Indonesia di Tengah Perubahan Global
Judul: Indonesia in the New World: Globalisation, Nationalism and Sovereignty
Penyunting : Arianto A Patunru, Mari Pangestu, dan M Chatib Basri
Cetakan: I, 2018
Penerbit: ISEAS – Yushof Ishak Institute
Tebal: xix + 333 halaman
ISBN: 978-981-4818-22-3
Buku terbitan tahun 2018 ini hadir tepat waktu, saat ekonomi dunia berubah. Kita melihat munculnya gelombang nasionalisme, populisme, dan proteksionisme, terutama di Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump yang menyulut perang dagang dengan China dan Eropa.
Amerika Serikat dan Selandia Baru serta 20 negara lain mempersoalkan Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia karena pembatasan perdagangan. Penting memahami posisi Indonesia dalam globalisasi ekonomi. Bila pemerintah ingin mendorong keterbukaan ekonomi (perdagangan), persepsi negatif terhadap globalisasi harus dapat dikelola.
Para penulis buku ini adalah peneliti, akademisi, dan praktisi dari universitas serta lembaga penelitian dan kajian di Indonesia, Australia, Belanda, Jerman, dan Singapura. Ketiga editor adalah Arianto A Patunru, pengajar dan peneliti ekonomi dan kebijakan di Australian National University; Mari E Pangestu, guru besar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UI, Menteri Perdagangan (2004-2011) dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (2011-2014); dan M Chatib Basri, pengajar di FEB UI, Menteri Keuangan (2013-2014), dan Ketua BKPM (2012-2013).
Buku ini, seperti disampaikan editornya, membahas respons Indonesia terhadap ekonomi global. Ekonomi dunia kembali tumbuh setelah krisis finansial 2007-2008, tetapi perdagangan melambat. Perlambatan tersebut disebabkan siklus berulang dan masalah struktural, yaitu melambatnya pertumbuhan produktivitas, mulai jenuhnya rantai pasok dunia, proteksionisme, dan kebijakan perdagangan negara-negara (hal 1-2).
Namun, penyebab utama adalah ketidakpastian kebijakan akibat ketidakpuasan pada globalisasi. Ada persepsi, globalisasi tidak membawa manfaat bagi penduduk dunia. Lebih dari tiga miliar orang hidup dengan pengeluaran kurang dari garis kemiskinan rata-rata dunia 2,5 dollar AS per hari. Sementara 10 persen orang terkaya memiliki 85 persen kekayaan dunia.
Indonesia selalu diingatkan untuk mengambil manfaat dari rantai nilai tambah dunia, terutama dalam manufaktur. Apalagi setelah krisis keuangan dan ekonomi 1998 pertumbuhan ekonomi lebih banyak bergantung pada ekspor komoditas perkebunan serta hasil tambang dan mineral.
Ketika pada tahun 2013 harga komoditas jatuh di pasar internasional, transaksi berjalan Indonesia mulai defisit. Dampaknya pada nilai tukar rupiah yang berfluktuasi mengikuti pasar keuangan global. Muncul kembali dorongan segera meningkatkan ekspor dan mengurangi impor.
Nasionalisme
Selain isu globalisasi, buku ini juga menyoroti wacana nasionalisme. Edward Aspinall dari Australian National University membahas pasang-surut semangat nasionalisme sejak Indonesia merdeka yang kembali menguat belakangan ini di bawah pemerintahan Joko Widodo (Bab 3). Dia menyimpulkan, munculnya kembali dan kecenderungan melihat ke dalam bukan tanda bangkitnya rasa percaya diri, melainkan lebih disebabkan kegagalan ekonomi dan politik Indonesia meningkatkan kemakmuran rakyat. Hampir separuh rakyat Indonesia pengeluarannya di bawah 2 dollar per hari. Secara kasatmata Indonesia tampak tertinggal dalam pembangunan fisik dan manusia dari negara tetangga (hal 48-49). Indonesia juga lemah dalam penegakan hukum, pemberantasan korupsi, capaian pendidikan, dan banyak lagi.
Dalam sejarah Indonesia, nasionalisme ekonomi berdampak pada proteksionisme yang berujung pada: 1) inkonsisten kebijakan; 2) pemanfaatan isu nasionalisme yang menyentuh emosi rakyat untuk menguatkan peran dan fungsi negara dan kekuasaan; dan 3) lahirnya rente ekonomi yang dimanfaatkan mereka di lingkar kekuasaan, yaitu partai politik (legislatif), eksekutif, yudikatif, dan pengusaha.
Diskusi tentang kembalinya nasionalisme oleh harian Kompas bersama Asia Institute, University of Melbourne dan akademisi dari Indonesia (Kompas, 14/3/2018) menyimpulkan, elite-elite parpol dan eksekutif memakai isu nasionalisme untuk menarik suara masyarakat dan memberikan landasan untuk pilihan kebijakan.
Hal ini dijelaskan juga oleh Jeff Neilson (Bab 5) dan Eve Waburton (Bab 6). Neilson membahas, kedaulatan pangan merupakan konstruksi politik dalam negeri yang tidak berhubungan dengan situasi pangan dunia. Kedaulatan pangan menjadi retorika yang digunakan aktor-aktor politik, termasuk negara, untuk kepentingan masing-masing, sebagai kontrol konkret pada masyarakat (hal 86).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan, negara harus memberikan kecukupan pangan bergizi secara berdaulat dan mandiri. Dalam praktik, Indonesia menjadi importir pangan dalam jumlah besar, bahkan untuk pangan yang ”diproteksi”, yaitu beras. Tahun ini impor beras akan mencapai dua juta ton.
Indonesia juga mengimpor ratusan ribu ton daging kerbau meski melarang impor sapi dengan alasan pengembangan peternakan sapi rakyat. Begitu juga garam, pemerintah memilih impor daripada memberikan teknologi tepat guna kepada petani. Pemerintah mengimpor lebih dari satu juta ton gula mentah tahun ini meskipun menetapkan target swasembada pada 2019.
Dalam pertambangan, Eve Waburton (hal 90-108) mengulas besarnya peran negara dalam pelarangan ekspor mineral mentah. Kebijakan tersebut berhasil mendorong naik posisi Indonesia di dalam rantai pasok global. Namun, alih-alih alasan nasionalisme seperti disebut sejumlah kritik, pelarangan ekspor mineral mentah lebih merupakan sikap developmentalis.
Prasyarat
Dua peneliti, Arief Anshori Yusuf dan Peter Warr, mengemukakan hipotesis sikap antiglobalisasi berdampak pada melambatnya penurunan jumlah orang miskin dan meningkatkan ketimpangan kemakmuran (hal 133).
Namun, di Indonesia sikap antiglobalisasi bukan penyebab utama melambatnya pengurangan kemiskinan dan meningkatnya ketimpangan. Hal ini menjadi tantangan bagi penyusun kebijakan pembangunan saat berhadapan dengan pandangan sikap nasionalisme dan antiglobalisasi, ”tidak merugikan” rakyat banyak.
Tantangan lain bagi Indonesia adalah bagaimana memanfaatkan demokrasi untuk meningkatkan kemakmuran secara adil dan membantu mereka yang tertinggal akibat globalisasi. Seperti disimpulkan Yose Rizal Damuri dan Mari Pangestu (hal 109), mereka yang berpendidikan tinggi dan berusia lebih muda cenderung terbuka terhadap impor dan investasi asing, tetapi berpandangan negatif pada pekerja asing. Sementara individu yang memiliki akses informasi kurang mendukung impor, investasi, dan pekerja asing.
Yang belum banyak diulas, dua syarat yang harus dipenuhi Indonesia agar mendapat manfaat dari perdagangan bebas: meningkatkan produktivitas melalui teknologi dan inovasi serta konsistensi kebijakan dan peraturan. Ini tidak dapat diselesaikan melalui retorika, melainkan perlu visi jangka panjang tentang tujuan, kebijakan, dan strategi ekonomi serta konsistensi mewujudkan visi itu.