Evolusi penggunaan garam di Indonesia belum diikuti perubahan proses produksi. Sejumlah prasasti Majapahit pada abad ke-14 menyebutkan garam dibuat dengan cara mengalirkan air laut ke ladang-ladang penjemuran di pesisir. Cara pembuatan garam ini nyaris tidak berubah hingga sekarang.
Persoalan muncul ketika penggunaan garam berkembang dari sekadar penambah rasa pada makanan menjadi bahan baku aneka produk industri. Garam dalam negeri yang diproduksi mengandalkan cuaca, mengalami penurunan kualitas akibat cuaca yang tidak menentu. Padahal, standar untuk kebutuhan industri harus memiliki kadar NaCl setidaknya 97 persen dari basis kering. Produksi garam yang nyaris tanpa teknologi ini memaksa pemerintah melakukan impor garam.
Dalam situasi ini, Indonesia berambisi melakukan swasembada garam. Secara garis besar terdapat dua pokok masalah di sektor garam, yakni ketidakmampuan sektor penggaraman lokal dalam mencukupi kebutuhan dalam negeri dan ketidakberdayaan usaha garam mengangkat kesejahteraan petani garam rakyat. Kajian mewujudkan swasembada garam ini dikupas dalam buku Hikayat Si Induk Bumbu (Kepustakaan Populer Gramedia, 2018), yang ditulis oleh empat orang pakar dari Forum Diskusi Ekonomi Politik, Prof. Dr Ing Misri Gozan, dkk.
Dari hasil kajian para pakar ini disimpulkan bahwa swasembada garam dapat terwujud melalui beberapa kondisi. Industrialisasi garam harus didorong. Upaya-upaya yang harus dilakukan antara lain deregulasi perizinan, penyediaan infrastruktur, pemilihan lahan di wilayah yang tepat, dan penggunaan teknologi untuk produksi massal. (IGP/LITBANG KOMPAS)
Gotong Royong, Esensi Sejati Pancasila
Realitas kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini menghadapi tantangan yang tak mudah. Kebersamaan kita sebagai bangsa perlu direnungkan kembali tatkala berbagai peristiwa konflik sosial dan merapuhnya ikatan sosial marak terjadi. Tawuran antarpemuda di jalanan atau perkampungan, tali pertemanan yang mudah terputus karena perbedaan sikap politik, hingga aksi persekusi atas nama identitas kelompok. Di tataran elite, retorika banal demi kuasa tersiar luas di ruang publik. Bangsa ini seolah lupa, para pendiri bangsa telah menanamkan fondasi luhur Pancasila sebagai napas hidup berbangsa dan bernegara.
Pancasila, yang diteropong secara filosofis dalam buku Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini (Kanisius, 2017), memiliki akar yang dalam pada nilai kegotongroyongan masyarakat Indonesia. Soekarno melakukan penggalian sosiologis atas masyarakat Indonesia sejak zaman pra-Hindu, kemudian menunjukkan bahwa gotong royong adalah filosofi hidup yang telah mengakar lama dalam budaya Indonesia. Mohammad Hatta pun menegaskan bahwa gotong royong nyata diwujudkan dalam berbagai aktivitas keseharian hidup bersama, baik ranah sosial, budaya, maupun ekonomi.
Melalui buku ini, kita diajak untuk menyelami gotong royong sebagai sari pati Pancasila dan melihat relevansinya dalam konteks hidup bersama saat ini. Gotong royong dilihat sebagai sebuah ”kesadaran” bahwa warga memiliki hak dan kewajiban yang sama. Soekarno secara tegas juga mengatakan, bahwa tidak boleh ada klaim-klaim atas nama golongan, pribadi, ataupun kelompok karena Indonesia didirikan untuk menjamin kepentingan semua warga.(AEP/LITBANG KOMPAS)