Ruang Raung Rock
Judul Buku : Ekonomi Politik Musik Rock: Refleksi Kritis Gaya Hidup
Penulis : Abdullah Sumrahadi
Penerbit : LP3ES
Cetakan : I, 2017
Tebal : xi + 184 halaman
ISBN : 978-602-7984-29-5
Selama ini musik rock sering dicap sebagai musik berisik. Citra para rocker, sebutan untuk musisi rock, kerap disebangunkan dengan kriminalitas, narkoba, dan gaya hidup bebas. Padahal, takrif asali rock tidak serongsok itu. Rock sejatinya adalah musik multirupa. Sebaris kesan miring tentangnya tentu tidak mewakili kemultirupaannya.
Menurut Abdullah Sumrahadi, penulis buku ini, rock pada dasarnya lebih dari sekadar musik. Di balik raung musik rock yang memekakkan telinga, ternyata ada ruang berisi bait-bait lirik pembincang sejarah dan arsitektur bangunan kebudayaan masyarakat modern dunia.
Usia rock masih terbilang belia. Istilah ”rock”, kata Yvetta Kajanova dalam On the History of Rock Music (2010: 15), pada awalnya memang berhubungan dengan simbol seks, hiburan yang berisik, dan pencarian jalan musikal baru. Kata ”rock” sendiri muncul pertama kali pada 1940-an melalui lagu ”Good Rockin’ Tonight” dari Roy Brown (1947), ”All She Wants To Do Is Rock” dari Wynonie Harris (1949), ”Rockin’ with Red” dari Piano Red (1950), dan ”Rock Me All Night Long” dari The Ravens (1952).
Di Amerika Serikat, musik rock baru berdenyut pada 1950-an. Berserentak dengan lagu ”Rocket ’88”-nya Jackie Brenston (1951), ”Rock Around the Clock” dari Bill Haley (1954), dan ”Heartbreak Hotel” Elvis Presley (1956). Adapun di Inggris, rock membersit sekitar lima tahun kemudian. Namun, dari negeri The Beatles itulah pada 1960-an rock menggebrak dunia. The Beatles sendiri menjadi teladan pembiakan rock dan musik populer di Eropa dan Amerika.
Tak hanya itu, John Lennon dan tiga rekannya juga ikut menilaskan jejak kultural khas ”Barat” ke dalam kebudayaan masyarakat dunia.
Di samping The Beatles, ada banyak grup musik rock sezaman lain yang ikut menggeliatkan rock. Di antaranya The Doors, The Rolling Stones, The Who, dan Led Zeppelin. Pada warsa 1980-1990-an, kebisingan rock diperkeras oleh Metallica, The Cure, Black Sabbath, Guns and Roses, Red Hot Chili Peppers, dan Dream Theatre. Di era 1990-an, rock berkibar bersama nama besar, seperti Nirvana, Pearl Jam, Soundgarden, Rage Against the Machine, dan Linkin Park. Sampai zaman milenial ini, rock terus menapasi tubuh musik masyarakat dunia.
Di Indonesia, rock hadir menjelang 1960 melalui ”angin Barat” yang menerpa negeri-negeri Asia. Anak-anak muda Indonesia menyambut rock dengan gegap gempita. Koes Bersaudara yang kelak lebih dikenal dengan Koes Plus lahir di zaman ini. Malangnya, rock saat itu dilarang oleh Soekarno. Baru pada masa kekuasaan Soeharto, rock dikaruniai panggung utama. Sampai-sampai pihak militer pun membentuk Orkes Badan Koordinasi Seni Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (BKS-Kostrad). Mereka berkeliling Indonesia untuk mementaskan rock dan jenis-jenis musik yang diharamkan pada masa Soekarno (hlm 27-28).
Perumusan kebudayaan
Sejak awal, rock ditakdirkan untuk lahir sebagai arsip sosiologis. Mendengarkan rock sama halnya dengan membaca dokumen perubahan sosial-budaya dunia. Rock di Indonesia tidak jauh berspasi dari kaidah ini. Kendati berlanggam ”tiruan Barat”, ia mengandung berlipat-lipat dimensi lokal. Satu di antaranya adalah catatan tentang upaya perumusan kebudayaan Indonesia modern dalam narasi pertemuan kebudayaan Barat-global dan Timur-lokal.
Kisah pelarangan rock di zaman Orde Lama merupakan pintu masuk untuk melisankan perkara ini. Saat itu, Soekarno menuduh rock sebagai kuda tunggangan kebudayaan Barat yang ditengarai akan menubruk kebudayaan ”asli” Indonesia.
Ia lantas membenamkan rock—yang ia juluki musik ngak-ngik-ngok itu—dengan retorika antikolonialisme. Di zaman Orde Baru, rock memang dihalalkan oleh Soeharto. Namun, siasat musikal itu tidak lantas berarti bahwa di sana tersimpan berkantong-kantong darah atas nama amal perumusan kebudayaan Indonesia. Soalnya, rock hanya dilantik sebagai komoditas utama dalam politik bisnis hiburan dan industri budaya (hlm 44-45).
Buntutnya, kebudayaan Indonesia, khususnya dalam bidang musik, gagal dirumuskan. Musisi rock Indonesia kurang lihai mendefinisikan ”musik Barat”, ”musik Timur”, dan ”musik global”. Fakta ini bisa ditemukan dalam album The Beast (1992) milik Edane, grup rock papan atas Indonesia.
Meski di kata pengantar album itu Edane menyatakan keinginan untuk meruntuhkan sekat-sekat Timur dan Barat dalam musik, ternyata tidak ada tanda-tanda keruntuhan sekat di sana. Semua lirik lagu Edane bahkan ditulis dalam bahasa Inggris. Tidak salah jika album itu ”cuma” dipindai oleh Sumrahadi sebagai rekaman musik Barat yang dimainkan dengan model komposisi ala Indonesia (hlm 101-103).
Selain itu, dalam hubungannya dengan kekuasaan, rock di Indonesia justru tampil menerkam dengan kritik dan protes. Terhitung sejak 1970-1990-an, tercatat nama-nama besar macam God Bless, Giant Step, Super Kid, AKA/SAS, Bentoel, Iwan Fals, Slank, Pas Band, Boomerang, Koil, dan Jamrud, rajin dan rutin mericuhkan ruang dengar Soeharto dan rezimnya. Mereka tidak berhenti melesatkan serangan lewat lagu-lagu yang dinyanyikan, gaya hidup yang dijalankan, serta aksi panggung yang dipertunjukkan.
Bukan korban
Selain sebagai pembantah silap netra atas rock, buku ini juga berperan sebagai pelopor kajian sosiologi musik di Indonesia. Sumrahadi membabar peta teoretis kajian langka ini dalam bab-bab ”Menuju Sosiologi Musik”, ”Musik Rock dalam Studi Sosiologi dan Distansiasi Hermeneutika”, dan ”Invitasi bagi Refleksi Transformatif”.
Praktik analisisnya ia bentangkan dalam bab ”Musik Rock, Kuasa Negara, dan Industri Budaya Populer”. Adapun perspektif emansipatorisnya tidak alpa ia sertakan dalam bab ”Kritik Musik Rock dan Potensi Perubahan Sosial”.
Sayangnya, Sumrahadi terlalu berbaik-sangka pada grup musik rock. Analisis ekonomi-politiknya memang menusuk pasal permainan modal dalam popularisasi rock. Namun, ia cuma melirik grup musik rock sebagai korban.
Padahal, sejak awal mereka telah menceburkan diri ke dalam nalar ekonomi dunia musik rock. Dari kalangan para punggawa rock, hal ini juga sering dikeluhkan, misalnya oleh Frank Zappa & The Mother of Invention. Melalui album We’re Only in It for the Money (1968), mereka menyindir polah komersial album Sgt Pepper’s Lonely Hearts Club Band-nya The Beatles.
Intinya, grup musik rock bukan korban pasar, melainkan pelaku. Mereka memang sering meneriakkan ideologi antikapitalisme. Namun, menurut Peter Wicke dalam Rock Music: Culture, Aesthetic, and Sociology (1995: 114), teriakan itu hanyalah ilusi.
Rock dan kapitalisme telah bersenyawa sejak subuh hari. Di Indonesia, beberapa grup musik rock besar malah rajin membintangi berbagai iklan komersial. Bukankah itu artinya kritik dan protes sosial dalam lagu dan laku grup musik rock itu hanya muslihat belaka?
M Yaser Arafat Dosen Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta