Sejatinya demokrasi bermakna popular control atau pengelolaan kepentingan publik. Apa artinya demokrasi jika tidak memberikan kesejahteraan bagi setiap warga negara. Kebebasan dan penghormatan hak rakyat dalam demokrasi tidak cukup sekadar membuka ruang kebebasan bagi partisipasi politik. Demokratisasi adalah lebih dari sekadar persoalan penjaminan political liberty.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan UGM dan University of Oslo di 28 kota dan kabupaten, serta dua daerah istimewa demokratisasi yang bercorak elektoralistik selama ini tidak sepenuhnya menjangkau harapan publik. Hal itu dipaparkan dalam buku Berebut Kontrol atas Kesejahteraan (PolGov dan PCD Press, 2015). Harapan publik akan demokrasi yang semula pada kebebasan dan pemenuhan hak-hak politik berkembang ke arah tuntutan terhadap kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Buku ini juga mengungkap temuan survei bahwa demokrasi di Indonesia lebih terbangun di atas fondasi ketokohan daripada fondasi kelembagaan, maka konsentrasi yang digelar atas nama demokrasi cenderung diikuti mobilisasi ketokohan elite politik. Oleh karena kesejahteraan adalah alasan bagi ikatan emosi antara voters dan tokoh politik, yang menggejala kemudian terjadinya perebutan kontrol atas kesejahteraan.
Demokrasi dan kesejahteraan ibarat dua sisi mata uang yang tak perlu diperdebatkan. Demokratisasi sebaiknya peka terhadap struktur dan praktik kekuasaan terkait distribusi kesejahteraan. Dengan demikian, demokrasi perlu dilihat sebagai upaya menjadikan kesejahteraan sebagai isu politik. (CAH/LITBANG KOMPAS)
Masih Sebatas Simbolis
Demokratisasi pascareformasi telah melahirkan beberapa kepala daerah perempuan. Dua di antara daerah yang dipimpin oleh tokoh perempuan adalah Tangerang Selatan di Provinsi Banten dan Indramayu di Provinsi Jawa Barat. Mereka bagian dari fenomena menarik atas kemenangan para perempuan dalam pilkada langsung, yang muncul akibat menguatnya faktor kekerabatan (familial ties). Mereka berdua ditopang oleh kekuatan politik yang sama, yaitu Partai Golkar. Mereka muncul di tengah keadaan di mana sebagian besar perempuan di daerahnya tergolong kelas bawah.
Fenomena kemunculan perempuan kepala daerah tersebut dibahas dalam buku Perempuan Kepala Daerah dalam Jejaring Oligarki Lokal (LIPI Press, 2017). Buku ini merupakan hasil penelitian terhadap kepemimpinan perempuan di Tangerang Selatan dan Indramayu yang menggunakan pendekatan perspektif jender dan politik.
Hasil penelitian menunjukkan perempuan kepala daerah dengan faktor kekerabatan yang kuat kurang optimal mendorong demokratisasi lokal. Mereka juga masih perlu memberikan perhatian lebih besar terhadap masalah jender, serta menunjukkan kemampuan mereka menjadi pemimpin sesungguhnya. Tidak sebatas sebagai obyek politik elektoral dari politisi laki-laki yang masih kerabatnya.
Kajian ini menggarisbawahi pentingnya meningkatkan latar belakang pendidikan perempuan kepala daerah untuk meningkatkan cara pandang, inisiatif, dan keberanian dalam memosisikan diri sebagai subyek politik sekaligus pemimpin daerah. Kedua pemimpin daerah ini baru memperlihatkan ”narasi simbolis perempuan” dan belum sampai pada ”narasi substantif perempuan”. (CAH/LITBANG KOMPAS)