Pekerjaan Berpatokan Batin
Judul: Profesi Wong Cilik
Penulis: Iman Budhi Santosa
Penerbit: Basabasi
Cetakan: 2017
Tebal: 308 halaman
ISBN: 978 602 391 371 8
Pada abad XIX, Ranggawarsita (1802-1873) menggubah Serat Jayengbaya, teks sastra bertema pekerjaan di Jawa bermuatan sinis dan humor. Serat Jayengbaya digubah saat Ranggawarsita berusia 20-an tahun. Penggubahan dengan acuan dan latar Jawa sedang berubah. Kemajuan di Jawa mulai merebak akibat pendirian sekolah-sekolah modern.
Pekerjaan-pekerjaan baru pun bermunculan berbarengan pemodernan birokrasi kolonial. Jawa sedang meriah ide dan impian-impian muluk meski lakon feodalisme dan kolonialisme masih dipergelarkan.
Puluhan jenis pekerjaan diceritakan Ranggawarsita: jaksa, guru, penjahit, pedagang, penari, dalang, dan lurah. Keinginan orang mendapatkan duit pun dicapai dengan pelbagai cara menghasilkan sebutan turut diceritakan di Serat Jayengbaya: perampok, pengemis, dan judi. Semua jenis pekerjaan memiliki risiko: tenar, sakti, bahagia, dosa, luka, malu, gila, dan kematian. Kitab bercerita pekerjaan itu dokumentatif meski jarang digunakan dalam mengulas sejarah kemunculan dan kepunahan sekian pekerjaan di Jawa, dari masa ke masa.
Kita tak bakal menemukan Serat Jayengbaya dalam dua buku babon berjudul Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (1981) oleh Clifford Geertz dan Kebudayaan Jawa (1984) oleh Koentjaraningrat. Penjelasan mengenai perbedaan status sosial di Jawa berkaitan ekonomi, pendidikan, religiositas, politik, dan etika di dua buku itu tak menggunakan Serat Jayengbaya sebagai referensi.
Album pekerjaan sempat terlupa sampai pembaca membuka buku berjudul Profesi Wong Cilik susunan Iman Budhi Santosa. Buku berisi ulasan dan pengisahan belasan jenis pekerjaan dicap tradisional. Pengecapan terasa meragukan jika melulu dilawankan dengan pekerjaan-pekerjaan berbekal ijazah pendidikan tinggi dan gaji. Pemetik teh, pemikat perkutut, juru kunci, pemanjat kelapa, tukang cukur, penggali sumur, bakul jamu gendong, pandai besi, dan jagal sapi dianggap tradisional berlatar peradaban di Jawa abad XX. Pembenaran ”tradisional” dijelaskan sikap batin, makna rezeki, dan tata etika di Jawa.
Pekerjaan-pekerjaan itu tergolongkan kasar dan sulit menjadikan orang berlimpahan duit. Iman Budhi Santosa tak pula menggunakan Serat Jayengbaya untuk referensi dalam mengerti kesejarahan dan pemaknaan pekerjaan di Jawa sejak abad XIX sampai memberi pengaruh pada abad XX dan XXI. Buku itu memang tak dimaksudkan sebagai gubahan novel atau puisi panjang, tetapi esai-esai berisi pengalaman perjalanan, percakapan, biografi, dan secuil lacakan kepustakaan. Pembaca mungkin bisa menempatkan Profesi Wong Cilik di turunan prosaik pendokumentasian pekerjaan di Jawa.
Pilihan kata profesi dalam penjudulan buku agak membuat penasaran. Profesi itu lazim disamakan pekerjaan, pagawean, atau mata pencarian. Pelbagai sebutan memiliki taraf makna dan ejawantah berbeda di Jawa. Di buku susunan Iman, profesi dipilih untuk judul meski agak mengacaukan pengertian raga, batin, tempat, dan waktu di Jawa. Profesi termasuk sebutan mutakhir. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) belum memuat lema profesi.
Pilihan sebutan profesi memang mengarah pada keahlian dan ketekunan jika kita membuka kamus-kamus terbaru.
Pijakan rohani
Iman memiliki penjelasan: ”Pelbagai bentuk pekerjaan tradisional di masa lalu terasa mengandung jalinan-jalinan unsur nilai spiritualisme dan profesionalisme yang menjadi landasan atau pijakan jiwa (rohani) pelakunya.” Pekerjaan atau profesi di Jawa memiliki patokan kerohanian, tak melulu mencari duit dan ketenaran. Pemaknaan pekerjaan bersandarkan agama, adat, mitos, falsafah, dan ajaran pujangga. Setiap jenis pekerjaan memiliki tata cara dan kaidah untuk dipatuhi demi rezeki, keselamatan, dan kebahagiaan. Pelanggaran bakal menghasilkan petaka, malu, pertengkaran, kesombongan, dan sakit.
Pekerjaan atau pagawean di kalangan wong cilik memiliki kaidah-kaidah terwariskan tanpa harus ditulis dalam dokumen bertanda tangan dan berstempel, seperti pekerjaan-pekerjaan ”baru”. Iman mencatat pengakuan pemikat perkutut bernama Hanafi. Pekerjaan itu memiliki batasan dan keberterimaan. Si pemikat perkutut harus mengetahui dulu seluk-beluk perkutut. Pemikat dianjurkan ”harus bisa menjadi perkutut”. Pengandaian agar pekerjaan selaras dengan situasi dan kemauan alam, menjauhkan pamrih mengeduk keuntungan berlebihan dari alam. Pakem itu menjadikan pekerjaan berlangsung wajar untuk mendapatkan nafkah bernaungkan slamet dan bahagia.
Pekerjaan yang mungkin cepat tergantikan oleh teknologi adalah penggali sumur. Di mata Iman, pekerjaan itu memerlukan ketulusan, tekad, keberanian, dan kebersahajaan. Di kampung dan kota, penggali sumur tentu sulit bersaing dengan penggunaan pompa listrik atau pelanggan air dari PDAM. Biografi penggali sumur masih ada, pantas dicatat, dan memberi percikan hikmah. Di Jawa, selama ratusan tahun, orang cenderung memilih membuat sumur untuk mendapatkan air bersih. Pengambilan air dengan menimba menampilkan adegan raga berharap mendapat air bersih, segar, dan berkhasiat. Cara lawas itu dipengaruhi ”ilmu” penggali sumur dalam menentukan lokasi dan cara penggalian.
Jumeno, penggali sumur di Madiun, mengakui melakukan penggalian sumur menurut ajaran leluhur: belajar pada gangsir. Binatang itu membuat rumah dalam tanah, menandai lokasi tepat untuk sumur berlimpahan air.
Penggali sumur pun memiliki laku spiritual, tak sembarangan melakukan penggalian tanpa memperhitungkan waktu, situasi batin, dan petunjuk alam. Dulu, penggalian sumur lazim diawali slametan dengan sesajen. Dalam percakapan dengan para penggali sumur, Iman menemukan tata cara pokok mereka adalah berdoa sebelum raga bergerak menemukan air di kedalaman tanah. Pengabaian kaidah membuat si penggali sumur gagal mengetahui kualitas tanah dan gas beracun.
Sesuai profesi
Pembatasan kerja dan pemerolehan rezeki juga dimiliki para pandai besi. Pekerjaan itu ingin memenuhi keperluan bagi petani dan keluarga. Mereka menolak permintaan membuat senjata. Pandai besi memilih membuat alat-alat pertanian dan dapur ketimbang membuat senjata. Mereka berdalih pembuatan senjata berupa keris, pedang, atau tombak adalah tugas para empu. Pekerjaan menempa besi dilandasi falsafah api, besi, dan raga. Pandai besi itu pekerjaan tak mutlak raga, tetapi mengacu pula ke kekuatan batin dan keinsafan atas rezeki.
Iman Budhi Santosa telah mengisahkan dan menjelaskan kepada pembaca saat tersadar masih ada pekerjaan- pekerjaan di luar pilihan bursa kerja sering diselenggarakan kampus dan pemerintah. Pekerjaan-pekerjaan berpatokan batin ketimbang bergantung pada teknologi dan nalar mutakhir. Begitu.
Bandung Mawardi, Kuncen Bilik Literasi