Pada periode 1960-1990, industri musik Indonesia tumbuh dan berkembang dalam dua iklim politik berbeda. Pada masa Demokrasi Terpimpin, narasi penguatan identitas nasional dan penolakan pengaruh musik Barat berdampak positif pada pengembangan musik daerah. Namun, kebijakan itu tak banyak memberi kontribusi berarti secara ekonomi. Sebaliknya, pada masa Orde Baru kebijakan industri musik lebih terbuka terhadap pengaruh musik populer dari Barat sehingga jenis musik pop, jazz, dan rock dapat semakin populer. Pada era Orde Baru, industri musik di Tanah Air mulai berkembang, juga secara ekonomi.
Cikal bakal perkembangan industri musik Indonesia selama tiga dekade dibahas dalam buku Industri Musik Indonesia: Suatu Sejarah (Koperasi Ilmu Pengetahuan Sosial, 2009). Selain menunjukkan unsur-unsur penting yang berperan dalam menggerakkan industri musik Indonesia, seperti kebijakan politik dan media massa, buku ini juga mengulas fenomena-fenomena menarik para pelaku industri musik dalam mengarungi dua rezim berbeda.
Fenomena perkembangan musik rock menjadi catatan khusus. Sempat terpuruk karena termasuk dalam genre musik yang dilarang pada era Soekarno, musik rock menemukan momentum kebangkitan di era Soeharto. Awalnya, musisi rock Indonesia hanya memainkan ulang lagu-lagu musisi rock Barat. Lambat laun mereka menggubah lagu sendiri. Pada 1980-an, musik rock benar-benar menunjukkan kebangkitannya. Album Jarum Neraka dan Tangan-Tangan Setan milik Nicky Astria, misalnya, terjual hingga ratusan ribu kaset. Kesuksesan Nicky kemudian disusul Atiek CB, Ikang Fauzi, hingga God Bless. (AEP/LITBANG KOMPAS)
Dari ”Gramophone” ke ”Ringback Tone”
Industri musik Indonesia diyakini lahir pada masa pendudukan Belanda. Hal itu dibuktikan lewat catatan ”Columbia Electric Recording” yang menunjukkan sejumlah kegiatan rekaman suara di Jawa pada 1920-an. Kala itu, produksi lagu direkam pada piringan hitam (PH) yang dapat dimainkan oleh mesin pemutar suara gramophone (gramofon). Perkembangan teknologi kemudian mengubah medium penghantar suara itu ke dalam bentuk kaset, compact disc (CD), hingga ringback tone (RBT).
Kemunculan kaset pada 1960-an menjadi salah satu pelesat industri musik Indonesia. Jika penjualan PH paling banyak hanya berkisar belasan ribu buah, penjualan kaset mampu menembus angka fantastis. Album Semut Hitam milik grup rock God Bless, misalnya, terjual sekitar 400.000 kaset. Bahkan, pada 2001 album Ningrat milik grup rock Jamrud terjual hingga dua juta kaset.
Hanya beberapa penyanyi atau grup yang penjualan kasetnya mampu mencapai ratusan ribu atau jutaan keping. Dari situ terlihat betapa genre musik rock memiliki segmen pasar yang begitu besar.
Dominasi kaset perlahan menghilang karena kehadiran medium digital seperti CD dan RBT. Namun, industri musik tetap berdegup kencang. Omzet RBT pernah mencapai Rp 10,5 miliar hanya dalam tempo lima bulan. Catatan panjang perjalanan industri musik Indonesia itu tertuang dalam buku Rock ’n Roll Industri Musik Indonesia: Dari Analog ke Digital (Penerbit Buku Kompas, 2013). Ditulis oleh wartawan musik Theodore KS, buku ini tidak hanya mengulas sisi industri dan pelaku sejarah musik, tetapi juga sisi kelam industri musik Indonesia: pembajakan. (AEP/LITBANG KOMPAS)