Diperlukan sentuhan ilmu psikologi untuk mewujudkan Indonesia maju dan beretika di era yang terus berubah. Permasalahan hidup yang semakin kompleks mengakibatkan banyak orang mengalami permasalahan psikologis.
Sayangnya, ketersediaan psikolog terbilang kurang. Selain itu, masyarakat Indonesia juga memiliki kesadaran rendah terhadap kesehatan jiwa. Akibatnya, muncul apa yang disebut treatment gap atau perbedaan jumlah penderita gangguan jiwa dengan jumlah yang tertangani.
Permasalahan mengenai treatment gap merupakan salah satu dari topik yang dibahas dalam buku Psikologi untuk Indonesia Maju dan Beretika (Gadjah Mada University Press, 2018).
Buku seri kedua dari Seri Psikologi untuk Indonesia ini menyajikan pemikiran akademisi psikologi UGM. Pada bagian pertama memaparkan potret terkini terkait permasalahan-permasalahan psikologi di Indonesia.
Selain treatment gap, bangsa Indonesia memiliki permasalahan dalam rancangan pendidikan. Prestasi siswa Indonesia dikatakan tak kunjung meningkat dibanding anak seusia di sejumlah negara. Dari sini muncul pertanyaan, di manakah peran psikologi dalam pendidikan Indonesia?
Buku ini tidak hanya membahas masalah pendidikan, tetapi juga masalah sosial, ekonomi, dan politik. Salah satu kasus menarik tentang komunikasi di era digital. Seperti pengaruh SMS dan ”bahasa alay” (bahasa gaul) dalam kehidupan sosial.
Meski sepele, hal ini sering memicu masalah besar. Untuk itu, literasi kesehatan mental perlu digalakkan sejak dini. Tidak hanya di rumah, tetapi juga di sekolah, tempat kerja, dan dalam kehidupan bermasyarakat. (IGP/LITBANG KOMPAS)
Menyingkap Rahasia Sang Ayah
Tahun 1987-1988, Maarten Hidskes menempuh ujian akhir SMA di Belanda. Saat ujian sejarah, ia menghadapi soal tentang ”Belanda dan Hindia Belanda”. Dalam materi ujian itu, tercantum tentang peristiwa kekerasan yang terjadi di Sulawesi Selatan pada 1946 yang dilakukan pasukan khusus yang dipimpin Kapten Westerling dalam mengakhiri kerusuhan di daerah tersebut.
Kekejaman Westerling itu di kemudian hari tergolong kejahatan perang. Maarten mengetahui pada periode tersebut, ayahnya, Piet Hidskes, pernah bertugas di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan, sebagai anggota Pasukan Khusus, korps elite Pasukan Hindia-Belanda, di bawah komando Kapten Westerling. Maarten menyesal ketika semasa ayahnya hidup tidak pernah mempertanyakan soal pengalaman 12 minggu dalam kehidupan ayahnya di Sulawesi.
Tahun 1992, ketika Piet meninggal pada usia 69 tahun, dorongan keingintahuan Maarten semakin besar. Sebagai seorang jurnalis, ia lantas melakukan penelitian.
Ia telaah dokumen-dokumen laporan intelijen dan laporan politik tentang teror di Sulawesi, arsip pribadi pejabat Belanda, surat-surat yang dikirim ayahnya dari Hindia, dan laporan komisi penyidik. Ia juga melakukan wawancara dengan para veteran kolega ayahnya, anggota pasukan Westerling.
Penelitian yang memakan waktu 25 tahun itu dituangkan dalam buku Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya: Korban Metode Westerling di Sulawesi Selatan 1946-1947 (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2018). Ia berusaha mencari tahu apa dan bagaimana peristiwa Sulawesi Selatan serta peran ayahnya dalam aksi. (RPS/LITBANG KOMPAS)