Beberapa tahun belakangan, pemerintah giat melakukan redistribusi tanah, termasuk kawasan hutan, dalam rangka pelaksanaan kebijakan reforma agraria. Upaya itu untuk menjaga ketersediaan pangan dan produktivitas petani, serta menurunkan tekanan petani yang tidak memiliki tanah atau petani penggarap skala kecil di beberapa daerah di Jawa dan Sumatera. Tanah hutan, milik orang dengan sistem kepemilikan informal, diberikan kepada petani penggarap yang telah lama mengerjakan tanah dengan sistem tradisional campuran.
Masalahnya apakah sistem kepemilikan privat/individual dalam proses redistribusi tanah itu bisa dinilai sebagai sistem kepemilikan yang tepat. Buku Inklusi, Eksklusi dan Perubahan Agraria: Redistribusi Tanah Kawasan Hutan di Indonesia (STPN Press, 2017) yang merupakan hasil penelitian disertasi Martua T Sirait menelaah dua kasus redistribusi tanah (hutan) negara di kawasan Garut dan Lampung.
Sirait menganalisis perubahan struktur agraria di dua kawasan yang memiliki konteks sosial dan historis yang berbeda, 8-10 tahun setelah terjadi redistribusi tanah kepada petani setempat. Hasil penelitian memperlihatkan redistribusi tanah ini tidak berhasil bagi kelompok petani ekonomi gurem. Hanya dalam hitungan beberapa tahun setelah program ini dijalankan, mereka kehilangan tanah dan kembali tak memiliki tanah.
Mereka yang mampu mempertahankan tanah hanya beberapa petani pekerja keras dan memiliki penghasilan di luar pertanian. Redistribusi dan soal kepemilikan tanah individual ini ternyata hanya berlaku bagi rumah tangga petani kaya, para tuan tanah, dan pemillik tanah absentee yang tinggal di kota. (RPS/Litbang Kompas)
Hukum Agraria Bukan Hukum Tanah
Masalah agraria yang dihadapi Indonesia sekarang ini terbilang pelik dan kompleks. Selain terjadinya berbagai perubahan fungsi dan kebutuhan masyarakat dan dunia industri akan tanah, bertambahnya jumlah penduduk dan kondisi Peraturan Perundang-undangan Agraria Indonesia yang dinilai sudah tidak sesuai zaman juga menambah rumit permasalahan.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960, yang menjadi rujukan bagi peraturan perundangan dalam perkembangannya, merunut sejarah hukum agraria, mengalami reduksi. UUPA 1960 tidak lagi menjadi payung hukum bagi ”bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam”, tetapi hanya menjadi peraturan hukum tentang tanah saja.
Masalah itu terungkap dalam buku Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia (Huma-Van Vollenhoven Institute-KITLV, 2010) yang disunting Myrna A Safitri dan Tristam Moeliono. Buku ini merupakan kumpulan makalah para peneliti Indonesia, Australia, dan Belanda yang tergabung dalam proyek kerja sama penelitian Indonesia-Belanda pada 2007.
Para penulis mempresentasikan hasil kajian mereka tentang penafsiran dan pelaksanakan hukum agraria. Salah satu temuan mereka, munculnya berbagai masalah terkait hukum agraria yang kian rumit dalam era otonomi daerah. Terjadi tumpang-tindih soal kewenangan mengatur dan mengelola kekayaan alam antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Benang merah penelitian ini adalah persoalan dan analisis sosio-legal penguasaan tanah dan kekayaan alam, baik di perdesaan maupun di perkotaan yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah masa silam. (RPS/Litbang Kompas)