Senja Kala Bissu
Judul: Tiba Sebelum Berangkat
Penulis : Faisal Oddang
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : I, 2018
Tebal : vi, 215 halaman
ISBN : 9786024243517
Ketika Puang Matoa Saidi meninggal dunia pada pertengahan 2011, nasib para bissu, komunitas pendeta wadam sisa peradaban Bugis kuno, mengalami guncangan. Meski kemudian Puang Upe disebut sebagai pengganti pemimpin komunitas bissu di Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan, yang juga tak lama kemudian berpulang, bissu kian terang menuju ke kurun senja kala.
Setelah karya HJ Fredericy, Sang Jenderal (1991), agaknya hanya novel Tiba Sebelum Berangkat (TSB) karya Faisal Oddang (KPG, 2018) yang membahas kehidupan bissu. Kedua karya ini terpisah nyaris tiga puluh tahun. Sang Jenderal menceritakan tentang bissu sebagai bagian kehidupan kerajaan, masa ketika Fredericy bertugas sebagai ambtenaar yang bertugas di jazirah selatan Sulawesi pada paruh pertama abad ke-20; sedangkan dalam TSB, hayat bissu menjadi narasi utama.
TSB membentangkan kisah bissu yang lebih mutakhir. Narasinya bermula dari awal dekade 1950 sampai sekarang ketika Anda membacanya. Latar novel ini menceritakan konflik TNI-DI/TII pada pertengahan abad ke-20, yang merupakan salah satu latar utama di Sulawesi Selatan. Di dalam hikayat ini, kita bisa merasakan bagaimana masyarakat mengalami keterbelahan dalam kisruh ini.
Tokoh utama TSB, Mapata, diletakkan dalam latar sebagai anggota komunitas bissu, toboto (pendamping) Puang Matoa Rusmi. Cerita novel ini seperti menegaskan sederet tantangan yang dihadapi bissu selama ini.
Sejak dulu, bissu mengalami gerusan, setidaknya, begitu terbit fajar abad ke-20 hingga sekarang. Ketika kerajaan memudar dan hilang tatkala sistem negara diperkenalkan, perlindungan dan penguatan bissu secara karisma maupun segi ekonomi turut meredup. Itu ditambah semangat gerakan DI/TII yang ingin ”memurnikan” agama—bahkan terjadi hingga sekarang oleh kelompok-kelompok agama—hingga perubahan pandangan masyarakat terkait nilai tradisional yang berlangsung sampai sekarang. Belum lagi politik antaraktor di dalam komunitas.
Lapis dan keterbelahan
Kisah Mapata dalam cerita 213 halaman ini berjalinan dengan pengkhianatan, air mata, penyiksaan, dendam, kematian, amarah, dan cerita cinta yang muram. Mapata dikisahkan berada di ruang penyekapan oleh kelompok yang dipimpin oleh Ali Baba, ”pria bergamis hitam, gemuk, jangkung, berkumis, berjanggut, dan cambangnya membentuk setengah lingkaran di wajah”-nya (hal 5). Mapata menunggu anggota tubuhnya ditanggalkan satu per satu sebelum dijual oleh kelompok penyekap tersebut.
Mapata adalah tokoh yang dibungkam berlapis. Ia nyaris tanpa perlawanan. Mapata diculik dan disekap di lokasi tersembunyi.
Lidahnya pun dipotong. Ia hanya bisa bercakap dengan menulis (hal 14). Cara ia berbincang dengan para penahannya di sekujur novel hanya menggunakan kertas dan tulisan, kecuali (tentu saja) obrolan Mapata pada masa-masa sebelum disekap.
Metode Faisal Oddang ”menyiksa” Mapata rupanya banyak gunanya. Hasil pembacaan awal saya: lidah Mapata dipotong, yang pada sebelum akhir cerita, terkesan seperti siasat penulis untuk menyampaikan runutan latar novel dalam catatan akademis tentang sejarah Sulawesi Selatan dan bissu. Namun, pada seperempat cerita akhirnya justru ”potong lidah” itu sangat masuk akal (biarlah pembaca memburunya atas apa yang saya maksud).
Tokoh Mapata dalam cerita ini mengalami keterbelahan diri: antara jiwa perempuan dan identitas laki-laki. Namun, kisah kanak-kanak Mapata yang meminta empati kita akan menjelaskan penyebab keterbelahan ini.
Tatkala melintas kabar bahwa novel ini berlatar sejarah sengketa DI/TII-TNI, muncul pertanyaan saya sebelum membaca. Bagaimana Faisal Oddang mengolah materi sejarah menjadi latar yang ciamik? Harus saya akui, Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari masih menjadi novel ideal bagi saya untuk menjawab pertanyaan soal bagaimana latar sejarah diramu menjadi bahan menarik. Apakah bisa menyamai atau mendekati cara Ahmad Tohari?
Antara Seno dan Tohari
Ketika menelusuri halaman per halaman TSB, hasil pindaian saya mengesankan bahwa formula Seno Gumira Ajidarma saat memasukkan kesaksian dan laporan jurnalistik tentang rentetan kejadian Insiden Dili, Timor Timur, dalam cerita-cerita pada Jazz, Parfum, dan Insiden bisa tercium dalam novel ini.
Seno memasukkan reportase jurnalis yang harus tercampak di keranjang sampah meja penyuntingan media-media di zaman Orde Baru (lih. Ajidarma, 2005:140-162), sementara Faisal memasukkan karya-karya ilmiah tentang bissu atau yang berkisah sejarah Indonesia pertengahan abad ke-20.
Sekurang-kurangnya ada lima buku yang Faisal sebut dalam teks TSB, yakni Pemberontakan Kahar Muzakkar dari Tradisi ke DI/TII; Tradition, Islam and Rebellion: South Sulawesi 1950-1965; Bissu: Pergulatan & Perannya di Masyarakat Bugis; Peristiwa Sulawesi Selatan 1950; Kekerasan Budaya Pasca 1965; dan Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar.
Mari bersetuju dengan Seno ihwal bentangan kemungkinan yang ditawarkan oleh sastra, ”ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara”. Hal itu tampak dalam beberapa bagian buku, antara lain mengenai bisik-bisik tentang komunitas bissu soal bagaimana orientasi seks mereka dirinci oleh Faisal (hal 93); persoalan reklamasi Pantai Losari Makassar (hal 149) yang disoroti banyak kalangan; sampai percobaan memasukkan paham komunisme sebagai landasan gerak DI/TII (hal 111-113).
Ketiga hal itu makin mengukuhkan bagaimana cerita (story) lebih leluasa merinci ketimbang tuturan sejarah (history). Saya baru saja mendengar cerita yang disebut sekilas di halaman 113.
Novel ini mengisi ruang yang sudah lama kosong dalam karya sastra yang berlatar sejarah Sulawesi Selatan. Karya Faisal Oddang ini terbit setelah tujuh tahun rilisnya Perang Makassar 1669: Prahara Benteng Somba Opu karya SM Noor (Penerbit Buku Kompas, 2011) dan nyaris tiga puluh tahun setelah keduanya pun cukup berjarak tahun dari Sang Penasihat (1990) dan Sang Jenderal (1991) karya Fredericy.
Tampaknya Faisal Oddang berhasil menyuguhkan hidangan cerita yang lama ditunggu tentang khazanah sejarah seperti ini. Ia mengingatkan kita pada Ahmad Tohari, tentu dengan cara yang berbeda.
*Anwar ”Jimpe” Rachman Penulis dan Pustakawan Kampung Buku, Makassar