Redefinisi Demokrasi di Aras Lokal
- Judul: Rezim Lokal di Indonesia: Memaknai Ulang Demokrasi Kita
- Editor: Longgina Novadona Bayo, Purwo Santoso, Willy Purna Samadhi
- Penerbit: Yayasan Obor Indonesia
- Cetakan: 1, 2018
- Tebal: vii + 506 halaman
- ISBN: 978-602-433-561-8
Argumen dasar buku ini adalah demokrasi yang diterima sebagai keniscayaan telah menciptakan siasat dan hasrat untuk berkuasa dalam berbagai macam bentuk rezim. Problematika dalam demokrasi, seperti halnya patronase aktor elite, oligarki berbasis dinasti politik, dan kroni kepentingan adalah wujud bagaimana logika prosedural dijalankan lewat mekanisme primordial.
Pada saat bersamaan muncul juga pemimpin populis dan rezim kesejahteraan (welfare regime) di level lokal pasca-penerapan desentralisasi. Dua hal itu penting dilihat untuk merangkai karakter rezim lokal dan relasi antar-aktor elite. Studi ini kemudian merujuk dua prinsip demokrasi yang dijelaskan David Beetham, yakni kontrol rakyat dan kesetaraan politik (hlm 16).
Posisi masyarakat lokal sebagai demos (rakyat) menjadi krusial untuk melihat derajat demokrasi dalam berbagai macam rezim lokal tersebut. Mulai dari isu publik, kontrol publik, dan juga kesetaraan politik.
Selama ini pemahaman demokrasi acap menempatkan aspek prosedural berbasis elektoral sebagai bentuk ideal, atau berbasis legal formal maupun institusional dalam partisipasi politik ataupun suksesi pemerintahan. Perspektif tersebut kemudian berkembang menjadi nilai universal.
Jaminan hak warga negara dan kewajiban negara ditempatkan pada posisi yang saling terhubung. Namun, prinsip resiprokal itu hanya bisa diterapkan pada kondisi ideal karena ukuran idealitas dalam demokrasi di setiap negara tidak bisa disimpulkan dalam kondisi dan indikator yang sama.
Sangat penting melihat demokrasi dari perspektif lokal. Jauh sebelum demokrasi diperkenalkan dalam institusi formal, institusi informal yang bertindak sebagai ”negara” dalam melayani masyarakat telah lebih dulu eksis. Keduanya kemudian membentuk dual polity, yakni relasi antara institusi formal dan informal bisa berlangsung secara harmonis, tetapi juga terlibat kontestasi satu sama lain. Artinya, demokrasi juga perlu membaca konteks untuk menghindari kealpaan makna demokrasi yang hanya dibaca secara umum dan prosedural.
Buku ini hadir menjelaskan secara penuh makna bagaimana bentuk negosiasi, konsolidasi, ataupun juga kompetisi antara narasi universalitas dan narasi partikularitas dalam demokrasi di aras lokal.
Empat karakter
Studi ini mengambil sebelas lokasi riset lapangan untuk melihat dan menjelaskan mekanisme bekerjanya rezim lokal dan relasinya terhadap masyarakat. Dari berbagai lokasi tersebut dapat dijelaskan empat karakter besar dalam rezim lokal di Indonesia.
Pertama, rezim formal-elitis yang berlaku dalam kasus Lombok Utara, Aceh Selatan, dan Kutai Kartanegara. Adapun karakteristik utama dari rezim ini adalah patronase elite terhadap publik dengan memanfaatkan saluran identitas baik itu agama, adat, maupun etnisitas secara bersamaan.
Kasus Aceh Selatan menunjukkan institusionalisasi adat seperti Majelis Adat Aceh yang mengerdilkan peran lembaga tradisional seperti mukim, gampong, dan keuchik sebagai pranata demokrasi yang lebih dulu eksis di masyarakat. Hal itu berdampak pada pemaknaan adat dan agama dalam demokrasi lokal Aceh tak lebih sekadar seremonial dan simbol (hlm 96).
Dalam kasus Lombok Utara, lembaga adat juga mengalami rekonstruksi pasca-represi Orde Baru, seperti halnya pemban adat, paer, dan juga pemangku. Sistem kasta sosial berpengaruh besar dalam penentuan sikap memilih dan candidacy). Setidaknya ada tiga kelompok kasta di Lombok, yakni perwangsa terdiri kalangan bangsawan (raden dan lalu) dan tuan guru, kalangan jajarkarang, dan kalangan panjak (hlm 107). Kasta perwangsa menjadi kelas sosial dominan yang mengisi berbagai posisi jabatan publik.
Melalui dua kasus di wilayah ini, logika formal elitis sendiri menempatkan adat dan agama sebagai kunci meraih kuasa elitis dalam logika demokrasi elektoral. Berbeda dengan kedua kasus Lombok dan Aceh, rezim lokal di Kutai Kertanegara menunjukkan karakter rezim yang dibangun melalui logika patronase berbalut logika teknokrasi berbasis bagi-bagi anggaran secara informal (hlm. 128).
Rezim lokal kedua ”konsosiasional” seperti dalam kasus Jayapura, Pontianak, dan Gorontalo. Argumen dasar dalam rezim ini adalah logika kekuasaan formal itu bentuk negosiasi pembagian kekuasaan di ranah informal. Kemenangan suku minoritas Port Numbay dalam merengkuh kursi kekuasaan Wali Kota Jayapura dilaksanakan dengan mekanisme informal dengan berupaya menjalankan harmoni sosial antara ”Aku” (Suku Port Numbay) dan ”Mereka” (Pendatang) (hlm 192).
Hal itu menghasilkan ”pakta” politik yang mentransformasikan relasi adat dan pendatang, yang bertujuan ”merebut” negara. Sementara konteks Pontianak lebih menekankan pada relasi adat tiga etnis besar, yakni Melayu, Dayak, dan Tionghoa dalam pembagian kursi dan kewenangan jabatan publik di level pemerintahan. Adapun Gorontalo terpaku dalam skema politik marga yang memperlihatkan solidaritas instrumental.
Rezim lokal ketiga ”sosio-kulturalis” menekankan pada kekuatan berbagai institusi informal dalam meraih posisi sentral di pemerintahan. Cengkeraman kuat adat dalam politik formal ditunjukkan dalam bentuk demokrasi tiga tungku, yakni adat, agama, dan negara. Kasus rezim lokal yang berlangsung di Tana Toraja maupun Sidoarjo memperlihatkan adanya determinasi tiga tungku tersebut dalam memainkan perannnya dalam rezim lokal.
Tana Toraja menggunakan instrumentasi ritual rambu solo dan tongkonan untuk memastikan bahwa elite politik terikat adat asalnya, diharuskan berkontribusi signifikan kepada adat. Adapun kasus Sidoarjo memperlihatkan adanya dominasi kiai dan pesantren dalam memberikan restu politik kepada kandidat ataupun elite dalam meraih posisi strategis pemerintahan.
Rezim keempat ”pluralis-kompromistis” menitikberatkan pembangunan harmoni sosial di tengah fragmentasi sosial menyejarah sehingga tawaran demokrasi kemudian bersifat praktis dan pragmatis.
Substansi buku ini berhasil memperlihatkan realitas demokrasi lokal di Indonesia yang kompleks. Adanya pemetaan karakter empat rezim lokal merupakan kontribusi penting dalam membaca konteks lokalitas secara makro.
Namun, studi yang dipaparkan buku ini belum begitu jelas mengulas posisi ideal terlembaganya praktik dan tradisi demokrasi lokal dalam relasinya dengan demokrasi liberal. Kondisi tersebut bisa menjadi agenda riset selanjutnya, mengingat selama ini institusionalisasi adat justru dimanfaatkan dalam arena kepentingan politik praktis.
Masyarakat lokal sebagai demos tidak diberdayakan sebagai propenmendasar demokrasi lokal. Hal ini merujuk pada usaha pengedepanan demokrasi deliberatif dalam buku ini yang perlu diakomodasi dalam praktik prosedural.
Wasisto Raharjo Jati Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI