Indonesia di Sebuah Masa Peralihan
Sebuah buku yang mayoritas membahas sebuah gaya bangunan di Indonesia terbit akhir tahun lalu oleh penerbit Equinox, Inggris. Buku ini unik karena saat kita membacanya, kita akan memahami dunia arsitektur, antropologi, arkeologi, dan sejarah sekaligus tanpa perlu menguasai dasar ilmu-ilmu itu.
Buku berjudul Retronesia, dengan subjudul The Years of Building Dangerously itu memang bertutur ringan tentang sebuah era perubahan di Indonesia pada masa akhir tahun 1940-an sampai awal tahun 1960-an. Bermula dari membahas sebuah gaya arsitektur, buku ini lalu memberi kita aneka pengetahuan tentang sekelumit sejarah Indonesia populer pada era perubahan, terutama perubahan sosial ekonomi era itu.
”Buku saya ini tentang arkeologi urban untuk pemula,” seloroh penulisnya, Tariq Khalil, dalam sebuah perbincangan di rumahnya di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, bulan lalu.
Tariq yang aksen Skotlandianya sangat kental saat berbicara dalam bahasa Inggris ini juga cukup fasih berbicara dalam bahasa Indonesia karena ia sudah belasan tahun tinggal di sini. Sebagai ahli lingkungan, Tariq banyak menjelajah seluruh penjuru Indonesia. Namun, pemahamannya akan sebuah gaya arsitektur yang populer dengan nama ”Arsitektur Jengki” ini sungguh mencengangkan.
”Iya, buku Retronesia memang tentang Indonesia yang retrospektif. Khususnya tentang sebuah gaya arsitektur di Indonesia, pada suatu ketika di masa lalu,” kata Tariq.
Yang disebut arsitektur jengki adalah gaya arsitektur yang secara umum memainkan ornamen-ornamen bidang, dianggap pengembangan, bahkan pascagaya Art Deco, dibuat pada era 1950-an sampai 1960-an, dan secara umum mudah dikenali karena kekhasan desainnya. Arsitek terkemuka Yori Antar mengatakan, ”Saya tidak khusus mengamati arsitektur jengki ini, tetapi menurut saya dia gaya arsitektur yang sangat tropis. Lihat saja tipe-tipe rumahnya yang umumnya membesar ke atas.”
Soal penyebutan ”Jengki” ini memang masih menjadi tanda tanya, kapan dia mulai dipakai, siapa yang pertama memberi nama ini, juga apa arti ”jengki”. Tariq menduga bahwa ”jengki” adalah versi Indonesia dari kata ”yankee” yang mengaku pada penyebutan terhadap orang-orang New England yang tinggal di Amerika Utara. Diduga, gaya arsitektur ini dikembangkan orang- orang dari Amerika.
Namun, kata ”jengki” juga populer di Indonesia sejak tahun 1970-an untuk menyebut sesuatu yang tidak mengacu ke mana- mana. Di era itu, ada sepeda jengki yang tidak jelas itu sepeda untuk laki-laki atau untuk perempuan, juga celana jengki yang bisa dipakai pria dan wanita.
Tariq mulai tertarik dengan arsitektur jengki karena melihat paparan Frances Affandy dari Bandung Heritage pada 2008. Menurut Tariq, gaya arsitektur yang dilihatnya itu membawanya berburu bangunan-bangunan serupa di seluruh Indonesia.
”Saya mendapati banyak bangunan arsitektur jengki yang ada, tetapi saya belum sempat mendatangi dan memotretnya,” kata Tariq seperti juga digambarkannya dalam sebuah tabel di buku Retronesia.
Dokumentasi
Secara umum, Tariq memotret bangunan-bangunan arsitektur jengki di DKI, Bandung, Bogor, Yogyakarta, Magelang, Solo, Semarang, Kopeng (Jawa Tengah), Gresik, Surabaya, Malang, lawang, Medan, Banda Aceh, Palembang, Padang, Bukittinggi, Muntok, Bandar Lampung, Balikpapan, Banjarmasin, Martapura, Muara Teweh, Makassar, Rantepao, dan Manado. Beberapa yang belum dipotretnya adalah yang berada di Banten, Cirebon, Singkawang, Pontianak, Berau, Samarinda, Singaraja, Mataram, Ende, Kolaka, Ternate, Buli, Ambon, Sorong, Terminabuan, dan Pulau Kei.
Ketertarikan Tariq pada arsitektur jengki ini juga membawanya pada penelusuran aneka sejarah seputar hal itu, bahkan sampai mencari ke arsip-arsip negeri Belanda.
Akhirnya, buku Retronesia itu memang menjadi ikut menceritakan sekelumit sejarah Indonesia.
”Saya menyaksikan film Tiga Dara karya Usmar Ismail tahun 1956 yang sudah direstorasi. Di situ terlihat jelas penonjolan arsitektur jengki ini,” kata Tariq.
Dari segi literatur tambahan, Tariq mendapat bahwa buku karya Mochtar Lubis berjudul Senja di Djakarta sungguh menggambarkan mengapa ledakan arsitektur jengki itu begitu menggema di era itu. Menurut Tariq, era awal tahun 1950-an itu ekonomi Indonesia dalam peralihan besar.
Banyak perusahaan Belanda dinasionalisasi, dan dengan berbagai kondisi muncul banyak orang kaya baru.
”Banyak aset berpindah tangan, dan orang-orang kaya mendadak inilah yang salah satunya memulai timbulnya gaya arsitektur baru ini,” katanya.
Menurut Tariq, bagaimana awalnya gaya arsitektur jengki muncul, bisa dilacak dari pembangunan awal area Kebayoran Baru di (kini) Jakarta Selatan. Waktu itu biro arsitek Belanda Job and Sprey membangun beberapa rumah untuk perusahaan minyak Bataafsche Petroleum Maatschappij (yang kemudian menjadi Pertamina) di tempat yang sekarang menjadi Jalan Pakubuwono VI. Perusahaan minyak ini juga membangun rumah-rumah yang sama di sebuah pantai di Balikpapan yang kini juga menjadi aset Pertamina. Gaya bangunan ini begitu mencolok saat itu, berbeda dengan yang pernah ada, dan lalu menjadi tren yang menyebar ke seluruh Indonesia bahkan sampai sekitar tahun 1970.
”Gaya ini sangat disukai sehingga tidak cuma rumah tinggal saja yang kemudian menganut gaya itu. Dari pengusaha perkebunan sampai pengusaha batik pun lalu memakai gaya itu untuk bangunan-bangunan yang mereka dirikan,” kata Tariq.
Tercatat dalam buku Retronesia, gedung pertemuan yang memakai gaya ini adalah Bumi Sangkuriang di Bandung, sedangkan lembaga pendidikan yang memakainya terlihat di Jalan Juanda, Bandung, dalam bentuk Balai Pertemuan Ilmiah ITB, serta Universitas Parahyangan kampus lama di Jalan Merdeka Bandung. Di Magelang, sebuah gereja Katolik di Jalan Yos Sudarso juga memakai gaya arsitektur ini.
Satu-satunya bangunan yang tampak menyempal dibandingkan bangunan lain yang bergaya arsitektur jengki adalah sebuah bangunan toko obat di Jalan Pandanaran, Semarang, yang bernama Apotek Sputnik. Apotik ini tampak luarnya memasang sebuah replika pesawat roket.
”Apotek Sputnik itu merepresentasikan era Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet di kala itu,” kata Tariq.
Tariq juga bercerita betapa sulit memotret Apotek Sputnik dengan baik karena bangunan itu tertutup banyak penjual kaki lima. ”Saya harus bernegosiasi dengan para pedagang itu untuk bisa memotretnya,” katanya terbahak.
Pemotretan Bumi Sangkuriang pun terhalang aneka mobil yang terparkir di sana. Saat memotretnya, Tariq harus bermalam untuk menunggu pagi hari saat belum ada mobil yang terparkir sama sekali sambil meminta tolong petuga satpam berjaga kalau ada mobil masuk tiba-tiba.
Penelusuran Tariq memang banyak membawa sejarah kecil Indonesia. Satu yang bisa diangkat adalah kenyataan bahwa Universitas Parahyangan, Bandung, pada awalnya adalah sebuah lembaga pendidikan bernama Akademi Perniagaan yang mendapat hibah tanah dari Biara Ursulin di Jalan Merdeka.
Sejarah kecil lain yang dipaparkan Tariq dalam bukunya adalah tentang Bank Indonesia yang berdiri menyusul tutupnya De Javasche Bank, yang pada tahun 1950-an membangun rumah-rumah staf di daerah Pancoran yang saat itu menjadi tepi kota Jakarta.
Versi Indonesia buku Retronesia akan diluncurkan Oktober 2018 mendatang di Ubud Writers Festival Bali.