Oligarki Media di Indonesia
Judul: Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution
Penulis: Ross Tapsell
Penerbit: Rowman & Littlefield International
Cetakan: I, 2017Tebal: xxix + 172 halaman
ISBN: 978-1-78660-035-6
Perspektif ekonomi politik dalam melihat media massa semakin banyak diminati oleh pemikir komunikasi baik di dalam maupun luar negeri. Untuk Indonesia, tema ini menarik karena wilayah analisis komunikasi berimpitan dengan dinamika ekonomi dan politik beserta sejarahnya (historical situatedness). Spektrum analisis menjadi sangat lebar sekaligus tajam. Hal itu menjadi pegangan dalam memahami buku Ross Tapsell ini, apalagi ketika membahas oligarki.
Tapsell sangat paham pada aspek historis ketika melihat oligarki media massa di Indonesia. Basis sejarah yang ia pakai untuk membahas oligarki media massa adalah tahap liberalisasi media yang dikendalikan otoritarianisme Soeharto beserta keluarga sejak akhir 1980-an. Kemunculan bisnis televisi swasta di bawah kepemilikan keluarga Cendana tersebut menjadi dasar penting untuk menjelaskan mengapa oligarki media masih langgeng, bahkan hingga sesudah Reformasi.
Oligopoli bisnis media
Jika dirunut lebih mendalam, dari delapan kelompok oligopoli pemilik bisnis media massa di Indonesia saat ini, sebagian besar di antaranya tidak lepas dari jaring-jaring ekonomi politik Orde Baru. Kelompok ini tetap kuat meski transisi demokrasi berjalan. Inilah menariknya perspektif oligarki.
Oligarki bisa hidup dalam habitat otoritarian, feodal, dan demokratis sekaligus. Tapsell bahkan menyebut bahwa para konglomerat industri media makin mendominasi dan berpengaruh kuat dalam bidang ekonomi dan politik justru di masa Reformasi. Isu-isu itu dia bahas di bagian awal buku Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution (2017).
Pada bagian berikutnya Tapsell membahas bagaimana konglomerat digital muncul seiring dengan menguatnya digitalisasi. Internet membuat media massa tradisional mau tak mau melakukan diversifikasi konten. Tak sedikit yang membagikan kontennya secara cuma-cuma.
Kue iklan semakin terfragmentasi dengan porsi iklan internet yang semakin membesar. Ini yang memaksa industri media massa tradisional untuk mengakomodasi digitalisasi dan konvergensi antarplatform sekaligus mengombinasikan bisnis media massa dengan bentuk-bentuk bisnis digital lain. Industri media massa kemudian banyak melakukan merger baik secara vertikal maupun horizontal untuk konsolidasi bisnisnya (hlm 25).
Proses digitalisasi di dunia sering memaksa industri media untuk melakukan adaptasi secara ekstrem. Di Indonesia, adaptasi itu tidak bersifat kaku. Pada akhirnya, situasi aktual menunjukkan, justru digitalisasi membuat industri media semakin kaya dan oligopolistik. Polanya sederhana.
Perusahaan media yang memiliki modal besar pada akhirnya akan menjadi pemenang. Tapsell mencatat, ada delapan kelompok industri media dominan yang menguasai media digital Indonesia, yaitu CT Corp, Global Media Com (MNC), Emtek, Lippo, Kompas Gramedia, Bakrie Group, Jawa Pos Group, dan Media Group.
Konsentrasi kepemilikan industri media digital itu berdampak pada dua hal. Pertama adalah semakin melemahnya industri media di daerah. Euforia kemunculan televisi swasta lokal pasca-Undang-Undang (UU) Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 pada akhirnya hanya memunculkan beberapa kelompok usaha di daerah, misalnya di Bali, Yogyakarta, dan Surabaya. Sisanya, kalau tidak gulung tikar, akan dibeli oleh raksasa televisi swasta Jakarta.
Kedua, industri media yang tidak didukung oleh modal kuat dalam proses digitalisasi akan terpinggirkan. Ini berlaku baik untuk media yang berpusat di Jakarta maupun di daerah. Di bab ini penulis sempat menyinggung konten-konten Islam yang tidak terhindarkan dari komodifikasi. Konsumen media di Indonesia tidak terlalu suka institusi media islami, tetapi lebih suka konten-konten islami melalui media ”sekuler”.
Semangat oligarki
Tapsell juga membahas bagaimana kepemilikan media massa sangat beririsan dengan kepentingan politik. Rakyat Indonesia sudah merasakan bagaimana Pemilu 2014 lalu telah membelah identitas politik di mana media massa masuk dalam ”pengubuan”. Korbannya adalah jurnalisme yang independen.
Ahli kajian media pada Australian National University ini juga mengulas terjadinya perlawanan warga terhadap oligarki media di Indonesia. Dia mengambil contoh kampanye Joko Widodo pada Pemilu 2014. Kemenangan Jokowi menjadi presiden tidak lepas dari pemberitaan media yang masif dan gratis. Meski demikian, Tapsell juga mencatat bahwa ada kepentingan politik dari para konglomerat media di balik itu, yaitu untuk mendapatkan posisi politik setelah Jokowi terpilih.
Ross Tapsell menyampaikan pesimismenya dalam hal perlawanan terhadap oligarki. Betul bahwa ada kesempatan produksi informasi oleh warga negara nonjurnalis dalam platform digital. Namun, kesempatan itu menjadi kurang bermakna karena para warganet cenderung membuat opini pribadi ketimbang liputan jurnalistik yang memadai. Kurang ada kontribusi bagi jurnalisme yang cenderung memburuk kualitasnya.
Selain itu, ada juga ancaman legal yaitu UU Informasi dan Transaksi Elektronik No 11/2008 yang bisa berdampak kriminalisasi bagi para warganet. Secara struktural, oligarki media massa masih akan menjadi wajah sejarah media massa kita ke depan.
Buku ini ditulis melalui riset mendalam dan wawancara dengan kalangan industri media, pemerintah, serta akademisi selama tujuh tahun. Ada beberapa catatan untuk buku ini. Pertama, meskipun terbit pada tahun 2017, buku ini kurang detail dalam membahas digitalisasi penyiaran yang penuh dinamika. Penulis hanya mencatat episode ketika Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring memberikan hak multipleksing kepada pemilik penyiaran aktual (existing owners) melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No 22/PER/M.KOMINFO/11/2011.
Penulis tidak mencatat dinamika penting sesudahnya, misalnya pembatalan permen itu oleh Mahkamah Agung tahun 2013 dan Kemkominfo yang bersikeras melaksanakan prinsip permen itu melalui instrumen Kepmen No 729 dan 730/2014. Prinsip dari aturan-aturan itu adalah melanggengkan oligarki televisi dalam platform digital. Belakangan Kemkominfo berencana menghidupkan semangat oligarkis dalam pengaturan multipleksing ini.
Kedua, meski mewawancarai banyak kalangan, terasa sekali bahwa buku ini kurang menangkap aspirasi dari kelompok masyarakat sipil. Kelompok ini memang tidak termasuk dalam value chain industri media. Akan tetapi, kelompok ini cukup intensif menyuarakan semangat anti-oligarki dalam kurun waktu ketika penelitian ini dibuat.
Terlepas dari keduanya, buku ini sangat kontributif dalam melihat kondisi lanskap media kita secara ekonomi politik beserta tantangannya bagi demokratisasi di Indonesia.