantuan bidan.” (hlm 9)
Kolonial Belanda memasukkan Solo dalam wilayah administrasi Karesidenan Surakarta. Belanda sangat berkepentingan karena ada dua kerajaan di Solo, ditambah perkebunan tebu dan pabrik gula kala itu: Tasikmadu dan Colomadu.
Tidak mengherankan bila Solo lumayan maju dan teratur tata kotanya. Belanda bahkan membangun Benteng Vastenburg dan kediaman gubernur Belanda, yang kini jadi kantor balai kota. Bisa dipahami mengapa saat Sanjoto lahir sudah ditolong bidan.
Namun, di sisi lain, pemerintah kolonial yang membagi masyarakat dalam tiga strata: Eropa, Timur Asing (termasuk di dalamnya India, Arab, dan Tionghoa), serta pribumi, mewariskan alat pemecah belah bangsa sampai sekarang.
Zaman ke zaman
Ayah Sanjoto adalah pendiri pabrik roti Orion. Berdiri sejak 1932, usaha roti tersebut turut jatuh bangun dalam gelombang zaman. Pada zaman Belanda, produk utama Orion adalah roti yang diedarkan dari kampung ke kampung dengan pikulan.
Zaman Jepang, Orion mendapat order membuat kue moci untuk tentara Jepang. Namun, pasca-proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa sulit. Bahan pangan susah didapat, termasuk terigu dan mentega. Ayah Sanjoto terpaksa memproduksi roti dengan tepung garut dan lemak sapi.
Ketika Belanda datang lagi Desember 1948-Januari 1949—dikenal sebagai Aksi Militer Kedua—pemimpin tentara Belanda menawari Orion upah besar untuk memproduksi roti, logistik tentara Belanda dan pegawai sipil mereka. Dengan bayaran itu, keluarga Sanjoto bisa membeli mobil Mercy terbaru setiap bulan. Namun, ayah Sanjoto menolak.
Ayah Sanjoto adalah republiken tulen (hlm 17). Bernama Njoo Hong Yauw, sang ayah aktif dalam organisasi bernama Chuan Min Kung Hwee, yang di kemudian hari menjadi Perhimpunan Masyarakat Surakarta (PMS). Di sinilah sang ayah menjalankan berbagai kegiatan sosial untuk masyarakat Solo.
Aktivitas serupa dijalankan Sanjoto sejak sekolah. Dari Chung Lien Hui yang menjadi Persatuan Pelajar Sekolah Menengah Indonesia (PPSMI), Ta Hsioh Hsioh Sheng Hui (THHSH) yang menjadi Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (Perhimi) hingga Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI).
Lewat aktivitasnya, Sanjoto tidak hanya ikut mewarnai perkembangan Negara Kesatuan Republik Indonesia, NKRI, tetapi juga berteman dengan para elite negeri ini, dari Kwik Kian Gie, Harry Tjan Silalahi, Bambang Ismawan, hingga Cosmas Batubara. Ia bahkan pernah makan siang bareng Bung Karno dan kenal baik dengan Menteri Penerangan kala itu, Roeslan Abdulgani.
Salah satu peran penting yang dijalankan Sanjoto adalah menjadi ketua delegasi mahasiswa dalam pertukaran pelajar dengan Australia, 1962. Mereka mengampanyekan kembalinya Irian Barat—sekarang Papua—ke Indonesia karena di Australia saat itu cukup banyak yang anti-Indonesia (hlm 28-29).
Anak bangsa
Sanjoto dan ayahnya jelas mencintai Indonesia. Namun, segregasi yang dibuat Belanda sering membuat peran anak bangsa yang kebetulan beretnis Tionghoa menjadi korban ”amnesia” sejarah. Orde Baru bahkan membuat kebijakan yang mewajibkan mereka ganti nama. Tidak mengherankan jika Njoo Tik Tjiong berubah nama menjadi Purwohadi Sanjoto.
Warga Tionghoa memang menjadi obyek stigmatisasi. Warisan kolonial yang berlanjut pasca-kemerdekaan tidak hanya menisbikan peran mereka yang lahir, besar, dan mencintai Indonesia sebagai Tanah Air mereka, tetapi juga ”sukses” memicu berbagai konflik horizontal karena diciptakannya ”perbedaan kelas”.
Namun, Sanjoto mencatat berbagai kebijakan pemerintah yang masih bias Tionghoa dengan tanpa beban. Tentang Menteri Perindustrian Hartarto (1983-1988), yang mewajibkan pedagang Tionghoa ikut membina para pedagang kecil (hlm 68), ia berkomentar, ”Sesuatu yang sebetulnya telah kami lakukan.”
Sepanjang cerita tampak kedekatan keluarga pengusaha roti ini dengan ”wong cilik”. Dari ”Mbah” pengasuh hingga ”Mbah Wiro” yang bekerja sampai tua, dari betahnya para karyawan hingga uluran tangan kepada yang membutuhkan, termasuk menampung aneka makanan tradisional—titipan pelbagai kalangan—di Orion. Sanjoto juga turut mengembangkan RS dr Oen, warisan seorang dokter yang mendedikasikan diri untuk sosial kemanusiaan.
Namun, konflik etnis belum surut, termasuk di Solo. Dalam hal ini, Sanjoto mengatakan, ”Banyak hal dianggap sensitif dan tidak bisa dibicarakan terbuka. Artinya bangsa ini masih banyak menanggung beban.”
Begitulah Sanjoto. Ia melihat berbagai persoalan, terlibat di dalamnya, tetapi tidak tenggelam. Membaca buku ini seperti ikut berlari di atas ombak: menjalani hidup dengan penuh semangat, terbuka, seenaknya, tetapi juga pandai melihat peluang. Ia menyebutnya hoki.
Meski hokinya baik, Sanjoto percaya semua harus diawali dengan kejujuran. ”Moral bagi saya adalah masalah prinsip”
Maka, meski bisa dibilang serba serampangan, sekali berkomitmen, dia akan menepatinya. Barangkali, ini pula yang menuntun Sanjoto hidup baik: menemukan cinta sejatinya dan menikmati hari tua dengan bahagia.