Peran Cendekiawan Muslim dalam Perubahan
Ketika gerakan reformasi pada tahun 1997/1998 muncul, tampak beberapa figur inteligensia Muslim mengambil peran penting dalam proses pengunduran diri Soeharto sebagai presiden. Kiprah mereka semakin menonjol pada masa pemerintahan (transisi) BJ Habibie ketika banyak anggota kabinet dan pejabat birokrasi berasal dari Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI). Capaian politik ini memuncak saat KH Abdurrahman Wahid menjadi presiden.
Seiring kuatnya pengaruh inteligensia Muslim dalam kancah politik nasional, muncul pula sejumlah partai Muslim baik yang liberal maupun yang tak liberal. Hal ini memicu terjadinya pertarungan ideologi dan identitas politik yang dinamis antar maupun intra tradisi-tradisi intelektual yang berbeda dalam berbagai ekspresi. Politik Muslim mengalami fragmentasi internal yang ditandai kemunculan partai-partai politik Muslim dengan beragam orientasi kepartaian sebagaimana diungkapkan Yudi Latif dalam bukunya, Genealogi Inteligensia: Pengetahuan & Kekuasaan Inteligensia Muslim Indonesia Abad XX (Kencana, 2013).
Besarnya pengaruh inteligensia Muslim dalam dinamika transformasi sejarah bangsa menuju masyarakat yang demokratis menarik dikaji lebih mendalam dan menyeluruh. Buku ini hasil studi yang menelaah genealogi inteligensia Muslim dalam hubungannya dengan pertarungan kuasa di Indonesia abad ke-20. Inilah usaha Yudi Latif mendapatkan pemahaman lebih baik mengenai beragam impuls dan interaksi yang ikut memberikan kontribusi bagi kesinambungan dan perubahan dinamis jangka panjang dari inteligensia Muslim dalam relasinya dengan kuasa.
(YKR/Litbang Kompas)
Menggali Wacana Pluralisme di Indonesia
Pada tahun 1993 salah seorang pemikir Islam Indonesia terkemuka, Nurcholish Madjid (Cak Nur), menulis artikel berjudul The Islamic Roots of Modern Pluralism. Tiga tahun kemudian, pada 1996, Abdulaziz Sachedina, seorang ahli Islam di Amerika Serikat, menulis sebuah buku yang judulnya mirip dengan artikel Cak Nur, Islamic Roots of Democratic Pluralism.
Kedua karya tulis ilmiah itu menegaskan pentingnya menggali ulang pemikiran demokrasi dalam Islam yang bisa menjustifikasi sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Maksudnya bagaimana Islam bisa menerima pandangan-pandangan demokrasi modern, seperti sekularisme, liberalisme, dan pluralisme, sebagai ide-ide yang secara teologis bisa diterima. Tidak ada masalah.
Menurut Prof Dr M Dawam Rahardjo dalam kata pengantar, buku Budhy Munawar-Rachman yang berjudul Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme (Lembaga Studi Agama dan Filsafat-Paramadina, 2010) memberikan penjelasan ilmiah mengenai paradigma atau pendekatan untuk merespons berbagai permasalahan global. Suatu krisis menyeluruh yang sebenarnya tidak hanya dihadapi dunia Islam, tetapi juga seluruh agama.
Budhy Munawar-Rachman, pendiri Nurcholish Madjid Society (NCMS), menegaskan bahwa paham sekularisme, liberalisme, dan pluralisme keagamaan secara substansial sangat penting dikembangkan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, terbuka, dan demokratis. Buku yang dikerjakan selama 12 tahun ini suatu upaya membuka harapan untuk menemukan konsep sekularisme, liberalisme, dan pluralisme yang cocok dengan konteks Indonesia. (YKR/Litbang Kompas)