Sejak Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) menang pada tahun 2002, Turki berkembang menjadi negara Islam yang cukup maju. Banyak faktor yang memengaruhi kemajuan Turki, salah satunya adalah kepemimpinan Recep Tayyip Erdogan. Memerintah sejak 2003, Erdogan memimpin secara jelas dan tegas untuk lepas dari julukan ”the sickman of Europe”, sebuah julukan bagi negara-negara Eropa yang dilanda masalah ekonomi.
Sebelum era Erdogan, Turki meniru negara-negara Barat dalam banyak dimensi kebudayaan hingga Turki kehilangan jati dirinya. Menyadari hal ini, Erdogan mengubah arah dasar kebijakan Turki untuk kembali memperbarui hubungan dengan dunia Islam. Upaya ini tak mudah. Sejak runtuhnya Kesultanan Utsmaniyah, Mustafa Kemal yang menjadi Presiden pertama Turki melakukan banyak perubahan radikal dengan mengubah negara Utsmaniyah-Turki menjadi republik sekuler baru. Penerapan sekularisme ini berlangsung hingga delapan dekade dan telah memisahkan Turki dengan dunia Islam.
Upaya Turki meraih kejayaan dan kembali pada nilai-nilai Islam dikupas dalam buku Sekularisme dan Proses Demokrasi di Turki: Pemerkasaan Islam dan Kepemimpinan Erdogan, karya Mohammad Redzuan Othman dan Mashitah Sulaiman (Penerbit Universiti Malaya, 2015). Pembahasan mengenai Turki dilandasi oleh faktor sejarah yang cukup kuat antara Malaysia dan Turki. Sejak abad ke-16, hubungan antara Turki dan masyarakat Melayu tercatat dalam Hikayat Hang Tuah. Hubungan ini terus terjalin hingga akhir abad ke-19, ketika sebagian besar dunia Islam berhadapan dengan penjajahan. (IGP/Litbang Kompas)
Gerakan Damai Fethullah Gulen
Runtuhnya sistem kekhalifahan Turki Usmani dan berganti menjadi republik pada 1924 membawa rakyat Turki dalam lingkaran kemiskinan dan konflik. Kesenjangan ekonomi antara golongan miskin dan kaya kian melebar. Kondisi memprihatinkan itu mendorong Muhammad Fethullah Gulen, salah seorang tokoh Islam moderat mencari solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial ekonomi Turki.
Gulen menjadi penyeimbang para pemikir Islam yang dianggap ekstrem dan radikal. Tak hanya dikenal oleh para penggerak Islam modern, Gulen juga dihormati kalangan non-Muslim, termasuk komunitas Yahudi. Bersama para pendukungnya yang tergabung dalam ”Gulen Movement” ia tidak menolak sekularisme, tetapi Turki yang sekuler tak boleh menghalangi kemajuan Islam. Mereka menjalin dialog dan kerja sama perdamaian antarumat beragama dalam menyebarkan ajaran dan nilai-nilai Islam, dan menentang segala bentuk kekerasan dan aksi terorisme.
Demi meningkatkan kesejahteraan kelompok miskin Gulen mengajak para pengikutnya terlibat dalam gerakan Nurcu. Gerakan ini, antara lain, mengajak umat Islam untuk mengelola zakat, membangun jaringan bisnis, dan institusi pendidikan secara berjemaah tidak sendiri-sendiri agar hasilnya dapat berdaya guna. Hanya dengan bergerak bersama bangsa Turki dapat mengatasi masalah ekonomi dan meningkatkan taraf pendidikan masyarakat.
Gerakan damai dan pemikiran Fethullah Gulen memikat Zulfahmi untuk diangkat menjadi topik penelitiannya. Hasilnya kemudian dibukukan dengan judul Fethullah Gülen: Sang Inspirator Gerakan Damai Masyarakat Sipil di Turki (UI Press, 2014). (DRA/Litbang Kompas)