Jejak Karsten di Hindia Belanda
- Judul: The Life and Work of Thomas Karsten
- Penulis: Joost Cote, Hugh O’Neill, dan Pauline K.M. van Roosmalen, Helen Ibbitson Jessup
- Penerbit: Architectura & Natura, AmsterdamCetakan: I, 2017
- Tebal: 383 halaman
- ISBN: 9 789461 400598
Masih adakah mahasiswa perencanaan kota di Indonesia yang mengenal karya dan pemikiran Herman Thomas Karsten (1884-1945)? Jika tidak, menjadi ironis. Tokoh penting perencanaan kota modern Indonesia ini telah mengukir nama besar dengan karya-karyanya di negeri ini. Memang puluhan publikasi tentang tokoh ini ditulis dalam bahasa Belanda; sebagian lagi dalam bahasa Inggris sehingga sulit diakses oleh pembaca di Indonesia.
Buku The Life and Work of Thomas Karsten (2017) adalah buku terlengkap tentang Thomas Karsten. Di dalamnya tersaji biografi, pendidikan dan (sumber) inspirasi, jejak kebudayaan, dan komitmen Karsten. Karya arsitektur, pencarian arsitektur Jawa modern, perencanaan kota modern, dan catatan penutup tentang Karsten sebagai arsitek, perencana kota dan cendekiawan juga turut diulas.
Bagi kita, ada dua alasan mengapa perlu membaca buku ini. Pertama, karena tantangan yang dihadapi Karsten, secara kategoris, hampir sama dengan tantangan perkotaan kita saat ini. Ia telah menjawab tantangan tersebut dengan inovatif dan cemerlang. Kedua, Karsten menjalankan tugas profesionalnya dengan penuh empati.
Tantangan perkotaan
Tugas perencanaan kota pertama Thomas Karsten di Hindia Belanda adalah merencanakan perluasan Kota Semarang ke Candi Baru (1916-1919). Perluasan tersebut untuk menurunkan kepadatan penduduk kota, yang berakibat buruknya kondisi sanitasi, pasokan air bersih dan acap merebaknya wabah penyakit. Rancangan Karsten digambarkan ”... lebih luas dan menyeluruh dibandingkan rencana kota mana pun yang pernah dibuat di Hindia Belanda sebelumnya”. Rancangan itu ”... mengingatkan pada rencana kota kontemporer di Eropa masa itu dan teori-teori yang berkembang: fungsional, harmonis, dan organik” (hlm 274).
Lebih dari itu, rancangan Candi Baru mengenalkan konsep yang radikal untuk zamannya, yaitu percampuran sosial. Di situ, rumah warga tidak lagi dikelompokkan atas dasar ras, tetapi pencapaian ekonomi dan sosial. Bahkan, dengan kampung di sekitarnya pun, kawasan baru ini tidak dibuat terpisah; keduanya terhubung oleh jalan, meski lebih kecil. Singkat kata, visi perencanaan kota Karsten adalah: masyarakat multikelas yang dapat hidup berdampingan secara harmonis.
Karya Karsten tersebar di 11 kota di Indonesia. Sebagai arsitek, karyanya meliputi rumah pribadi, kantor perusahaan, dan bangunan umum, baik itu pasar, sekolah, masjid, stasiun, maupun balai kota. Rancangan arsitektur Karsten tidaklah monumental karena semangatnya adalah melayani seluruh masyarakat, bukan hanya segelintir elite.
Mungkin karena itu, dibandingkan sebagai arsitek, Karsten lebih menemukan dunianya sebagai perencana kota. Profesi perencana kota lebih memungkinkan Karsten menyalurkan idealismenya sebagai seorang sosialis. Dalam catatan pribadinya pada 1930, ia pernah menulis: ”Untuk beberapa tahun, saya pernah berharap dapat melepaskan diri dari pekerjaan arsitektur, kecuali mungkin untuk perumahan rakyat, dan mengabdikan waktu saya sepenuhnya untuk pekerjaan perencanaan (kota). Saya semakin tidak menyukai bangunan untuk orang kaya” (hlm 19).
Thomas Karsten adalah perencana kota Semarang, Bogor, Surakarta, Malang, Palembang, Jakarta, sekaligus pemikir-peletak fondasi perencanaan kota di Hindia Belanda. Ia menyusun panduan yang berisi dasar filosofi, prinsip-prinsip dan petunjuk praktis perencanaan kota (Indiese Stedebouw). Panduan ini menjadi pegangan perencanaan kota di Hindia Belanda hingga beberapa dekade kemudian.
Ia juga aktif mendidik generasi baru perencana kota, selain menulis tentang perencanaan kota di jurnal dwimingguan pemerintahan lokal, Locale Belangen. Setelah reputasinya meningkat, keterlibatan Karsten semakin strategis. Di antaranya, terlibat sebagai anggota berbagai komite, termasuk komite perencanaan kota. Ia juga terlibat menyusun rancangan undang-undang bina kota (stadsvormingsordonnantie, SVO), yang disahkan pada 1948. Perencanaan Kebayoran Baru oleh anak-didik Thomas Karsten, M Soesilo, diperkirakan menggunakan panduan dan UU bina kota tersebut.
Soembinah dan Indonesia
Thomas Karsten adalah profesional yang bekerja dengan hati. Dua kecintaan utamanya: Soembinah Mangoenredjo dan Indonesia. Sepuluh menit sebelum meninggal di Rumah Sakit (sebagai interniran Jepang), ia meminta dokter untuk mencatatkan wasiat terakhirnya. Dua dari tiga butir wasiatnya adalah: tentang Soembinah dan betapa pentingnya perempuan asal Dieng itu bagi hidup dan karyanya; dan tentang Indonesia ke depan. Untuk yang disebut terakhir, ia bahkan menggumamkan potongan lagu Indonesia Raya: ”Indonesia bermoelialah, Indonesia bersatoelah” (hlm 64-65).
Karsten menempatkan Soembinah bukan sebagai nyai, melainkan mitra dan sumber inspirasinya. Urip Mangoenredjo, ipar dan asisten Karsten, pernah menggambarkan bagaimana Soembinah menginspirasi Karsten merancang meja-beton Pasar Johar (Semarang) lebih tinggi untuk memudahkan pedagang menaik-turunkan bakul dagangannya. Los penjual daging juga ditempatkan di lantai dua agar lalat tidak banyak mengerubungi.
Kecintaan Karsten pada Indonesia, negeri jajahan yang mayoritas warganya miskin, tampaknya tidak muncul tiba-tiba. Sejak tahun awalnya sebagai mahasiswa di Delft Technische Hoogeschool (1905-1909), ia telah menjadi anggota Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda dan wadah profesionalnya, Asosiasi Insinyur dan Arsitek Sosial Demokrat (hlm 31). Diperkirakan di sinilah ia menyemai pemikiran-pemikiran sosialistiknya.
Ada keterputusan kita terhadap tokoh ini. Setelah nasionalisasi perusahaan Belanda pada dekade 1950 dan Trikora pada awal 1960-an, kita menjauhi segala yang ’berbau’ Belanda. Mestinya kita bisa belajar dari Karsten. Tantangan perluasan kota yang dihadapinya juga menjadi tantangan hari ini. Maka, diperlukan upaya progresif, yang bukan sekadar mereplikasi kebijakan pemerintah kolonial, yakni menyerahkan urusan perkotaan pada pemerintah kota. Kawasan perkotaan perlu diurus institusi dengan kewenangan lebih besar, yakni kementerian perumahan dan perkotaan, yang dipayungi oleh undang-undang pembangunan kawasan perkotaan.
Meski komprehensif, tidak berarti buku ini tanpa kekurangan. Ketika menggambarkan tumbuhnya era baru di Hindia Belanda pada awal abad ke-20, Bab Pendahuluan menyatakan seolah-olah penguasaan Nusantara secara militer telah tuntas pada 1910 (hlm 12-13). Padahal, sampai dekade 1930 pun, gejolak masih berlangsung, misalnya di Aceh. Namun, kekurangan itu tidak mengurangi nilai penting buku ini.