”Menolak Ayah”: Mempertanyakan Adat Batak
Judul: Menolak Ayah
Penulis: Ashadi Siregar
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan: I, 2018
Tebal: 434 halaman
ISBN: 978-602-424-864-2
Ini novel mengungkapkan dengan rinci pengetahuan etnografi tentang Batak. Latar belakangnya adalah pertentangan politik yang memuncak pada konflik bersenjata 1958, setelah para pembangkang pemerintah pusat membentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Lalu, ditutup dengan genosida 1965 yang menelan korban ratusan ribu manusia yang terbunuh.
Menolak Ayah adalah ABC mengenai etnis yang hidup di Danau Toba dan sekitarnya, dibawakan dengan populer dan sastrawi. Ini adalah juga novel tentang cinta dan pengkhianatan, tentang kesetiaan berhadap-hadapan dengan pendurhakaan. Yang dipersembahkan secara literer, melampaui sebuah teks etnografi yang garing, yang diantarkan dengan gaya bahasa dan ungkapan yang kaya. Pahit dan manis ada di sini.
Sebuah narasi sastra yang tidak hanya menggetarkan, tetapi juga memberikan asupan pada pikiran. Dia bukan sebuah armchair travelogue, catatan perjalanan berasyik masyuk dengan pemandangan alam danau kedua terbesar di dunia. Estetika alam yang elok nian....
Seperti hendak menyambut hipotesis tentang takdir sastra adalah membela korban, Ashadi Siregar menjatuhkan pilihan untuk menjunjung tinggi manusia-manusia yang dirundung pusaran nasib yang buruk. Dengan begitu, dia memaparkan secara rinci kejahatan yang dilakukan oleh subyek terkutuk dalam novel ini.
Pardomutua, nama yang dipilihkan amang-nya, dengan harapan membawa tuah, ternyata mengundang bencana. Dia menterbengkalaikan istri dan putra tunggalnya, Tondi. Jadi ”tukang timpé” istri orang hingga babak belur dihajar yang punya istri.
Hidup seperti di atas awan, bukannya di Balige, Tarutung, atau Siantar, tetapi di dataran jauh yang bernama Jakarta. Berkuasa dengan pangkat Brigadir Jenderal Angkatan Darat. Punya istri baru, cantik, putri Solo, dan anak-anak yang jelita. Dekat pula dengan Presiden Soekarno. Lelaki yang seharusnya memelihara harga diri marganya dilukiskan dengan karakter hitam legam.
Busuk melebihi Ciliwung. Pengkhianat tulen terhadap adat Batak yang semestinya dia junjung. Tongkat kebesaran adat Batak (tunggal panaluan) yang diwariskan ayah kepadanya, dia perlakukan seperti selonjor kayu lapuk yang tak lebih berharga dari pemukul anjing yang tak bersahabat. Digeletakkan di sudut rumah, menemukan kehinaannya di situ.
Istri sejatinya, Halia, yang disengsarakan, terdampar sebagai penjual pisang goreng di jembatan kereta api di Pematang Siantar. Sementara Tondi yang berusia 16 tahun gagal meneruskan sekolah dan coba mengubah nasib dengan jalan menjadi pendukung PRRI.
Namun, bukan kemenangan pemberontak yang dia bayangkan akan mengubah peruntungannya. Justru setelah PRRI bertekuk lutut, meletakkan senjata, jalan hidupnya dari kenek dan pemberontak menjadi pengusaha angkutan yang sukses di Jakarta. Tondi sadar, ayah kandungnya berada dekat jantungnya, di Ibu Kota. Namun, dia tak sudi menemuinya sampai pun novel ini ditutup.
Posisi seperti ”budak”
Setelah G30S meletus, Pardomutua ditangkap dengan tuduhan komunis. Koruptor pula! Saema ibana! Tamatlah dia, kata orang Batak. Istri dan tiga putrinya menjalani hidup yang tak pernah mereka bayangkan. Harta dan kehormatan ludes semua. Ada yang menjadi perempuan panggilan, jadi santapan birahi ilegal di hotel-hotel besar, ataupun yang esek-esek di Jakarta yang kusam ketika itu.
Ashadi Siregar mengutuk pengkhianatan, memuja korban. Terang dia tidak memihak kepada Brigadir Jenderal Angkatan Darat yang bangkrut total itu.
Bukan kepadanya simpati dia tumpahkan. Dapat disimpulkan dari halaman 417, ” …banyak istri orang-orang yang dituduh komunis menjadi korban nafsu tentara yang menginterogasinya.
Tentara mengambil kesempatan, bukan hanya menginterogasi orang yang ditahannya, tetapi juga mengintimidasi keluarganya. Alasannya untuk melengkapi informasi, tetapi tujuannya untuk memaksakan nafsu pada perempuan-perempuan yang tidak berdaya.
Apakah ibu dan anak-anaknya ini juga menanggungkan kenistaan itu? Betapa banyak keluarga-keluarga yang hancur seluruh kehidupannya saat Suharto menegakkan kekuasaannya.…”
Sejarah, tanah, dan adat Batak menghampar di sekujur novel ini. Ashadi Siregar menuliskannya dengan konstan bagai seorang guru yang sabar dan hormat pada detail.
Di satu titik, dia menukik pada segi kekerabatan yang kuat dari adat Batak, yang bermuara pada hubungan adat yang bernama Dalihan na Tolu. Dari sudut ini, dia beranjak melukiskan bagaimana pemimpin pemberontak PRRI, Kolonel Simbolon, ”memilih bersikap mengalah” untuk menghindari jatuhnya korban di kalangan penduduk yang masih terikat dalam kekerabatan adat Batak dan tak ikut campur dalam pertempuran pusat-daerah itu.
Namun, panggilan suci yang disambut sang pemimpin pemberontak itu pulalah yang menjadi awal bertekuknya Simbolon dan para pendukungnya. Pemerintah pusat memahami benar psikologi Batak tadi dan mengirimkan satuan Siliwangi dari Jawa Barat yang tak punya hambatan apa pun untuk membasmi keturunan Si Raja Batak yang sedang makar.
Ashadi Siregar tidak sedang mengelus-elus adat dari mana urat darahnya juga berasal. Dia hanya berkisah dengan sikap mirip seorang penutur yang netral.
Melalui pemaparannya, Ashadi Siregar agaknya telah membukakan pintu kesempatan untuk mempertanyakan moral sosial sistem kekerabatan Batak yang gagal memuliakan ”kesetaraan” anak manusia yang telah menjadi ”agama” di akhir zaman ini.
Pertanyaan yang, siapa tahu, akan didengar dengan takzim oleh debata di banua ginjang, (dewa) penguasa tertinggi dalam mitologi Batak.
Sebab, lihatlah, kaum perempuan dan anak mereka berada dalam posisi seperti ”budak”. Inang-inang membanting tulang di sawah dan ladang, sementara sang ayah bisa saja dengan asyik menghabiskan waktu sepanjang hari membual di pakter tuak. Inilah tatanan masyarakat dan norma hidup yang terus dijunjung dengan setia di Bona ni Pinasa, di kampung halaman.
Juga di lima benua, di mana orang-orang Batak yang ganteng dan cantik, pandai menyanyi, dan cerdas-cerdas itu bermukim, beranak pinak.
Dalam beberapa episode, Ashadi Siregar mengutip percakapan langsung bahasa Batak dengan huruf italik disusul penjelasan yang dengan tepat menerjemahkan apa yang dikutip. Lancar mengalir.
Lantas, mengapa harus ada ”Daftar Istilah” yang memakan tempat sampai 15 halaman? Mungkinkah ini semata-mata karena penerbit? Supaya terlihat keren? Bukankah dengan daftar istilah yang berjibun itu memberi kesan bahwa pembaca tidak sedang menikmati sebuah novel? Fiksi etnopolitik yang monumental ini? Novel yang selayaknya disambut dengan hangat sebagai karya yang berpijak pada adat, juga politik, dan menggetarkan sebagai narasi sastra. Horas ba….!
MARTIN ALEIDA, Penulis Cerita Pendek