Perdagangan Indonesia bergerak dinamis sejak tahun 2004 saat mulai berlaku perdagangan bebas antara ASEAN dan China (ACFTA). Kenyataan yang sulit dibendung bahwa Indonesia tak bisa menutup diri dari gelombang globalisasi dan perlu melakukan langkah strategis yang melindungi kepentingan ekonomi nasional dari dampak negatif perdagangan bebas. Sebaliknya, Indonesia perlu segera berbenah untuk semakin meningkatkan daya saing produk Indonesia, termasuk menyediakan infrastruktur pendukung.
Selain berbagai dimensi ekonomi, kebijakan strategis perdagangan nasional juga perlu mempertimbangkan dimensi budaya. Indonesia yang memiliki kekayaan budaya harus segera bergerak mengembangkan potensi ekonomi kreatif sebagai sumber daya saing. Berbagai pandangan muncul menyertai kebijakan perdagangan bebas Indonesia era ini. Sebagian buah pemikiran dari mereka yang menaruh perhatian pada wacana strategis ini, baik dari pengamat ekonomi, pengusaha, maupun politisi, hingga konsumen, yang muncul antara tahun 2004 dan 2011 dihimpun dalam buku Rumah Ekonomi Rumah Budaya (Gramedia Pustaka Utama, 2012).
Buku dibuka dengan tulisan tentang pengaruh situasi global sepanjang 2004-2011 terhadap perdagangan Indonesia, yang mengulas posisi Indonesia di tengah perdagangan global dan kebijakan-kebijakan yang diambil. Persoalan yang dialami Indonesia ternyata juga dialami oleh banyak negara berkembang. Pada bagian berikutnya membahas perlunya revitalisasi pasar tradisional. Juga menggagas berbagai upaya untuk memenangi persaingan global dalam kerangka ekonomi kreatif. (IGP/LITBANG KOMPAS)
Menggagas Ekonomi Tahan Banting
Meskipun kondisi ekonomi makro Indonesia secara umum baik, tetap harus waspada karena masih ada risiko ekonomi yang berasal dari eksternal. Risiko ini disebabkan ketidakpastian kebijakan ekonomi global. Akan tetapi, Indonesia perlu untuk selalu bersikap optimistis. Presiden Joko Widodo menyampaikan hal itu dalam acara ”Sarasehan 100 Ekonom Indonesia” yang diadakan Desember 2016, di Jakarta.
Presiden juga berharap masyarakat tidak terjebak pada persepsi negatif nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Menurut Presiden, nilai tukar rupiah-dollar tidak mencerminkan fundamental perekonomian nasional. Nilai ekspor Indonesia ke AS hanya berkisar 10-11 persen dari total ekspor. Presiden juga menyoroti soal birokrasi yang berbelit, yang menghambat pembangunan. Hampir 60-70 persen birokrasi habis energinya untuk mengurus SPJ. Sementara di sektor sumber daya manusia terjadi salah kaprah dalam penerapan kurikulum sekolah, yang lebih banyak mengajarkan teori dan kurang mengadakan latihan praktik.
Selain memuat pemikiran Presiden, berbagai pandangan mengenai ekonomi Indonesia ini juga dituangkan dalam sejumlah tulisan yang terhimpun dalam buku Menuju Ketangguhan Ekonomi: Sumbang Saran 100 Ekonom Indonesia (Penerbit Buku Kompas, 2017). Sebanyak 100 ekonom, baik ilmuwan, pelaku usaha, pejabat negara, maupun perumus kebijakan, turut menyumbang gagasan. Dalam pembagian kelompok kerja, diskusi ini dibagi ke dalam empat tema besar yang meliputi masalah kredibilitas fiskal, produktivitas dan daya saing, likuiditas perekonomian, dan kualitas pertumbuhan ekonomi.
(IGP/LITBANG KOMPAS)