Kelahiran wayang golek merupakan gagasan Dalem Bupati Bandung. Pada 1840-an, ia menugaskan Ki Darman, juru pembuat wayang kulit Jawa yang tinggal di Jawa Barat untuk membuat wayang golek purwa. Awalnya, wayang golek ini berupa golek gepeng, bupati kemudian menyempurnakan bentuknya menjadi bulat seperti yang dikenal sekarang.
Rupa dan raut golek menarik minat Jajang Suryana untuk mengkajinya. Hasil penelitiannya disajikan dalam buku Wayang Golek Sunda: Kajian Estetika Rupa Tokoh Golek (Kiblat, 2002). Jajang menerangkan pemilahan raut golek berdasarkan tiga hal, yaitu peranan tokoh, tampang tokoh, dan wanda tokoh (raut yang menggambarkan suasana hati).
Raut wayang golek terbagi dalam empat golongan, yaitu satria, ponggawa, buta (raksasa), dan panakawan. Masing-masing raut ini mempunyai ciri masing-masing yang harus sesuai dengan pakem, yaitu sikap kepala, warna wajah, jenis alis, jenis mata, jenis hidung, jenis kumis, jenis mulut, dan hiasan. Masing-masing raut ini dibedakan atas sifat utamanya. Misalnya, untuk satria ada sifat tenang, gagahan, dan cerdik. Ketiga sifat tersebut lalu dilukiskan dalam warna-warna pada wajah yang merupakan perpaduan antara putih (tenang), merah muda (gagah), dan gading tulang (cerdik).
Pada dasarnya, raut golek itu mengandung nilai simbolis dan estetis sehingga dalam pembuatan golek, unsur simbolis harus lebih didahulukan. Pada 1980-an, keluarga dalang Abah Sunarya menyajikan sejumlah inovasi dalam penampilan wayang golek. Wayang golek yang sempat sepi pertunjukan kembali naik pamornya. (RPS/LITBANG KOMPAS)
Tetap Eksis lewat Rekaman
Wayang golek, wayang khas dari tanah Sunda, terbilang populer di masyarakat. Pertunjukan wayang golek tidak hanya dapat dinikmati secara langsung, tetapi juga melalui kaset rekaman. Rekaman wayang golek pertama kali diproduksi pada 1970-an. Perekaman itu salah satu upaya para dalang mempertahankan wayang golek dari gempuran budaya pop yang tengah marak di Tanah Air.
Andrew N Weintraub, ahli musik pada Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat, menuliskan fenomena perkembangan wayang golek antara 1970-an hingga 2000, terutama berhubungan dengan perekamannya dalam kaset di buku Tulak Bala: Sistem Pertahanan Tradisional Masyarakat Sunda dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda (Pusat Studi Sunda, 2003).
Di awal perekaman ada sejumlah pegiat budaya Sunda, di antaranya Tjejep Supriadi, Jamar Media, dan Asep S Sunarya yang aktif melakukan terobosan untuk memperluas penonton. Tjejep memasukkan unsur sandiwara dalam dialognya. Sedangkan Jamar menggunakan dialog dengan bahasa sehari-hari, bukan bahasa pewayangan, dan banyak menonjolkan lawak. Ia tidak hanya menggunakan gamelan, tetapi juga musik dengan melodi laras diatonis.
Asep menciptakan wayang model baru dengan inovasi gerak dan musik. Gaya inovatifnya ini dianggap sebagai revolusi perwayangan dan awal kebangkitan wayang Sunda. Asep dikenal juga dengan bobodoran atau humornya. Wayangnya diakrabi dan laku di masyarakat. Pada 1990-an ia merekam wayangnya, khususnya wayang bobodoran. Walaupun mendapat sambutan yang baik di masyarakat, ketiga dalang ini menuai kritik karena dianggap keluar dari pakem. (RPS/LITBANG KOMPAS)