Arief Budiman adalah aktivis angkatan ’66 yang konsisten memperjuangan demokrasi dan membela kaum marjinal. Sebagai intelektual, pemikirannya dikenal tajam dan bernas. Ia tak sekadar intelektual yang kritis dalam mengungkapkan pemikirannya. Mantan pengajar di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga (Jawa Tengah) dan guru besar di Universitas Melbourne, Australia, itu juga kerap turun berada di barisan depan gerakan perubahan sosial.
Kesaksian tentang sosok Arief Budiman sebagai intelektual sekaligus tokoh gerakan demokrasi itu diungkapkan sahabatnya dalam buku Arief Budiman (Soe Hok Djin): Melawan Tanpa Kebencian (New Merah Putih, 2018). Kendati kerap bersikap keras kepada penguasa, Arief tak segan memuji tokoh-tokoh yang memiliki sikap dan pandangan yang ia anggap baik untuk Indonesia walaupun tokoh yang ia puji bertentangan pendapat dengannya. Baginya, konflik dilihat sebagai komunikasi mengadu gagasan.
Sebagai intelektual, Arief terlihat sering menggunakan pemikiran strukturalisme untuk menggugat kapitalisme Orde Baru. Ia kritis mempertanyakan masalah kebijakan pembangunan, kemiskinan, ketidakadilan, dan terabaikannya hak asasi manusia. Kritiknya tetap berlanjut meskipun rezim Soeharto telah berakhir.
Sebagai tokoh gerakan demokrasi, Arief menjadi semacam simpul dari berbagai aktivis gerakan yang tersebar di beberapa kota di Indonesia. Terutama pada awal tahun 1980-an ketika gerakan mahasiswa bertransformasi menjadi berbagai kelompok diskusi dan kelompok studi. Belakangan, kesehatan Arief menurun. Ia menderita sakit parkinson, dan kini menetap di Salatiga. Kiprahnya telah menginspirasi perubahan di Tanah Air. (AFN/Litbang Kompas)
Pak Ci, Pengusaha Sejati
Semua bermula dari impian Tjin, anak desa yang hidup di pelosok Sulawesi Utara. Kegetiran hidup semasa kecil menjadikan ia pemimpi tangguh. Kegemarannya memperhatikan bangunan-bangunan di kampungnya menjadikan ia bercita-cita menjadi arsitek. Ke Bandung, tepatnya ITB, ia memulai perjalanan meraih mimpi.
Lulus dari ITB, kampus yang sama dengan Bung Karno, Tjin pun mewarisi semangat si Bung, ingin membangun negeri. Ciputra, demikian ia kini dikenal, percaya kekuatan mimpi. Ingin segera berbuat untuk negeri, modal Ciputra hanya nekat. Tujuan pertama adalah Jakarta. Nyaris setiap hari dia menyambangi kantor Soemarno, gubernur Jakarta, berharap dapat bertemu dan menyampaikan gagasannya tentang pembangunan Jakarta.
Ciputra ditantang Soemarno membenahi kawasan Senen yang kumuh, tanpa dukungan dana. Tidak tanggung-tanggung, ia beserta timnya harus mempresentasikan konsepnya tentang pembangunan proyek Senen di hadapan Presiden Soekarno! Ciputra sampai ingin menangis saking bersyukurnya. Mereka, Ciputra dan sahabatnya, Budi Brasali dan Ismail Sofjan, baru saja lulus tetapi sudah mendapatkan kepercayaan besar.
Setelah proyek Senen, proyek-proyek besar lain segera menyusul. Ia membangun kawasan rekreasi Ancol dan Dufan, kota satelit Bintaro, dan banyak kawasan perumahan besar lainnya. Tidak hanya di Tanah Air, proyeknya menyebar hingga ke negara manca. Ia dikenal sebagai tokoh pengembang papan atas. Kisah perjalanan hidup Ciputra yang penuh warna dan sarat dengan filosofi hidup dapat dinikmati dalam buku Ciputra, The Entrepreneur: The Passion of My Life yang ditulis Alberthiene Endah (Gramedia Pustaka Utama, 2018).
(RPS/Litbang Kompas)