Masifnya perubahan tata guna tanah di Nusantara, yang telah terjadi sejak masa kolonial, berdampak pada munculnya krisis sosial-ekologis. Demi memenuhi kebutuhan produksi dan konsumsi global, negara memberikan dukungan kepada korporasi melalui konsesi sumber-sumber agraria. Suatu kebijakan yang kerap kali meminggirkan masyarakat dari tanahnya. Dalam dimensi jender, penguasaan tanah oleh negara atau korporasi menempatkan perempuan pada posisi yang sangat rentan kerena hilangnya ruang hidup akibat praktik akumulasi kapital.
Dalam buku Gender dan Politik Konsesi Agraria (Sajogyo Institute, 2018), pergulatan perempuan dalam penguasaan sumber-sumber agraria menjadi fokus bahasan. Para penulis melakukan penelitian yang berfokus pada empat jenis konsesi: perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat, pertambangan batubara di Kalimantan Timur, hutan tanaman industri di Sumatera Selatan, dan restorasi ekologi di Jambi. Pendekatan dengan lensa feminis, dimensi jender dalam kuasa eksklusi, dan ekologi politik feminis digunakan sebagai kerangka kerja penelitian.
Hasil penelitian di empat wilayah konsesi tersebut mengungkap bencana ekologis, seperti tercemarnya air, banjir, hingga serangan binatang liar tak terhindarkan akibat masifnya komodifikasi alam. Perempuan dan kelompok marjinal lain pun tercerabut dari tradisi dasar bercocok tanam. Buku ini berusaha mengingatkan bahwa perempuan menghadapi beragam ketidakadilan ketika ruang dan wilayahnya terenggut. Salah satu konsekuensi nyata dari ketimpangan agraria itu adalah kemiskinan berkepanjangan. (AEP/Litbang Kompas)
Mengapa NU Mempertahankan NKRI?
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan kekayaan bangsa yang tak ternilai harganya. Sejak berdiri pada 31 Januari 1926, NU mampu berperan sebagai kekuatan sosial berbasis agama dengan visi kebangsaan, kukuh menjaga kebinekaan dalam bingkai negara kesatuan. Dalam perjalanan sejarah, NU selalu ikut ambil bagian dalam mencari solusi berbagai konflik yang dapat merusak rajut kebinekaan.
Di tengah pusaran arus informasi yang membawa berbagai ideologi dan nilai-nilai, politik kebangsaan ormas terbesar ini telah melampaui kepentingan identitas kelompok atau komunitas, tetapi berjuang untuk setia menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan negara. NU menjadi garda depan penjaga tradisi Nusantara, menyemai budaya pesantren tetapi luwes terhadap praktik-praktik tradisi dan adat-istiadat masyarakat lokal.
Menurut KH Said Aqil Siroj dalam catatan penutup buku NU Penjaga NKRI (Kanisius, 2018) Islam yang diamalkan oleh warga NU diwujudkan dalam pola beragama yang tawassuth (moderat), tawazun (keseimbangan), i’tidal (jalan tengah), dan tasamuth (toleran). Pola beragama tersebut menjadi landasan bagi terbangunnya tiga persaudaraan, yaitu antarsesama umat Islam (ukhuwah Islamiyyah), sesama warga bangsa (ukhuwwah wathaniyyah), dan sesama manusia (ukhuwwah basyariyah).
Buku kumpulan tulisan sejumlah tokoh ini adalah kado ulang tahun ke-92 NU yang pada intinya ingin memberikan pemahaman kepada pembaca mengapa NU begitu spartan mempertahankan NKRI. Peran unik NU sebagai penjaga NKRI tidak muncul tiba-tiba. Panggilan sejarah itu sudah ada sejak asal mula kelahirannya. (DRA/Litbang Kompas)