Membongkar Ketimpangan Struktur Agraria
Judul : Perspektif Agraria Kritis: Teori, Kebijakan, dan Kajian Empiris
Penulis: Mohamad Shohibuddin
Penerbit: STPN Press
Tahun Terbit: Cetakan ke I, 2018
Tebal: lxiv + 233 halaman
ISBN: 6027894369
Sasaran akhir yang dibayangkan oleh perspektif agraria kritis adalah suatu kondisi ideal tata pengurusan agraria yang ditandai dengan struktur agraria yang adil, hubungan produksi dan distribusi surplus yang setara, serta ekosistem yang lestari.
Buku ini istimewa meskipun Shohibuddin dengan kesahajaan laku hidupnya sebagai akademisi-santri memosisikan (hanya) sebagai buku pengantar sederhana yang berupa kapita selekta agraria dasar. Keistimewaan itu terlihat dari kemampuan Shohibuddin menjelaskan hal-ihwal agraria yang kompleks-rumit menjadi mengalir-sederhana dan mudah dipahami khalayak umum tanpa terjebak pada simplifikasi, bahkan pengabaian realitas.
Shohibuddin tegas memilih istilah sumber-sumber agraria (SSA) ketimbang sumber daya alam (SDA) untuk menghindari jebakan komodifikasi obyek agraria (komoditas). Begitu halnya dengan pemilihan istilah tata pengurusan ketimbang tata kelola dalam memaknai governance.
Selain pengalaman selama ”nyantri” di padepokan agraria Mazhab Bogor, khazanah intelektual Shohibuddin bersumber dari para begawan agraria-perdesaan dunia, yakni White (2011), Bernstein (2010), dan Borras (2009).
Perspektif kritis
Ada tiga hal dasar yang dibongkar secara kritis dalam buku ini, yaitu soal dinamika subyek agraria/aktor (agensi), obyek agraria/sumber-sumber agraria (SSA), dan tata pengurusan agraria (governance).
Dalam pandangan Shohibuddin, Perspektif Agraria Kritis (PAK) adalah pendekatan yang bercorak interdisipliner dan komparatif dalam memandang SSA, relasi sosial dan relasi teknis agraria, serta tata pengurusannya yang berupa kebijakan ataupun dinamika sosial. Secara aksiologis pendekatan itu bertujuan untuk mengupayakan terwujudnya keadilan sosial, kesetaraan ekonomi, dan keberlanjutan ekologis (hlm 6).
Dimulai dari pembongkaran atas relasi manusia dengan manusia lainnya (relasi sosial agraria) terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria (relasi teknis agraria), Shohibuddin memetakan empat pokok persoalan agraria.
Pertama, ketidakpastian (insecurity) di dalam penguasaan dan pemilikan SSA; kedua, ketimpangan (inequality) di dalam penguasaan dan pemilikan SSA; ketiga, ketidakadilan (unfairness) di dalam hubungan dan distribusi surplus; dan keempat, ketidakpastian, ketimpangan, dan ketidaksesuaian di dalam alokasi ruang dan pendayagunaan SSA (hlm 21).
Berdasarkan data resmi hasil Sensus Pertanian 2003 dan 2013, dalam kurun 10 tahun, jumlah rumah tangga petani mengalami penurunan sebesar 5 juta, dari 31 juta menjadi 26 juta, yang didominasi golongan petani gurem (53,75 persen), yang mengusahakan lahan di bawah 0,1 hektar. Fenomena ini menunjukkan bahwa telah terjadi proses terlemparnya petani dari kegiatan pertanian (depeasantization) pada golongan petani lapisan bawah.
Di sisi lain, ekspansi kapital besar via perkebunan monokultur dan usaha ekstraktif SSA lainnya, seperti pertambangan serta pembangunan infrastruktur, terus bergerak mencari lahan dan berhadap-hadapan dengan sistem tenurial dan penghidupan (livelihood) lokal.
Desa dan petani adalah suatu entitas sosial yang paling terdampak atas peristiwa ekspansi dan akumulasi kapital itu. Lihat saja realitas di perdesaan, konflik agraria meletus di sana-sini, seperti di Pegunungan Kendeng, Tumpang Pitu, dan beberapa wilayah lainnya di sekitar perkebunan kelapa sawit dan tambang batubara.
Jika meresapi permasalahan yang dikemukakan oleh Shohibuddin, juga realitas perdesaan saat ini, seolah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia masih jauh panggang dari api. Reforma Agraria yang digadang-gadang mampu menjadi kekuatan perombakan struktural atas ketimpangan struktur agraria mengalami penyempitan makna (sekadar bagi-bagi tanah) dan rentan masuk dalam jebakan legalisasi aset an sich.
Reforma Agraria mengalami desakralisasi, distribusi, dan redistribusi lahan belum paripurna. Berlangsung juga fenomena rekonsentrasi aset karena ”reforma akses”, seperti dukungan modal, sarana produksi, sarana pertanian, hingga pemasaran, belum terbangun dengan baik.
Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), yang diharapkan mampu mendorong lahirnya ”Desa Inklusif Agraria”, ternyata memiliki sisi gelap lain.
Kewenangan desa disalahgunakan oleh ”penguasa” desa. Sebagai contoh kasus tewasnya Salim Kancil di Desa Selok Awar-awar, Lumajang, Jawa Timur.
Kasus itu menunjukkan bahwa akses warga desa terhadap SSA yang telah dijamin UU Desa ternyata belum berhasil dilakukan. Sebaliknya, menguatnya kewenangan desa diartikan sebagai menguatnya wewenang ”penguasa” desa untuk mengeksklusi pihak lain. Inklusi dan eksklusi seperti dua sisi mata uang yang keduanya bisa terjadi bersamaan.
Ada dua topik menarik yang juga dibahas dalam buku ini, yaitu kasus konflik di Aceh dan posisi politik agraria Nahdlatul Ulama (NU). Meskipun topik tersebut terkesan hadir ”tiba-tiba”, ini bukan karena Shohibuddin adalah seorang santri. Justru inilah wujud universalitas PAK sebagai suatu pendekatan analitik.
Melalui PAK persoalan konflik di Aceh ternyata berhasil dijelaskan dengan analisis ketimpangan struktur agraria sejak era kolonial hingga setelah kemerdekaan, yang sebelumnya ditandai dengan sentralisasi tata pengurusan SSA hingga era desentralisasi. Dengan demikian, apabila hendak menyelesaikan persoalan konflik di Aceh, selesaikan dahulu masalah ketimpangan struktur agraria.
Kemampuan PAK dalam memberikan kerangka analisis konseptual juga digunakan penulis untuk memotret sepak terjang NU dalam politik agraria. Dengan melompat ke masa lalu untuk menjelaskan bagaimana isu land reform yang sempat mendapat fatwa haram secara perlahan mendapat dukungan NU hingga kini.
Pada akhirnya, kekurangan-kekurangan ragam contoh realitas yang disajikan dalam buku ini, seperti narasi agraria dan perempuan (gender), perlu dilengkapi. Namun, hal itu bisa dipandang sebagai bentuk undangan dari Shohibuddin kepada pegiat agraria dan khalayak umum untuk meneruskan koreksi sosial di republik ini. Tentu dengan menggunakan PAK sebagai pendekatan.
Patut diakui bahwa saat ini masih terjadi ”agrarian blind spot” di berbagai bidang ilmu dan sektor pembangunan. Maka, PAK yang digagas dalam buku ini dapat menjadi panduan generik dan bisa dipakai untuk membuka mata agar tidak sekadar ”melek agraria”, tetapi juga ”peduli agraria”. Sebab, agraria bukan sekadar tanah, melainkan juga soal peri kehidupan umat manusia.
Bayu Eka Yulian, Peneliti, Pusat Studi Agraria IPB.