Revolusi Jati Diri Turki
- Judul: Turki: Revolusi Tak Pernah Henti
- Penulis: Trias Kuncahyono
- Penerbit: Penerbit Buku Kompas
- Cetakan: I, 2018
- Tebal: xxxiv + 350 halaman
- ISBN: 978-602-412-379-6
Dalam perkembangan politik global ataupun regional Timur Tengah mutakhir, sikap politik Turki kerap menarik perhatian, baik bagi negara-negara Timur Tengah, negara-negara berpenduduk mayoritas Islam, maupun negara-negara adidaya. Sikap politik Turki cenderung dinamis, terkesan zig-zag antara satu masa dan masa yang lain. Hal itu, misalnya, terlihat dalam konflik Israel-Palestina dan perang di Suriah.
Terkait isu konflik Israel-Palestina, dalam kasus tragedi penyerangan Kapal Mavi Marmara (2010) hingga persoalan pemindahan Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) dari Tel Aviv ke Jerusalem, Turki bersikap sangat keras terhadap Israel.
Akibat dua peristiwa tersebut, Turki sampai pada tahap menurunkan hubungan diplomasinya dengan Israel di posisi paling rendah. Bahkan, pada 18 Mei lalu, Turki menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Luar Biasa untuk menyikapi pemindahan kedutaan AS ke Jerusalem.
Padahal, di antara negara-negara berpenduduk mayoritas Islam, Turki merupakan negara yang mempunyai hubungan diplomatik paling dekat dengan Israel. Secara strategis, Turki menjalin kerja sama dengan Israel yang meliputi bidang militer, perdagangan, dan pariwisata.
Posisi politik Turki yang bersifat zig-zag juga tampak dalam menyikapi perang saudara di Suriah. Pada masa-masa awal, Turki mengambil sikap mendukung kelompok revolusi Suriah yang menghendaki Presiden Bashar al-Assad mundur. Posisi ini mempertemukan Turki dengan beberapa negara pendukung kelompok revolusi, seperti Arab Saudi dan negara-negara Arab Teluk lainnya yang mendukung kelompok revolusi dan sekutu AS.
Sebagai negara yang berbatasan langsung, Turki acap terdampak perang saudara di Suriah. Turki tak hanya kebanjiran pengungsi, tetapi juga serangan roket yang salah sasaran. Insiden terakhir ini sempat membawa Turki berhadapan langsung dengan Rusia setelah menembak jatuh salah satu jet tempur Rusia yang dianggap melanggar kedaulatan udara Turki. Akibat kejadian tersebut, kedua negara sempat terlibat dalam perang pernyataan keras di media massa, yang melibatkan pejabat teras kedua negara.
Walaupun Turki terlibat konflik di Suriah sedemikian jauh, negara-negara sekutunya di bawah komando AS tidak melakukan pembelaan berarti. Alih-alih menyelesaikan perang saudara di Suriah dengan melengserkan Bashar al-Assad, sehingga Turki terbebas dari persoalan di perbatasan, AS dan sekutunya lebih tertarik membidik target baru, yaitu berperang melawan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Turki pun mencoba melakukan perimbangan secara politik dengan memperbaiki hubungan dengan Rusia sekaligus lebih akomodatif terhadap Iran ataupun Bashar al-Assad di Suriah. Perang di Suriah telah membuat politik luar negeri Turki zig-zag ke sana kemari, sementara koalisi AS tetap maju mundur dalam mendukung kelompok revolusi di Suriah. Adapun Rusia, Iran, dan pihak-pihak lain konsisten mendukung dan membantu rezim Bashar al-Assad.
Jati diri tercabik
Apa yang membuat Turki melakukan manuver zig-zag secara politik? Wartawan Kompas, Trias Kuncahyono, dalam bukunya, Turki Revolusi Tak Pernah Henti menyediakan sejumlah jawaban sekaligus ulasan mendasar tentang negeri yang pernah menjadi tempat kejayaan bagi peradaban dunia; titik temu Barat dan Timur, serta perjumpaan Eropa dan Asia tersebut.
Dengan referensi bacaan yang luas dan banyak pengalaman tugas jurnalistik, buku ini berhasil menghadirkan ulasan tentang Turki secara komprehensif dan mendalam, hingga ke masa sebelum Masehi.
Terlihat jelas betapa Turki acap mengalami pemahaman dan peneguhan jati diri secara tercabik. Sejak wilayah ini menjadi koloni Yunani (Byzantium) pada abad ketujuh sebelum Masehi, lalu jatuh ke tangan kekaisaran Romawi (Kostantinopel) pada sekitar tahun 330 Masehi, kemudian dikuasai Ottoman di bawah pimpinan Sultan Mehmed II pada 1453 Masehi. Pada 1923, Kemal Attaturk berkuasa atas Turki hingga Recep Tayyip Erdogan (tahun 2002 hingga sekarang).
Ketika dikuasai oleh Kekhilafahan Utsmaniyah (Ottoman), Turki mengalami peneguhan jati diri keislaman yang sangat kuat. Hal ini berlangsung selama berabad-abad. Sementara saat Kemal Attaturk berkuasa, Turki meneguhkan jati dirinya sebagai Barat, tak hanya dalam konteks ketatanegaraan, tetapi juga dalam hal berpakaian (hlm 69).
Ketika Erdogan berkuasa, negara ini kian mengalami ketercabikan jati diri. Di satu sisi, Erdogan dengan partainya, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), tidak ingin dan tidak bisa lepas dari identitas-identitas keislaman. Namun, di sisi lain, Erdogan berusaha keras meyakinkan semua pihak, terutama militer Turki yang berperan sebagai pelindung ideologi Kemalisme dan juga dunia Barat, bahwa kelompoknya merepresentasikan nilai-nilai kemajuan yang tecermin dalam semangat Kemalisme.
Ketercabikan jati diri itu punya pengaruh luar biasa, tak hanya di lingkup pembangunan dalam negeri, tetapi juga hubungan politik luar negeri dengan bangsa-bangsa lain. Kebijakan politik luar negeri Turki yang zig-zag sebagaimana dijelaskan di atas bisa dipahami sebagai salah satu dampak serius dari ketercabikan jati diri Turki. Tidak tertutup kemungkinan, hal ini juga berpengaruh pada kebijakan bangsa-bangsa lain yang menjalin kerja sama dengan Turki, khususnya negara-negara Barat.
Revolusi jati diri
Pada akhirnya, revolusi demi revolusi yang terjadi di Turki dipahami sebagai upaya melahirkan dan menjaga sebuah jati diri. Sebagai contoh, untuk mempertahankan prinsip-prinsip Kemalisme sebagai jati diri Turki baru, militer Turki melakukan serangkaian kudeta, yaitu pada tahun 1960, 1971, 1980, dan 1997. Pada tahun 2016, sebagian kalangan militer dan musuh Erdogan mencoba melakukan kudeta kembali, tetapi Erdogan berhasil menghadapinya dan melakukan ”kudeta balik”.
Revolusi demi revolusi dalam sejarah Turki modern bisa disebut sebagai revolusi jati diri. Persoalan utama di negeri ini adalah jati diri Turki itu sendiri. Selama peneguhan jati dirinya terus berganti dan berubah dari satu pemerintahan ke pemerintahan yang lain, maka sejauh itu pula revolusi Turki tak pernah henti.
Buku ini sangat menarik untuk dibaca karena kaya akan makna dan pengetahuan, khususnya terkait masa depan Turki. Masa depan yang untuk sementara ini sangat ditentukan oleh dua sosok berpengaruh dan berteman akrab sebelum akhirnya pecah kongsi; Recep Tayyip Erdogan dan Fethullah Gulen. Upaya kudeta gagal pada tahun 2016 lalu, sebelum digunakan Erdogan untuk ”mengudeta” balik musuh-musuhnya, ditengarai terkait persaingan dua mantan sahabat yang sama-sama berangkat dari tradisi Islam ini (hlm 294).