100 Hari Menjelang Kiamat
Judul: Ular Tangga Penulis: Anindita S Thayf
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2018
Tebal: 736 halaman
ISBN: 9786020381169
Anindita S Thayf turun gunung. Betul-betul. Pada akhir 2008, ia menjadi pemenang tunggal Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta dengan novel mungil berlatar Papua, Tanah Tabu. Awal 2018 ini, dari pondoknya di Turi, daerah perkebunan salak di lereng Gunung Merapi, Yogyakarta, ia menyajikan novel berikutnya, Ular Tangga, karya ambisius setebal bantal leher.
Tanah Tabu berlatar sejarah selayang pandang pulau paling timur di negeri ini, dengan menekankan pada nasib dan pergulatan kaum perempuan. Ular Tangga memaparkan sejarah sebuah bangsa. Novel berlatar waktu 15 tahun sesudah presiden kedua undur ini adalah buku pertama dari Trilogi Ijo.
Ular Tangga dibuka dengan beredarnya selebaran berbunyi: ”Kiamat Tidak Lama Lagi. Umur Hidup Sisa Seratus Hari. Sudahkah Anda Siap?” (hlm 25). Kepanikan pun menjalar di Daerah Tambalsulam, perkampungan kumuh di tepi Sungai Purba dan di dekat lintasan Rel Kereta Tua, di ibu kota Republik Kepulauan. Sebuah pertanyaan mulai mengendap-endap, ”Apa yang akan kau lakukan sebelum mati?” (hlm 67).
Rangkaian penantian 100 hari menjelang Kiamat—ibarat 100 kotak dalam permainan ular tangga—ini dipaparkan dalam tiga bagian. ”Buku Satu” dinarasikan orang ketiga di luar cerita, mencakup 28 hari pertama sejak selebaran beredar. Bagian ini terutama memotret kehidupan kaum Kerak Nasi penghuni Daerah Tambalsulam.
Kita dipertemukan dengan berbagai tokoh yang memiliki keunikan masing-masing, dari nenek tua yang menjadi budak seks pada masa penjajahan sampai bocah yang lahir akibat pemerkosaan pada Hari Rusuh. Ada pula Bapak Presiden Kita, Asisten Khususnya, dan seorang anggota dewan yang terhormat.
Tiga suara
Tiga tokoh penting adalah Ijo, Nenek, dan Bung Anu. Ijo bocah penakut, tetapi cerdik dan pintar menggambar. Ia memiliki kemampuan istimewa yang membuatnya terpilih menjadi saksi dari sebuah akhir. Nenek, perempuan yang dihinakan karena masa lalunya tetapi ditakuti dan disegani karena ketegasan sikap dan sumbangsihnya bagi warga sekitar. Bung Anu, penggerak Sanggar Merah, terlibat dalam suatu rencana misterius yang bakal berdampak dahsyat.
”Buku Dua” dituturkan secara unik. Tanah Tabu menggunakan dua narator nonmanusia, yang baru terungkap di ujung novel. Ular Tangga juga menggunakan dua narator nonmanusia, Sungai Purba dan Rel Kereta Tua. Mereka ini penghubung dua alam—Semesta Tengah dan Semesta Bawah—yang berperan sebagai pengawas kehidupan.
Selama 28 hari, mereka bergantian bercerita kepada Ijo tentang sejarah hidup dan sejarah bangsanya. Ijo memerlukan suntikan keberanian untuk menyongsong perubahan yang bakal terjadi. Ia mendapatkan keistimewaan mampu berkomunikasi dengan Sungai Purba dan Rel Kereta Tua gara-gara kecelakaan pada masa kecil.
Sejarah, menurut mereka, adalah soal mengapa dan bagaimana. ”Bayangkan saja begini, aku tidak akan membagikan kisah sebuah film, tapi menceritakan bagaimana film itu dibuat” (hlm 473). Adapun penggerak utama sejarah adalah virus Kehendak Berkuasa (hlm 290). Paparan mereka membentang, dari masa kerajaan hingga era Bapak Presiden Kita. Di luar itu, mereka terus memantau perkembangan keadaan.
”Buku Tiga” kembali dinarasikan oleh orang ketiga. Tinggal 44 hari lagi menjelang Kiamat. Keadaan kian gawat. Seperti bisul yang siap pecah. Selain terus melaporkan rangkaian kejadian di Semesta Tengah, narator membawa kita ke Semesta Bawah, dunia para roh yang turut memainkan peran dalam kehidupan di Semesta Tengah. Mencakup kurun waktu paling lama, tetapi jumlah halamannya paling sedikit. Alur cerita bergerak lebih gesit, ”berguncang, beriak, berpusar, berayun, berderak, dan beterbangan” (hlm 711), menuju klimaks yang menggelegak.
Tokoh merah yang simpatik
Dalam novel-novel yang berlatar peristiwa 1965, tokohnya kebanyakan adalah orang-orang yang ”tersangkut”, bernasib sial, tak bersalah atau tak paham situasi tetapi ikut terkena getah dan tergulung gelombang prahara. Perlakuan terhadap mereka adalah sebentuk ketidakadilan. Jika orang itu betul-betul komunis, lain ceritanya—ia akan dihabisi.
Nenek atau Terang Bulan sungguh-sungguh menganut, memeluk teguh ideologi Partai Merah (baca: partai kiri, komunis) sejak remaja. ”Nenekmu—anak petani miskin itu—merasa telah menemukan surga kecilnya lewat apa yang diajarkan partai tersebut: tentang bagaimana caranya mendapat hidup yang lebih baik meskipun engkau terlahir sebagai jelata di tengah dunia yang pilih kasih ini” (hlm 436).
Maka, ketika sejarah melindasnya dengan bengis dan membikinnya jadi Nol Besar, ia memperlihatkan daya sintas yang amat liat. Di Daerah Tambalsulam, ia ditakuti sebagai Nenek Sihir Berwajah Rusak, tetapi juga dihormati sebagai Malaikat Penyembuh Berkuku Separuh.
Novel ini memperlihatkan ketekunan dan kecermatan penulis. Ia piawai bercerita, lentur berimajinasi, dan mahir berbahasa. Secara gaya tutur, Ular Tangga tampil sebagai novel polifonik yang mengesankan. Ketiga narator memperdengarkan kekhasan suara masing-masing; belum lagi keragaman tokohnya, yang pelan-pelan jadi akrab seakan-akan tetangga sebelah rumah. Kita serasa diajak menyusup ke tengah kerumunan yang gaduh, tetapi mengasyikkan.
Kita juga diajak untuk melihat apa yang tersembunyi di balik permukaan: bahwa timbunan ”sampah” itu masing-masing mengandung riwayat—riwayat pribadi, riwayat kampung, riwayat kota—yang pada akhirnya jalin-menjalin membentuk riwayat sebuah bangsa. Timbunan itu mengandung luka, kenangan, pengkhianatan, pertarungan, kegigihan, kedegilan, hikmah, dan pelajaran.
Novel ini betul-betul menantang konsentrasi, kesabaran, dan stamina pembaca. Rel Kereta Tua mencela mereka yang ”punya mata, tapi hanya digunakan untuk melihat apa yang disukai dan diingini” (hlm 364). Ular Tangga mengundang kita mencermati sebuah dunia yang tersisihkan, orang-orang yang terpinggirkan dan tak masuk hitungan, serta sisi-sisi sejarah yang cenderung enggan kita tengok.